25.11.19

4/ Tentang Giorgia dan Hariette yang Teristimewa



Seorang penulis Italia, Elena Ferrante, pernah menulis tentang persahabatan para wanita di kolom esai The Guardian. Dari judulnya saja dia sudah menyampaikan pesan utamanya: ‘A woman friend is as rare as a true love’. Ia menjelaskan bagaimana baginya, teman wanita yang diajak menghabiskan waktu untuk sekedar mengisi kekosongan dan membuat kita merasa tidak terlalu kesepian, tidak bisa disebut sebagai teman. Teman yang buruk dan tidak bisa diandalkan juga tidak masuk ke dalam hitungan ini. Namun lebih dari sekedar konsep teman yang baik dan benar, seorang teman wanita yang baik bagi wanita lainnya sungguh langka adanya, selangka cinta sejati. Argumennya ini berdasarkan atas asal kata ‘persahabatan’ dalam bahasa Itali. Persahabatan atau amicizia memiliki akar kata yang sama dengan cinta yaitu amare. Kompleksitas yang terkandung dalam sebuah persahabatan menjadikannya sama bermaknanya dengan cinta sejati. Dan seperti halnya cinta sejati, hatimu akan tahu ketika kamu menemukannya. 

Menurut saya, berteman membutuhkan usaha yang besar sekali: pertama, investasi waktu dan tenaga untuk mengenal lebih jauh si calon teman; kedua, seluruh perasaan (baik dan buruk) yang dikeluarkan dengan segala resikonya; dan ketiga, maintenance— bagian ini membutuhkan ketahanan, durasi, dan usaha kecil-kecil namun terus menerus. Besarnya usaha itu bisa beragam. Ada beberapa teman yang secara kasual menghabiskan waktu bersama dengan ringan tanpa ekspektasi dan baik-baik saja, namun ada pertemanan yang membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian. Coba saja, di jaman dengan kehidupan serba cepat seperti sekarang ini, siapa yang punya waktu untuk hal semacam ini, bukan? Tentu saja, selalu ada pengecualian. Ada beberapa orang yang begitu istimewa sehingga bahkan orang paling kikuk dalam berteman pun akan mengeluarkan usaha lebih besar dalam menjalin hubungan. Begitulah Giorgia dan Hariette bagi saya. 

Saya pertama bertemu dengan Hattie, begitu Harriette dipanggil, di hari wawancara masuk De Appel. Saya datang dalam keadaan kacau balau: kehujanan, kedinginan, dan nafas yang tersenggal-senggal akibat campuran antara lari-lari heboh dari Amsterdam Centraal ke De Appel akibat salah perhitungan jadwal bus ditambah lari-lari menaiki tangga yang curam ke lantai 4 tempat wawancara berlangsung. Kacau sekali. Sesaat setelah melepas jaket yang basah dan dalam usaha sia-sia mengatur nafas yang memburu, seorang wanita muda cantik berjalan keluar dengan sangat elegan dan percaya diri dari ruang wawancara menuju almari penggantungan jaket. Dengan anggun, ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Kontras sekali dengan keadaan saya saat itu. Dalam perkenalan singkat itu saya mengetahui bahwa dia bekerja di sebuah pusat seni kontemporer dalam region yang sama dengan saya. Seperti saya, dia menempuh perjalanan separuh dunia untuk wawancara tersebut. Kepercayaan diri yang saya bangun sejak pagi hari runtuh seketika. Saya belum pernah mendengar bahwa ada dua orang dari region yang sama diterima di De Appel dalam waktu bersamaan. Yang tidak kami sadari, saat itu kami tanpa sengaja membuat satu sama lain tegang dan runtuh rasa percaya dirinya karena mitos tersebut. Meskipun demikian, saya langsung menyukai wanita muda yang elegan ini. Maka kami bertukar kontak sehingga setidaknya kalau hanya satu di antara kami yang diterima, kami tetap terkoneksi. Untungnya, kami berdua lolos wawancara hari itu. Hattie adalah teman pertama dalam kelompok De Appel. 

Giorgia, yang saya kenal belakangan, adalah peserta termuda yang kemudian menjadi teman serumah. De Appel menyediakan sebuah rumah dengan sewa sangat murah bagi tiga kurator yang membutuhkannya. Sebagai anak penerima beasiswa dengan uang pas-pasan, tentu saya langsung mengambil kesempatan itu. Gio, begitu nama panggilannya, adalah satu dari tiga peserta yang kemudian tinggal di rumah bersubsidi di Anemoonstraat. Di hari kedatangan saya, Gio yang lebih dulu sampai di rumah Anemoonstraat menjemput di penyeberangan ferry Amsterdam Centraal untuk membantu membawa dua koper besar berisi perlengkapan hidup setahun ke depan. Sejak hari itu, hampir setiap saat kami selalu bersama. Sebagai Scorpio sejati, selera humornya yang sedikit gelap dan sinis serta kecerdasan yang tajam membuat Gio semakin memikat. Dia semacam Hermione di kelas: penuh referensi, selalu menjawab pertanyaan guru, dan banyak sekali membaca (meskipun sayangnya, tidak pernah buku fiksi). Dia juga merupakan salah satu orang paling tidak beruntung yang pernah saya kenal. Kejadiannya ada-ada saja. Mulai dari benda-benda yang tertinggal hingga sepeda yang langsung rusak dalam 15 menit pertama setelah dia membelinya dan terus menerus setelahnya. Sebagai kompensasi bagi ketidakberuntungannya, ia selalu menemukan sesuatu di jalan: kucir rambut, bebijian cantik, pin, dan seringnya uang receh. Dia adalah orang pertama yang saya kenal akan selalu berhenti setiap beberapa langkah untuk memungut benda-benda berkilau dari jalan. Bagi saya, ia semacam burung gagak yang cerdas dan memiliki koleksi benda-benda berkilau di sarangnya. Kebetulan ia juga selalu memakai baju serba hitam. Ia juga sering sekali menggeleng tidak setuju dan protes dengan cara yang khas. Ia akan berkata “Tck.. no.. no.. no.. no..” kalau pelayan menuang minuman yang tidak cukup banyak di gelasnya, ketika pizza yang kami beli terlalu mahal, dan ketika pasta yang kami pesan tidak dimasak semestinya. Ia juga ceriwis sekali, selalu gelisah, dan mudah panik. Menggemaskan sekali.
  
Beberapa hadiah dari Gio yang dipungutnya di jalan

Gio dipenuhi dengan kejutan kecil yang komikal sedangkan Hattie selalu terlihat stabil dan elegan. Keduanya sangat cerdas dan merupakan perpaduan yang membuat saya semakin penasaran untuk mengenal lebih dekat. Ketika baju Gio yang serba hitam itu kerap sobek dan bulu-bulu angsa di mantel hitamnya ditahan keluar dengan berbagai selotip berbeda seadanya; Hattie adalah jenis yang mencuci sepatu putihnya setiap kali terlihat kotor dan menggantinya dengan yang baru setelah tidak lagi bisa dibersihkan. Ia berbudi baik dan memancarkan aura kemewahan di sekelilingnya. Begitu kita mengenalnya lebih dekat, Hattie memiliki beberapa kekikukan lucu yang membuatnya manusiawi dan makin mudah disukai. Hingga saat ini saya selalu mengingat mereka dengan perasaan sayang yang lembut. Saya yang datang dengan perasaan berbunga-bunga khas pelajar yang untuk pertama kalinya tinggal di luar negeri, saat itu dengan ringan membuka diri untuk segala kemungkinan. Meminjam istilah Exupery, membiarkan diri 'dijinakkan' dengan segala resiko dan air matanya. Itu adalah kali pertama saya benar-benar berusaha mengikatkan diri pada kelompok pertemanan dengan sukarela dan sepenuh hati. 


Suatu hari di awal program, kami mengunjungi sebuah museum kecil di kota Haarlem yang jaraknya 10 menit saja dari Amsterdam. Saat itu musim gugur menjadi awal mula hari-hari yang dingin. Entah bagaimana, kami bertiga secara kebetulan tidak memakai cukup banyak lapisan penahan dingin. Di ruang pertama museum itu, kami yang sedang menyesuaikan diri dengan kehangatan ruang pamer setelah diterpa udara dingin di luar mulai mepet satu sama lain. Seperti tiga ekor burung kecil yang saling menghangatkan diri. Pasti pemandangan itu aneh sekali sehingga salah satu teman kami yang melihatnya mulai terkikik kemudian memotretnya (dia sendiri saat itu mengenakan jaket berisi bulu kelinci yang sangat hangat sehingga dia menertawakan kami yang tidak persiapan). Saat itu menjadi awal mula kedekatan kami.    


Tidak banyak pameran yang bisa menempel di ingatan jika tidak bagus sekali atau berhasil menyentuh hati. Harap maklum, kami mendatangi ratusan pameran seni rupa dalam waktu setahun itu. Meskipun demikian, satu dari tiga pameran di Frans Hals Museum De Hallen itu cukup istimewa. Sebuah pameran tunggal museum pertama bagi seniman Jepang Meiro Koizumi. Di lantai pertama, kami yang saling menempel kedinginan terlalu sibuk memulihkan diri sehingga tidak terlalu serius dalam melihat karyanya. Padahal karya video membutuhkan atensi dan waktu yang cukup untuk bisa dinikmati. Satu per satu, kami mulai menjelajah museum dengan kecepatan yang berbeda sesuai minat pribadi. Saya memutuskan untuk berjalan cepat mengelilingi museum untuk melihat pameran apa saja yang ditawarkan sebelum memutuskan karya mana yang akan saya lihat lebih detil. Setelah mencoba dengan sia-sia menikmati karya post-internet di lantai atas selama sepuluh menit, saya kembali ke dua ruangan besar tempat karya Meiro Koizumi diputar. Di lantai atas, terdapat instalasi foto dan video yang menyakitkan untuk dilihat berjudul “In the State of Amnesia”. Dalam video ini, seorang pria yang memiliki gangguan ingatan diminta untuk menghapalkan pengakuan seorang tentara Jepang yang memiliki trauma khusus setelah membunuh seorang anak laki-laki kecil dalam misi rahasia yang hingga saat ini masih ditutup-tutupi oleh pemerintah Jepang. Semakin pria tersebut mencoba mengingat, semakin ia kehilangan kata-kata dalam pengakuan itu. Di akhir video, sang seniman berkata “no words came out of his mouth, and all the words escaped from his memory”. Ungkapan itu pedih sekali: kata-kata, lepas dari ingatannya.. 

Masih membawa kepedihan dari lantai atas, saya kembali ke lantai bawah tempat video pertama diputar. Kali itu, saya tidak lagi kedinginan dan bisa menonton video dengan atensi penuh. Video itu berjudul “Rite for a Dream (Today my Empire sings)” dan disajikan dalam tiga channel instalasi video yang dramatis. Kisahnya cukup kompleks, tentang hubungan antara kekuasaan negara dan masyarakatnya secara personal. Tapi selain itu, videonya ternyata sedih sekali. Di akhir video, pemeran utama dalam video itu memanggil ayahnya sambil dikawal polisi sementara sekelompok orang berdemonstrasi dan di pinggir jalan, ada kelompok musik string yang mulai bermain musing mengiringi sekelompok koor bernyanyi. Saya menangis pelan. Sedikit sesenggukan. Untungnya, musik cukup keras untuk menyembunyikan suara sesenggukan saya yang sedang sendirian menonton video berisi komentar politik sang seniman dengan dramatis itu. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu pelan dan sebelum mengajak pulang, ia menyadari pipi yang basah saat saya menengok karena kaget. “Kamu menangis?”, tanya Hattie dengan geli dan gemas. Sialan! belum juga dua minggu kami saling mengenal dan ia sudah menangkap basah kerapuhan yang coba saya sembunyikan hati-hati. 

Karya Meiro Koizumi berjudul "Rite for a Dream (Today my Empire sings)", 2016.

Bulan berikutnya, kejadian yang sama dialami oleh Gio. Kami berada di Athens dalam sebuah pameran retrosepektif seorang seniman yang baru saja meninggal dunia. Pameran itu dibuat oleh murid sang seniman dengan intim dan sensitif. Di ujung pameran, setelah asisten kurator itu menjelaskan seluruh konteks kekaryaan sang seniman dengan kekaguman yang tidak coba disembunyikannya, tahu-tahu Gio sesenggukan. Mukanya merah dan basah. Kali itu, ia yang kehilangan kata-kata karena tersentuh hatinya. Kami hanya bisa tertawa geli sambil bebarengan memeluknya. Air mata ternyata bisa menjadi perekat persahabatan yang baik. Saya mulai menghitung setidaknya tiga kali menangis di depan mereka. Hattie, saya ingat satu ledakan kemarahan di kelas yang membuatnya menangis dengan serius dan satu dua air mata kecil ketika melihat karya yang menyentuh hatinya. Gio, dia yang paling sering menangis dan tertawa hingga tidak lagi terhitung banyaknya air mata yang dia bagi dengan kami. 

Gio yang ekspresif itu seperti gumpalan tangis dan tawa yang hangat, membuatmu selalu ingin memeluknya. Apalagi ketika sedang PMS. Maka kami mulai menyelaraskan isi Clue, aplikasi online penghitung siklus menstruasi. Kami sering bergurau bahwa tiga garis yang tersiknronasi dan membuat kami saling mengetahui tanggal menstruasi serta siklus pms masing-masing merupakan salah satu hal paling intim yang pernah kami lakukan. Media sosial tidak ada apa-apanya dibandingkan Clue yang saling terhubung. Ketika satu di antara kami mulai menjadi anak cengeng akibat serangan keji hormon, kami tinggal membuka app untuk mengkonfirmasi kondisi tersebut dan dengan maklum menjaganya dari gesekan tidak perlu dari luar.  

Kedekatan kami semakin terjalin saat perjalanan riset dimulai. Di Athens, ketika salah satu teman kami yang menginap di kamar sebelah berteriak-teriak pada pukul 3 pagi dan menuntut untuk dipindahkan ke hotel yang mewah karena di kamar mandinya terdapat seekor kecoak kecil, kami bertiga mulai semakin dekat. Kami sudah setengah tidur ketika mendengar keributan itu. Paginya, kami mendapati dua teman sekelas itu sudah pindah ke hotel mewah dengan pemandangan langsung ke Akropolis yang berkilauan di malam hari. Kami bertiga sedikit terkejut dengan keputusan mereka. Sejujurnya, kami tidak terlalu peduli dengan kamar hotel jelek yang disiapkan oleh De Appel. Toh kami suka sekali dengan kota dan makanan-makanan di Athens sehingga kami selalu pulang lewat tengah malam dalam keadaan super mengantuk, sedikit tipsy, dan hanya mempergunakan kamar hotel itu untuk tidur dan mandi saja.

Akibat drama dua teman itu, hotel tersebut memberikan pelayanan khusus bagi kami. Sebelumnya, saya berbagi kamar dengan Hattie dan Gio yang malang terpaksa tidur dengan satu-satunya pria di kelas ini. Di malam kedua, kami bertiga dipindahkan ke sebuah kamar besar dengan tiga tempat tidur. Itu adalah sleepover pertama kami. Kami menghabiskannya dengan cekikikan semalaman sebelum ketiduran. Malam itu kami membahas tentang dua teman yang pindah hotel serta keberuntungan kami dipindahkan dalam satu kamar yang bagus. Sebelum jatuh tertidur, Hattie bergumam cemas: "Aku takut, jangan-jangan ini adalah awal mula runtuhnya kita sebagai sebuah kelompok". 

Pit stops

Seperti dalam menjalin persahabatan, tahun yang dihabiskan di De Appel adalah semacam lari marathon. Hari-hari kami dipenuhi dengan jadwal perjalanan tanpa henti, kelas atau pertemuan-pertemuan yang berkelanjutan dari pagi hingga lewat tengah malam, kunjungan resmi ke lembaga seni, dan pameran serta studio seniman untuk didatangi. Saat kami diberi waktu jeda, biasanya ada setumpuk bacaan untuk diselesaikan sebelum kelas kembali dimulai. Pada dasarnya, sulit sekali untuk memiliki kehidupan sosial yang normal sehingga kami sudah sering mendengar cerita 'horor' tentang hubungan cinta atau persahabatan yang putus dan kelompok yang terpecah hingga tidak lagi berbicara satu sama lain (entah karena perbedaan personalitas atau kebosanan yang memuncak). Wajar saja. De Appel menerima enam kurator muda dari latar belakang yang berbeda-beda dan masih cukup muda untuk menjadi idealis dan teritorial dalam pemikirannya. Ego dan semangat masing-masing masih sama besarnya. Sedangkan latar belakang yang berbeda justru dimaksudkan supaya ide-ide pribadi terus menerus saling ditantang. Harapannya adalah supaya tercipta diskusi yang membentuk sekelompok kurator muda yang kritis. Namun terkadang, tantangan ini berakhir buruk dan diskusi tidak berjalan dengan sehat. Di bulan pertama pun kami sudah mulai mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seperti "Bagaimana, sudah mulai berteriak-teriak ketika mencoba menyampaikan pendapatmu di kelas?" atau "Masih berbicara satu sama lain tidak?" dan pertanyaan serupa lainnya. Kami selalu mencoba menjawabnya dengan sabar dan berulang. Awalnya kami akan berkata, "Kami masih saling menyukai." Lama-lama, jawaban ini berubah menjadi "Kami masih berbicara satu sama lain". Di akhir tahun, dengan lelah kami menjawabnya dengan "Setidaknya kami masih mengerjakan tugas akhir dalam satu kelompok". Di tahun-tahun sebelumnya, enam anak ini kerap terpecah dan menjadi dua kelompok yang menghasilkan dua tugas akhir yang berbeda. Kami memutuskan untuk tetap bersatu hingga akhir program, supaya terus tertantang! Untuk itu, perlu terus menerus menjaga energi dengan laju yang stabil dan berhenti sejenak saat diperlukan. Begitulah persahabatan kami bertiga berkembang: sebagai pit stops, pemberhentian kecil untuk menjaga kewarasan kami dalam program ini.  

Meskipun sekilas tampak berbeda-beda, kami bertiga memiliki kemiripan yang menyatukan kami dalam satu kelompok kecil. Selera kami cenderung mirip dan mudah saja untuk kemudian kami berteman dekat. Bagi orang-orang, pertemanan ini mungkin terlihat natural dan sudah sewajarnya. Bagi saya, membutuhkan usaha yang cukup keras untuk membuka diri terhadap persahabatan antar wanita ini.  Biasanya, jenis pertemanan yang low maintenance akan lebih saya pilih: jenis yang santai dan tidak menyita waktu. Namun kali ini, kami memiliki seluruh waktu di dunia untuk berteman karena program yang mengharuskan kami berenam untuk selalu bersama-sama. 

Kami bertiga mulai banyak menghabiskan waktu bersama. Awalnya diam-diam di waktu yang dicuri secara sembunyi-sembunyi karena tidak enak jika terlihat membentuk kelompok kecil di dalam kelompok. Maka kami mulai mengirimkan pesan-pesan rahasia melalui kelompok whatsapp, pulang sendiri-sendiri untuk kemudian berkumpul di kafe kecil di ujung jalan yang menyajikan pai apel paling enak se-Amsterdam, dan seringnya diam-diam makan malam bersama di apartemen Hattie yang nyaman (tidak seperti rumah bersubsidi yang saya dan Gio tempati di Anemoonstraat). Kami selalu berkata bahwa apartemennya adalah ruang tengah yang tidak pernah kami miliki di Anemoonstraat. Perjalanan pulang dari rumah Hattie akan selalu menjadi pengalaman lucu. Kami yang berjalan dalam keadaan tipsy harus saling menjaga. Seringnya, saya harus menarik Gio menjauh dari setiap area pembuangan sampah karena dia akan mencari-cari barang bekas yang bisa dibawa pulang. Sepanjang perjalanan pulang, setidaknya kami akan berhenti dua atau tiga kali. Pernah Gio berpikir akan mengambil satu rak buku besar yang dibuang di pinggir jalan dekat rumah Hattie di Jordaan dan membawanya berjalan ke rumah kami di Noord. Jaraknya sekitar 2km jalan kaki ditambah naik ferry penyeberangan. Gila saja! Pernah juga ia berusaha membawa sofa yang masih bagus atau bergulung-gulung kertas dinding terbungkus plastik. Pagi harinya, dia akan bingung kenapa ada kertas dinding, sekoper penuh piringan hitam, dan benda-benda lainnya di rumah kami yang sempit. Saya sangat menikmati malam-malam aneh yang membuat saya makin sayang Gio. 

Sesekali, kami memanjakan diri dengan membiarkan diri menjadi turis saat mengunjungi kota lain dan pertemuan dengan direktur museum atau seniman lokal selesai dilakukan. Itu berarti berjalan-jalan ke tempat wisata di sela-sela waktu rapat dan mencoba daftar tempat makan lokal yang direkomendasikan banyak orang. Biasanya saya yang bertugas melakukan riset kecil-kecilan dan membuat daftar tempat makan tujuan. Hattie yang hobinya berplesiran keliling dunia akan mencocokkan daftar ini dengan daftar yang ia buat. Kemudian kami akan mengikuti direksi dari Google Map menuju tempat tersebut. Gio, yang memiliki kemampuan navigasi yang baik, akan bertugas mengarahkan jalan dan menghubungkan kami dengan teman-temannya. Ia nyaris selalu memiliki teman lokal di setiap kota yang kami kunjungi. Ketika kembali ke Amsterdam, kami memiliki tempat kumpul khusus selain rumah Hattie: kafe Winkel 43 untuk pai apel enak dan anggur murah, Tijger & de Vis untuk makan malam salmon yang segar dan salad porsi besar, serta Rottiserie Amsterdam jika sedang ingin makan ayam panggang. Ketiga tempat ini adalah tempat yang kami sepakati sebagai tempat milik ‘kami’ karena khusus untuk tiga tempat itu, kami sepakat untuk sama-sama menyukainya. Tentu saja, ada tempat-tempat yang tidak menjadi kesepakatan bersama seperti Gartine yang menjadi lokasi brunch favorit Hattie dan saya, atau Café de Jaren yang saya benci namun disukai oleh Gio dan Hattie. Sesekali, kami mencari tempat netral seperti bangku di pinggir kanal untuk menikmati es krim dan kentang goreng pinggir jalan sambil bercakap-cakap santai.

Kami menghabiskan malam-malam yang panjang sepulang kelas di tempat-tempat itu dalam kencan rahasia dan konspirasi diam-diam. Bagi kami, kelompok kecil ini adalah tarikan nafas panjang yang melegakan dan penuh kesegaran setelah hari-hari tegang yang diwarnai perdebatan kelompok De Appel. Ketika kami bertiga yang cenderung introvert mulai kelelahan karena bertemu terlalu banyak orang dalam sehari dan merasa tidak bebas mengungkapkan pendapat dalam kelompok besar, kami akan menggunakan kesempatan-kesempatan singkat saat berpindah dari satu pertemuan ke pertemuan lain untuk ‘mengambil nafas’. Kami cukup beruntung saat itu tidak diharuskan mengambil Uber yang bisa untuk enam orang sekaligus dan boleh menggunakan taksi yang dibagi dalam kelompok tiga-tiga. Saat-saat seperti itu, rasanya seperti naik ke permukaan untuk mengambil nafas setelah menyelam cukup lama. Terkadang kami akan bergantian menyampaikan uneg-uneg. Di saat lain, kami menggunakan waktu di dalam taksi ini untuk bercanda dan saling memeluk menenangkan. Setiap salah satu dari kami berulangtahun, kami akan menyiapkan kejutan-kejutan kecil. Gio mendapatkan pai apel terbesar di dunia di sebuah warung sup favorit kami di dekat Anemoonstraat. Mereka menyiapkan acara ulang tahun selama 29 jam bagi saya dengan memberikan kebebasan mutlak untuk bersenang-senang tanpa beban tugas kelas sambil tiga kali merayakan ulangtahun tersebut bersama: di sebuah restoran di malam hari saat waktu Indonesia sudah memasuki hari H, di apartemen Hattie saat waktu Belanda memasuki waktu ulang tahunku, dan satu lagi yang dibagi bersama lebih banyak teman di sebuah ruang seni alternatif—seluruhnya dengan tiga kue berbeda dan hadiah yang mereka dapatkan daftarnya melalui konspirasi dengan Dito. Ulang tahun Hattie di ujung akhir program disiapkan dengan lebih sederhana, saya dan Gio membuat kejutan kecil di rumah Hattie dan memberinya satu set buku My Brilliant Friend dari Elena Ferrante. 


Ada satu kebiasaan lucu yang sering dilakukan Gio: dia sering membuat makanan-makanannya berbicara dengan menuliskan balon kata di samping makanannya. Dia jenis anak yang tidak bisa melihat makanan terbuang sia-sia sehingga ia selalu rajin membagi makanan yang mudah busuk dan tidak bisa dihabiskan sendiri. Benar saja. Seiring dengan munculnya balon kata di samping keju, kue, bawang, dan yoghurt; kami menjadi teman baik. Karena serumah, Gio bahkan sudah seperti adik sendiri. Jarang sekali saya menyayangi seorang teman wanita seperti saya menyayanginya. 

Persahabatan itu begitu istimewa sehingga ketika menjelang waktu perpisahan tiba, saya melakukan satu hal yang kemudian saya sesali hingga sekarang: menjauh dan melepaskan diri. Sebuah manufer perlindungan diri untuk menghindari patah hati dengan cara yang paling saya pahami. Ketika penyakit takut terikat yang saya alami kambuh, saya mulai mencari alasan untuk berhenti berangkat ke kelas bersama Gio. Saya tidak lagi berlari-lari mengejar kereta atau berpacu di atas sepeda bersamanya yang hampir selalu ngebut. Tanpa kami sadari, waktu yang kami miliki berjalan dengan kecepatan yang berbeda: ia yang selalu kehabisan waktu, saya yang selalu mencuri waktu. Gio akan langsung pulang ke rumah setelah kelas dan membenamkan diri pada pekerjaan tanpa henti. Saya akan mencuri waktu untuk menjelajah, mencari teman baru, atau sekedar berjalan-jalan ke tempat-tempat favorit. 

Waktu, terkadang bisa jahat sekali. Seperti halnya makanan; tanpa usaha rajin untuk menyelamatkan atau menuliskan pesan-pesan manis untuk membaginya, waktu bisa membuat makanan basi terbuang percuma. Begitu juga persahabatan. Terkadang justru persahabatan yang dibangun dengan baik dan alami yang memiliki masa kadaluwarda. Sayangnya, tanggalnya tidak tertulis di kemasan. Bagi saya dan Gio, masa kadaluwarsa itu terlewat tanpa kami sadari. Kami bahkan tidak meluangkan waktu untuk berpamitan dengan benar di akhir program. Gio sempat mengajak untuk makan bersama di Cafe de Jaren (yang saya benci itu) dan saya memilih untuk menghabiskan waktu di luar kota alih-alih menemuinya. Paginya, sebuah pesan terakhir tertulis dengan gaya khas Gio. Seperti semua makanan mudah basi yang berbicara dengan balon kata, namun kali ini isinya ucapan perpisahan pendek. Terlalu pendek. Sontak saya mencarinya dan hanya menemukan wangi parfum serta lebih banyak lagi balon kata di benda-benda yang ditinggalkannya dalam kamar. Dia berangkat dengan pesawat pagi saat saya masih tidur. Sampai saat ini saya masih penasaran, si anak yang penuh gumpalan tawa dan tangis itu sempat menangis tidak ya saat menuliskan pesan perpisahan pendeknya. Sedangkan saya, saya patah hati dengan cara yang sama persis dengan yang membuat saya jatuh hati padanya. Ironis, ya?

Perpisahan dengan Hattie jauh lebih ringan. Kami sempat makan malam bersama sebelum dia pulang. Entah kenapa saat itu Gio tidak ikut bersama kami. Hattie bercerita bahwa dia akan pindah ke Amerika sementara Gio dan saya pulang ke negara kami masing-masing. Hal itu berarti tiga zona waktu yang berbeda akan memisahkan kami. Akibatnya, percakapan di grup whatsapp perlahan-lahan menjadi semakin jarang meskipun tidak pernah dibubarkan. Aplikasi Clue saya hapus sesegera mungkin setelah saya pulang ke Indonesia. Saya si teman yang kikuk, membiarkan persahabatan yang istimewa itu lepas dan bergerak menjauh. Konyol sekali. Rupanya saya tidak mempersiapkan diri untuk air mata yang sesungguhnya. Namun hal itu baru akan saya ketahui nanti di akhir program. 

Saya tetap beruntung atas keberadaan mereka. Dengan ringan tanpa adanya ekspektasi yang berarti, saya melewati hari-hari selama program De Appel dengan kesenangan-kesenangan kecil dan hati yang hangat bersama dua teman tersayang. Setidaknya, kami sempat berteman sepuas-puasnya. Separuh petualangan dalam buku ini adalah petualangan yang saya lalui bersama mereka. Untuk yang satu itu, saya tidak pernah menyesalinya. 

----- 

https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2018/apr/28/elena-ferrante-woman-friend-rare-as-true-love