24.12.21

Rumah di atas bukit dan pohon-pohon tua [travelogue: Desember 2021]

Ada rumah sederhana di atas bukit, di ujung jalan setapak yang hanya bisa dilewati motor. Di rumah itu terdapat sebuah mesin jahit tua di depan jendela besar menghadap ke laut. Dito sering bercerita tentang rumah itu ketika kami menjelajah kota Banyuwangi melalui peta virtual.

Kami kerap melakukannya: menjelajahi kota-kota melalui peta virtual. Mengulang tempat-tempat favorit sambil bertukar anekdot personal, berkelana ke tempat baru, atau membawa salah satu di antara kami menjelajahi jalan-jalan yg pernah kami datangi sendiri saja. "Nanti kalau kita ke Banyuwangi, kita ke sini ya..", kata Dito setiap kami berjalan-jalan virtual ke sana.


Selama beberapa minggu di akhir tahun 2019, Dito melakukan riset pendek ke kota di ujung timur pulau Jawa tersebut. Ia begitu menikmatinya sehingga ia berjanji suatu hari, kami akan berlibur ke sana dan mengulang perjalanan itu bersama. Ia kerap menggambarkan keindahannya, kemudahan akses untuk berpindah dari hutan - ke gunung - ke laut - ke kota, dan makanan murah meriah (tahu walik, nasi tempong, sate di perempatan jalan besar dengan pemandangan bangunan-bangunan tua, kopi gosong dengan budaya ngopi yg maskulin khas Jawa Timur, dll). Meskipun demikian, gambaran atas rumah sederhana di ujung jalan setapak di atas bukit terpatri dalam pikiran saya. Mungkin justru karena kami tidak pernah berhasil menemukan rumah tersebut melalui peta virtual yg kami jelajahi. Mungkin juga karena bayangan atas seseorang menjahit di depan jendela menghadap ke laut terasa begitu romantis. 

 

Dua tahun berlalu dan kami masih belum melakukan perjalanan tersebut. Selain pandemi, alasan utama untuk tidak melakukannya adalah waktu tempuh perjalanan yang lebih dari 11 jam dengan kereta. Naik kereta saja rasanya terlalu berlebihan-- apalagi naik mobil! “Itu sih, sudah hampir sampai Belanda”, begitu alasan kami setiap kali mengurungkan niat untuk berangkat. Untuk menempuh perjalanan panjang demi pekerjaan tidak pernah menjadi masalah; baik yang 13 jam penerbangan menuju Belanda, 19 jam menuju New York non stop, hingga 32 jam perjalanan dengan transit menuju Dakar-- semua baik-baik saja. Tapi untuk berlibur? Wah, nanti dulu! Seperti dalam buku Innocents Abroad-nya Mark Twain, saya kerap mempertanyakan kenapa turis rela capek-capek melakukan perjalanan panjang atau membuang waktu (yg tidak banyak itu) untuk berlibur tanpa agenda lain. 


Pemikiran itu berubah saat teman kami, Sandi, datang. Seperti biasa, Sandi selalu sukses memanggil jiwa-jiwa turis yang terkubur terlalu dalam. Ia kerap berhasil membuat kami lebih fokus pada masa kini, menikmati hal-hal touristy tanpa beban, dan membiarkan kami bersenang-senang begitu. Kami ingat sekali, menghabiskan beberapa hari bersamanya di Bali membuat kami girang sekali!


Di awal Desember, Sandi pulang ke Jogja dan mengajukan penawaran menggiurkan: bagaimana jika, kami melakukan road trip bersama ke Bali, menghabiskan seminggu berlibur sebelum kemudian diantar pulang ke Jogja lagi. Jika saya sedang dalam kondisi fisik prima dan tidak sedang kelelahan menghadapi perjalanan darat yang memenuhi tahun 2021 ini, saya tidak akan berpikir panjang. Saya membatalkan perjalanan ke Bali itu dua hari sebelum jadwal keberangkatan. Tentu saja, Sandi tidak akan tinggal diam-- setiap kali kami bertemu dengan seseorang, Sandi akan menceritakan betapa ia berusaha memanjakan kami dan kami menolaknya. 



Sehari sebelum Sandi meninggalkan Jogja, kami pergi ke warung es langganan untuk berpamitan. Sambil menikmati es kelapa muda susu yang esnya cepat sekali mencair, ia bercerita tentang rencananya untuk naik kereta ke Surabaya, lanjut ke Banyuwangi, menjelajahi kota itu selama dua hari, kemudian kembali ke Bali dengan travel. Mungkin karena saya sedang merasa sehat, mungkin juga karena Sandi menyebut kawah Ijen (yang ingin saya datangi namun Dito tidak tertarik), atau mungkin panas terik kota Jogja mengaburkan pikiran saya-- saya membuat keputusan impulsif: ikut ke Banyuwangi! Mendadak perjalanan 11 jam tidak lagi terasa mengerikan. Rupanya selama ini, kami hanya memerlukan pemicu yang tepat. Teman berlibur impulsif adalah pemicu yang tepat untuk saat ini. 


Bahkan sebelum es kelapa muda susu itu habis, saya sudah memesan hotel, membagi daftar tempat dan kegiatan yang ingin saya lakukan di sana, dan membeli tiket kereta pulang pergi. Dalam perjalanan pulang, saya melakukan riset lanjutan dan membuat itinerary perjalanan detil-- yang tidak dianggap oleh Dito karena katanya, “Mengingat betapa moody dan impulsifnya kamu dan Sandi, jadwalnya bisa berubah sewaktu-waktu.. tidak perlu repot-repot menyiapkan itinerary”. Sesampainya di sana, tentu saja Dito benar dan jadwalnya berubah.. hehe. Tidak ada Kawah Ijen, tidak ada Baluran, dan tidak ada pantai Boom. Tiba-tiba, saya lebih ingin melihat dan bermain-main dengan hewan-hewan liar sepuasnya! Hehe. 


Saya memang memiliki kebiasaan menyiapkan itinerary dan wishlist setiap kali berkunjung ke tempat baru, apalagi saat hanya memiliki sedikit waktu di antara pekerjaan (karena biasanya kunjungan ke tempat-tempat baru selalu berhubungan dengan pekerjaan). Jika ada satu hal yang berubah selama masa pandemi ini: saya ingin membebaskan diri dan sesekali bersenang-senang sebagai turis seutuhnya. Selama ini, saya tidak terlalu tertarik mengunjungi landmark turisme karena saya percaya untuk benar-benar menikmati Roma, misalnya, tidak sama dengan mengunjungi colosseum saja.


Selama ini, bukan monumen-monumennya yg menarik bagi saya, namun latar belakang gaya hidup kesehariannya: bagaimana percakapan bisa berlangsung berjam-jam di bawah langit biru lembut khas Roma dan bergelas-gelas anggur dinikmati dalam gelas belimbing sederhana sambil memandang kesibukan di piazza, berjalan-jalan di gang-gang sempit di Napoli sambil bergandengan tangan dan cekikikan dengan teman-teman sebelum memutuskan untuk berhenti sejenak jajan gelato murah meriah di warung langganan teman lokal, makan di warung tanpa nama - tanpa menu - tanpa pelayan berbahasa Inggris yang makanannya enak sekali di Athena, atau berkunjung ke museum kedokteran di Budapest yang begitu mencengangkan namun selalu sepi turis.  


Saya merindukan hari-hari penjelajahan dan tidak pernah menyesali pilihan cara saya menikmati kota-kota tersebut ‘ala orang lokal’, namun di sisi lain, saat pandemi memaksa kita semua berhenti di titik terakhir kita berdiri, saya sedikit menyesali kenapa saya tidak pernah mengimbangi sikap ‘traveler’ itu dengan tujuan ‘turis’.. saya tidak pernah menyempatkan diri berkunjung ke menara Eiffel meskipun sudah lebih dari sekali mampir ke Paris, atau tidak naik kereta merah ke Swiss meskipun tinggal beberapa bulan di Torino, atau tidak berkunjung ke patung Liberty meskipun sudah memandanginya dari seberang saat berjalan-jalan ke area non-turis. Karena itu, dalam kunjungan yg hanya 2.5 hari 2 malam di Banyuwangi ini, saya berniat untuk menjadi turis se-turis-turisnya dan berfoto-foto tanpa malu-malu. Sekali ini, saya tidak berencana menjadi traveler dalam pertentangan elitis antara tourist vs traveler itu. 



Kami tiba sekitar pukul 5 pagi. Tanpa aba-aba, cahaya matahari pagi oranye keemasan memenuhi gerbang kereta, menyusup masuk melalui jendela basah berembun-- cantik sekali! di sisi kiri kereta, beberapa gunung sekaligus terlihat biru cerah di cakrawala. Saya sibuk berpindah tempat duduk dari sisi kanan ke sisi kiri kereta yg kursinya banyak kosongnya demi bisa menikmati seluruh pemandangan tersebut: gunung-gunung di sisi kiri, matahari terbit di sisi kanan.


Sesampainya di Banyuwangi, saya merasa kota itu begitu akrab. Saya mengenali jalan-jalannya melalui tur virtual yg telah beberapa kali diberikan oleh Dito; sekaligus terkagum-kagum melihat pohon-pohon trembesi tua sepanjang jalan. Setelah sarapan di warung rawon tanpa nama yg populer sekali di kalangan warga lokal (pengunjungnya terus berganti dan tidak seperti kami yg celingak celinguk mencari daftar menu, mereka masuk dengan percaya diri dan langsung duduk, ibu penjual rawon akan langsung meletakkan sepiring rawon komplit di hadapannya dan berbagai jenis lauk, jajanan, dan susu segar manis tersaji di meja). Warung itu membuat kami makin bersemangat memulai hari. 



Tujuan pertama kami hari itu adalah Alas Purwo. Hutan ini sempat membuat saya ketakutan karena konon katanya merupakan tempat tinggal hantu-hantu hutan tua dengan populasi kerajaan mistis yg mungkin lebih sibuk (atau sama sibuknya) dengan gunung Merapi. Saya percaya, selama perasaan takut ini masih terjaga, hutan itu pun akan tetap terjaga. Konservasi yg beriringan dengan mistisisme Jawa terkadang merupakan formula ampuh untuk menjaga kelestarian alam. Namun di hari H kedatangan kami, pemilik mobil sewaan memberitahu bahwa Baluran belum dibuka sehingga jika kami ingin menikmati savana, kami harus ke Padang Savana Sadengan di pinggir terluar Alas Purwo. Ia meyakinkan bahwa para ranger penjaga hutan akan memastikan keamanan kami dan bahwa padang savana tersebut sangat dekat dengan area peradaban manusia. Konon katanya meskipun lebih kecil, jenis hewan di sana lebih banyak daripada di padang savana Baluran.  



Menjelajahi area luar Alas Purwo sudah cukup membuat saya berdebar-debar, apalagi dengan banyaknya makam, pura, dan luasnya situs Kawitan yang terlihat di sekitar kami melalui google map. Namun perasaan itu pudar seketika saat kami tiba di parkiran padang savana: sekelompok burung merak menjaga parkiran tersebut dan buru-buru menyingkir saat mobil masuk. Kami sudah dipesan untuk tidak mendekati hewan-hewan tersebut, sehingga kami hanya sibuk memotretnya dari kejauhan. Kami tiba di padang savana sekitar jam 9 pagi, tepat saat jam makan pagi hewan-hewan di savana tersebut. Rombongan pertama: rusa-rusa, kemudian banteng, kemudian sapi. Kami menikmati pergantian tersebut dari atas pos pengamatan di area ranger. Saat itu, kami menjadi satu-satunya tamu di sana sehingga kami bisa berlama-lama.


Saat perjalanan pulang menuju ke mobil, kami mendengar suara asing yg konon katanya merupakan suara merak. Ini adalah kali pertama saya mendengar suara merak. Suara itu mengingatkan atas sebulan yang kami habiskan di tengah botanical garden di Darwin: suara hewan di hutan ini dan di botanical garden itu begitu riuh, asing, dan menggelitik rasa penasaran. Mungkin di kehidupan lain nanti, saya akan memilih menjadi penulis alam dan mempelajari suara-suara di hutan, jenis-jenis flora fauna sekaligus karakteristiknya, sehingga mampu menggambarkan seluruh keindahannya dengan lebih detil. 



Kami sempat mampir ke sebuah warung kopi kecil di perempatan jalan besar yang cukup generik bergaya industrial sebagaimana warung-warung kopi masa kini yang ada di setiap kota. Yang berbeda dari warung kopi kecil ini adalah pelanggannya: saat kami tiba, ada dua rombongan polisi berseragam sedang menikmati kopi kekinian dan camilan generik seperti kentang goreng, donat gula, dan lain-lainnya. Jarang sekali kami bertemu polisi berseragam semacam itu nongkrong di cafe generik kekinian. Selain itu, mungkin karena kultur warung kopi yang kuat, setiap pelanggannya begitu tertarik memulai percakapan basa-basi yang ramah. Warung kopi tadi merupakan pemberhentian pendek dalam perjalanan kami dari Alas Purwo ke Jawatan Benculuk-- kawasan hutan lindung milik Perhutani KPH Banyuwangi Selatan yg telah menjadi tempat penimbunan kayu sejak jaman penjajahan Belanda. Di hutan ini terdapat 4 hektar penuh pohon trembesi tua berusia 100-150 tahun. Saya begitu menyukai pohon tersebut, sampai-sampai Dito mengadopsi satu pohon trembesi di area selatan Jogja untuk hadiah ulang tahun pernikahan kami yg ke 8 tengah tahun lalu. Tahu-tahu, di kota ini saya bertemu dengan ratusan pohon trembesi tua yg begitu cantik dan membuat jatuh hati.

Sebagai penyuka pohon trembesi, bayangkan betapa bersemangatnya perasaan saya saat itu-- rasanya ingin memeluk satu per satu pohon raksasa tersebut, ingin menjelajahi setiap jalan setapak di sekitarnya, ingin bersantai-santai di bawahnya, dan menikmati keajaiban pemandangan yg seperti keluar langsung dari buku dongeng tersebut. Saya sempat mencoba untuk memeluk salah satu pohon, namun saat itu juga saya melihat puluhan kaki seribu berkulit keras besar-besar yg hinggap di kaki pohon hingga ke atas dan membuat saya bergidik ngeri. Kami sempat naik ke sebuah rumah pohon yg mengingatkan saya pada impian masa kecil untuk memiliki rumah pohon untuk membaca dan ngeteh sore-sore. Selebihnya, kami menjelajahi hutan lindung tersebut sambil sibuk berfoto-foto-- saya tidak ingin mengulang kesalahan untuk tidak memiliki foto-foto liburan yang bagus.


Berikutnya, kami menuju area kawah Ijen untuk menikmati salah satu makanan khas Banyuwangi: ayam kesrut, ayam berkuah asam pedas yg disajikan dengan lalapan, tempe yg enak sekali, ayam goreng, dan sambal tempong yg khas. Kami pulang ke hotel untuk beristirahat dan mandi setelah puas menjelajahi dua hutan tersebut dan makan enak. Kami semua ketiduran hingga waktunya makan malam (nasi tempong mbok wah: enak sekali!), dan karena perjalanan ini impulsif sekali, kami masih harus berhadapan dengan berbagai tanggung jawab: Sandi dan kelas yoga hari Kamis-nya, saya dan Dito dengan dua rapat yg berbeda yg berlangsung dari pukul 7 hingga 10 malam non stop. Setelah menyelesaikan semua kewajiban tersebut, kami memutuskan untuk berputar-putar keliling kota sampai mengantuk. Satu hal lagi yg membuat saya berbahagia adalah perasaan mengantuk-- perasaan itu mewah sekali! Sejak pandemi, tidur terasa seperti kewajiban dan rutinitas hambar, membosankan, dan dilakukan hanya karena ‘sudah waktunya tidur’.. bukan karena rasa mengantuk yang lezat. Malam itu kami tidur seperti bayi: nyenyak sekali (sampai konon katanya, untuk pertama kalinya, Dito mendengar saya mengeluarkan tiga dengkuran tipis yg langka!) 



Kami memulai hari kedua dengan lebih santai: sarapan rujak soto di tempat award winning rujak soto maker. Rujak soto merupakan perpaduan dari rujak sayur bumbu kacang yg disiram kuah soto jerohan. Sekilas bisa dilihat sebagai makanan yg mengalami krisis identitas antara rujak atau soto, tapi juga bisa dilihat mirip dengan dan dan mian soup atau tantanmen. Bagi saya rasanya cukup intriguing-- semacam membutuhkan aquired taste yang membuat saya bertanya-tanya-- akan kah lidah saya belajar menyukainya seiring berjalannya waktu?


Selanjutnya kami menuju ke pantai Bangsring untuk snorkeling. Di jalan kami melewati sebuah homestay di atas bukit dengan meja bertaplak merah dan vas berisi bunga segar di balkon kecil-kecil yg menghadap ke laut. Pemandangan itu mengingatkan saya pada penginapan-penginapan kecil di Italia dan kembali membangkitkan nostalgia.



Banyak pepohonan yang membuat pantai Bangsring terasa teduh. Pantainya tidak ramai dan biaya untuk snorkeling murah sekali, selama kita tidak menyeberang ke pulau Tabuhan atau pulau Menjangan. Dua pulau tersebut terlihat jelas dari Bangsring, mungkin lain kali kami akan mengikuti tur seharian menjelajahi dua pulau tersebut. Tapi sekarang, saya hanya ingin bermain-main dengan ikan sebentar saja dan berenang mengambang sambil memandang langit berwarna biru tua. Warna biru di alam bebas selalu berganti rupa dan tak pernah gagal menarik perhatian saya-- memanggil dari kejauhan. Konon katanya, warna biru adalah warna yg tersesat: warna yang berserakan di udara, di air, di langit-- terpisah dari spektrum cahaya matahari tanpa benar-benar tiba dari perjalanannya menuju bumi. Mungkin karena itu lah warna biru hanya terlihat di kejauhan dan bisa dilihat dari titik kita berpijak. Seorang penulis kesukaan saya, Rebecca Solnit, menggambarkan warna biru sebagai berikut: 


“[...] the color of where you are not. And the color of where you can never go. For the blue is not in the place those miles away at the horizon, but in the atmospheric distance between you and the mountains. Blue is the color of longing for the distances you never arrive in, [...]” 


Perasaan tertarik mendalam pada warna biru di alam bebas, mungkin merupakan perwujudan perasaan saya yang tidak pernah benar-benar berada sepenuhnya pada masa kini, tidak pernah benar-benar sepenuhnya berada di sini dan sebagian diri saya tidak pernah berhenti mengembara ke masa lalu (ke tempat-tempat yang pernah didatangi), atau ke masa depan (ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi). Saat itu, saya menyadari bahwa pada saat saya berenang bersama ikan-ikan di pinggir pantai Banyuwangi, saya akhirnya tiba ke dalam warna biru metaforik yang dulu sempat menjadi cakrawala nun jauh di depan sana. Banyuwangi sempat menjadi proyeksi masa depan di kejauhan yang hanya dikunjungi melalui peta virtual sebelum akhirnya saya tiba pada saat ini, di sini. Sekali itu, sambil membiarkan ombak mengayun tubuh saya mengambang memandangi langit, saya menikmati warna biru di kejauhan sekaligus membiarkan diri sepenuhnya menyerap ketenangan masa kini, di sini. Here. Now. 



Setelah puas berenang dan menikmati keindahan ikan-ikan jinak di laut dangkal, kami menuju ke desa budaya suku Osing untuk makan siang pecel pitik: ayam kampung berusia dibawah 3 bulan yang dipanggang di dalam kuali di atas kayu, kemudian disuwir-suwir dan diurap dengan parutan kelapa bercampur bumbu. Menu tersebut umumnya keluar dalam upacara adat, sehingga kami merasa harus mencobanya di warung kecil yang dikelola oleh karang taruna dan masyarakat suku Osing langsung.


Setelah kenyang, kami berpisah dengan Sandi dan Hika-- teman Sandi yg ikut dalam perjalanan ini. Mereka berdua ingin berjalan kaki di kota dan makan yamie plus tahu bakso kuah. "Mungkin Sandi belum puas berjalan-jalan di Surabaya", pikir saya, "sehingga ia mencari masakan Cina di Banyuwangi". Sementara itu, saya memiliki hobi lain yg rupanya bisa dinikmati dengan murah meriah di sini: nongkrong di cafe pinggir pantai sambil minum cocktail atau bir dingin dan ngobrol ngalor ngidul. Begitulah kami menikmati sisa hari sebelum kembali ke hotel untuk lanjut gofood camilan (tahu walik berkuah rujak super pedas yg saya baru tahu merupakan makanan ‘beneran’ di Banyuwangi-- padahal selama ini saya pikir itu merupakan kebiasaan aneh saya saja untuk makan tahu walik dipotong-potong ke dalam rujak pedas!) dan makan malam (nasi tempong mbok Wah lagi!) 



Besok paginya, kami bangun lebih siang dan menikmati udara segar yang masuk ke dalam kamar hotel berlangit-langit tinggi (satu lagi hal yg saya sukai: udara segar dan matahari pagi di kamar berlangit-langit tinggi). Sandi yang pagi itu berjalan-jalan ke alun-alun kota, pulang membawakan sego cawuk-- salah satu makanan khas Banyuwangi yg ada di wishlist saya namun belum sempat kami cicipi. Sandi, seperti biasa, begitu saja mewujudkan wishlist tersebut dan membuat perjalanan ini makin komplit!


Sebelum jam makan siang, kami berangkat ke stasiun untuk pulang dalam perjalanan horor 11 jam itu. Sepanjang jalan, pemandangannya indah dan begitu hijau-- seakan kami sedang melaju kencang di tengah hutan belantara. Meskipun pendek dan perjalanannya lama sekali, namun kami pulang dalam keadaan hati ringan dan pikiran segar. Rupanya Banyuwangi, seperti halnya Bali, telah mengajarkan saya kenikmatan liburan dan betapa ringannya menjadi turis seturis-turisnya di area turisme semacam ini. Ternyata benar bahwa, lagi-lagi seperti kata Mark Twain, salah satu kegunaan perjalanan adalah untuk bisa membandingkan apa yang benar-benar dilihat dengan apa yang dulunya dibayangkan-- supaya bayangan di kepala kita atas tempat tersebut bisa dikalibrasi, dicocokkan, atau diperbaiki. Banyuwangi di kehidupan nyata ternyata memang seindah Banyuwangi dalam cerita Dito selama ini. Untuk itu, perjalanan 11 jam non stop itu menjadi sangat masuk akal.