10.11.19

3/ Masakan Italia: Tentang Waktu dan Hal-Hal Penting Lainnya [travelogue: Spring 2018]

risotto alla milanese dan risotto kaki kodok di Beoucc - Milano

Mengelilingi 15 kota di Italia dalam waktu 3 bulan mungkin terdengar asyik, tapi sebenarnya tidak juga. Percepatan waktu adalah cara paling ampuh untuk menghancurkan ide apapun yang kamu miliki tentang Italia: pemandangan, gaya hidup, dan romansanya. Ide yang berkali-kali dihancurkan tersebut hanya bisa disembuhkan oleh kesenangan kecil sehari-hari. Bagi saya, makanan adalah solusinya. Maka begitulah, perjalanan ini kemudian menjelma daftar panjang makanan untuk dicoba dan percepatan waktu yang justru mengajarkan untuk memelankan langkah. 

Beberapa pelajaran tersebut antara lain:

1/ “Jangan Repot-Repot Mencari Fritto Misto di Prato” 
Pada kunjungan pertama ke Italia setahun sebelumnya, saya belajar bahwa tidak ada yang namanya "masakan Italia". Yang ada: masakan regional khas tiap daerah di Italia yang berbeda-beda tergantung sejarah, potensi wilayah, dan kondisi geografisnya. Yang sama hanya kesederhanaannya: masakan-masakan yang terdiri dari dua hingga delapan bahan saja. Konon katanya kualitas bahan masakan yang baik tidak perlu ditutup-tutupi dengan bumbu-bumbu yang berlebihan. Apabila dinikmati dengan kacamata turis, semua akan dengan mudah terasa lezat dan memuaskan. 

Kali ini saya menanggalkan kacamata turis itu dan tinggal sedikit lebih lama. Karena sedang dalam perjalanan riset, maka masa tinggal ini dibumbui kecepatan pergerakan yang memaksa berpindah dari satu kota ke kota yang lain setiap beberapa minggu sekali. Semua hal yang menyertainya dimulai dengan serba praktis dan seperlunya, begitu juga dengan makanan di minggu-minggu awal perjalanan: panino[i] yang dimakan di pinggir jalan sambil berdiri menanti taksi menuju ke pertemuan berikutnya, tourist trap yang kemahalan, serta makan malam yang sengaja dilewatkan supaya bisa menghindar dari keharusan bersosialiasi dan berjejaring sebagai bagian dari pekerjaan. Setelah dua minggu awal yang berhasil membuat panino menjadi makanan paling traumatis sepanjang masa, mengalami patah hati karena memakan salmon hambar kemahalan di Milan dan cotoletta[ii] paling menyedihkan di Bologna; daftar makanan yang saya buat sebelum memulai perjalanan ini berubah menjadi ekspektasi, panduan, dan bahkan salah satu tujuan utama: untuk bisa menikmati perjalanan ini, saya harus makan enak!

Saya mulai mencari ossobuco[iii] dan risotto alla milanese[iv] berwarna keemasan di Milan; pesto[v] segar di Genoa; bertahan dengan menu yang terdiri dari spritz aperol[vi] dan berpiring-piring cicchetti[vii] di Venezia; mempercayakan panduan makan kepada orang lokal di Revereto, Bolzano, dan Dro yang membawa kami ke rumah makan tersembunyi di ruang bawah tanah sebuah perkebunan; mencari masakan Cina terenak di Prato; nekat mencoba stew perut sapi di Florence setelah berjalan kaki berkeliling dan menyerap sebanyak mungkin keindahan peradaban lawas itu; menuliskan daftar yang terlalu panjang di Bologna dan Roma yang tidak mungkin dipenuhi semuanya; dan sebelum saya sadar, daftar itu tumbuh lebih panjang lagi bersamaan dengan bergantinya musim di Napoli, Palermo, dan Catania-- mulai dari fritto misto yang berisi aneka hasil laut goreng tepung, casatta[viii] yang setiap lapisnya menggambarkan migrasi orang-orang ke Sicilia, cannoli[ix] yang dibuat segar di hadapanmu, limoncelo[x] yang hanya layak dicoba kalau buatan rumah, dan sfogliatelle[xi] panas yang membuat kecanduan dan selalu sukses membuat bahagia. 

Karena memiliki kesempatan untuk menjelajahi Italia, saya belajar bahwa tidak perlu repot-repot mencari makanan khas sebuah daerah di luar daerah asalnya. Setiap daerah memiliki alasan yang cukup baik untuk membuat masakan secara spesifik terikat pada areanya: makanan yang site-specific. Alasan utamanya: beberapa bahan makanan tidak berpindah dengan baik, maka lebih baik manusianya yang berpindah. Begitulah.. perpindahan yang awalnya membuat saya menggerutu berat di dua minggu pertama berubah menjadi impian atas makanan-makanan site-specific tersebut. 

Fritto misto, focaccia, dan house wine di Pescheria Gallina - Torino


2/ “Kisah Sayap Ayam Paling Lezat di Dunia”
Ada hal-hal menyenangkan yang sering terlupakan sampai tiba waktunya kesenangan kecil itu muncul tanpa aba-aba: aroma matahari di bantal hangat yang barusan dijemur dan tidur siang singkat yang menyertainya, perasaan kembali hidup setelah mandi sore di akhir hari yang panjang, aroma tipis orange blossom yang masuk melalui jendela kamar yang terbuka di sore hari, dan pemandangan dramatis saat membuka mata setelah tidak sengaja ketiduran di kereta dan mendapati pemandangan lanskap berganti dari lembah-lembah penuh bunga berwana kuning, danau kecil, rumah-rumah batu, dan biri-biri putih yang sibuk merumput di ladang. Konon katanya, perjalanan ke Italia tidak pernah tentang penjelajahan geografis saja: separuhnya adalah perjalanan jauh ke dalam dirimu. 

Saya teringat perkataan tersebut saat sedang menanti penerbangan yang akan membawa kami dari Napoli ke Sicilia. Kami memutuskan untuk tiba di bandara 4 jam lebih cepat supaya punya waktu untuk duduk dan bekerja. Setelah berhasil menemukan sudut yang nyaman dengan meja yang cukup luas, kami memesan espresso yang kemungkinan besar merupakan gelas keempat kami hari itu sambil diam-diam bersyukur karena harga kopi di Italia diatur oleh undang-undang pemerintah sehingga bahkan harga segelas kopi hitam di bandara pun tidak legal bila dihargai lebih dari 1eu. Alasannya? Karena kopi yang baik merupakan hak seluruh warga negara dan harus bisa diakses oleh siapa saja. Bahaya sekali untuk pecandu kopi, seperti kami, yang selalu terjerumus ke dalam jeratan terlalu banyak kopi setiap hari. 

Sambil berpikir tentang kopi, pandangan saya jatuh pada seorang nenek dan sepiring sayap ayam yang dimakannya dengan begitu khidmat, perlahan, dengan sesekali jeda bagi tiap gigitan selayaknya seorang gourmand yang sedang asyik memanjakan seluruh indranya dengan sajian mahakarya koki ternama. Tak jauh dari tempat duduk sang nenek dengan sepiring sayap ayamnya, seorang wanita lain duduk di hadapan sepiring pancake, menikmatinya dengan kekhusyukan yang sama, memotongnya dalam ukuran satu suap, mengolesnya pelan ke saus karamel, dan memakannya dengan wajah puas penuh kebahagiaan. 

Saya heran bukan kepalang: bagaimana mungkin seseorang bisa menikmati sepiring sayap ayam dan pancake dari McDonald dengan kenikmatan yang begitu langka? Perlu ditekankan bahwa hal ini terjadi di sebuah kota di mana McD baru saja diperbolehkan masuk karena bahkan pemikiran tentang adanya gerai makanan cepat saji di kota ini dianggap menghina tradisi masakan Napoli[xii]. Terlalu mengherankan melihat cara dan tempo untuk menikmati makanan bisa mengubah fastfood menjadi masakan yang terlihat layak dinikmati dengan perlahan dan khidmat.

Kemudian, logika mana yang bisa diterapkan: 
1. Menyedihkan sekali memakan McD/ KFC/ Burger King/ cabang restoran cepat saji lain ketika sedang berada di kota dengan tradisi kuliner yang kuat dengan kelezatan yang terjamin dan harga makanan lokal yang terjangkau; atau 
2. Berada di kota yang begitu cantik membuat apa yang kamu makan tidak lagi penting karena bahkan fastfood yang paling banal pun bisa menjadi tidak begitu menyedihkan ketika dinikmati di tengah terpaan keindahan budaya dan kekayaan sejarah (apalagi ketika kamu menikmatinya dengan alasan yang cukup baik). 

Saya masih lebih mempercayai poin pertama karena makanan lokal selalu menjadi salah satu tujuan utama ketika saya bepergian. Namun, tidak bisa dipungkirii bahwa ada saat-saat ketika terpaan masakan asing terus menerus membuat para pelancong yang mulai rindu rumah mencari rasa akrab dari gerai masakan cepat saji yang selalu sama di mana pun ia berada. Saya teringat seorang teman yang pindah ke Spanyol beberapa tahun yang lalu dan setiap kali ia mulai rindu dengan Jakarta, ia akan segera mencari keakraban rasa ayam di KFC atau duduk-duduk di salah satu sudut Starbucks yang standar pelayanan dan tata ruangnya mengingatkan atas gerai yang mirip di bawah apartemen lamanya di Jakarta. Terkadang, makanan paling banal dengan rasa yang akrab itu lah yang sesekali penting bagi kejiwaanmu. 

Maka dalam salah satu perjalanan kami ke Roma, ketika suhu udara sudah mulai merangkak naik hingga dua digit sehingga dinginnya malam tidak lagi menyiksa, saya dan teman saya Kari memilih untuk mencari sudut dengan pemandangan paling cantik di balkon hotel kami, menata meja, mengambil prosecco[xiii] gratisan dari dalam kamar hotel, dan memutuskan untuk makan pop mie instan berkuah untuk makan malam. Ini akan terdengar sangat cliché, tapi terkadang benar bahwa bagaimana kita menikmati suatu hidangan bisa menjadi sama pentingnya dengan apa yang kita makan. Bagi kami saat itu, mie instan dengan pemandangan kubah gereja dan lampu kota di Roma di malam yang hangat masih menjadi salah satu makan malam paling berkesan selama perjalanan keliling Italia kali ini. Perpaduan rasa yang akrab, tempat yang nyaman, teman yang tepat, dan pemandangan yang indah tidak pernah gagal untuk membuat hati menjadi hangat. 

pop mie dan prosecco di roma | spritz aperol yang harus habis dalam 5 menit

Pertemanan kami kemudian diwarnai dengan momen-momen seputar makanan yang terkadang aneh namun menyenangkan: menu dapur memuaskan yang hanya bisa diakses karena kami makan bersama orang lokal di Venezia dan dilanjutkan dengan sebuah presentasi di atas kapal menyusuri kanal-kanal sepi; spritz aperol yang terlanjur dipesan dan harus kami habiskan dalam waktu 5 menit (dengan sedotan!) dan mengubah kami dari dua anak serius menjadi dua anak ketawa ketiwi tipsy dalam kunjungan ke studio seniman sore hari itu; warung kecil di Bologna yang tidak masuk ke dalam panduan wisata apapun yang menyajikan tagliata[xiv] dan pasta jamur porcini[xv] paling enak yang pernah kami cicipi, ditemani oleh seorang pria dengan rambut gimbal sepanjang lebih dari 1 meter dan gigi lancip yang mengingatkan akan makhluk mistis di dongeng-dongeng; melanggar hukum dengan mencuri jeruk dan tebu untuk disesap-sesap di sebuah kebun botani di Sicilia dan dilanjukan dengan makan siang di warung sarang mafia lokal; seorang pelayan yang selalu menuliskan pesan-pesan manis di atas cappucinno kami setiap pagi; kena marah pelayan di Roma karena polpette[xvi] kami taruh di piring yang sama dan tidak sengaja menyentuh cacio e pepe[xvii] yang keduanya kami pesan bersamaan untuk dibagi berdua; menemukan biji segar single origin coffee yang justru ada di warung kopi lokal kuno tempat orang-orang tua berkumpul; makanan-makanan berbeda yang sama-sama dipanggil 'Vesuvio'[xviii] di Napoli (mulai dari tomat sampai pastry); dan pizza aneh dengan topping kentang goreng yang disajikan di sebuah ranch di Catania. Aneh, karena perpaduan tidak tradisional di atas pizza bisa dianggap pelecehan serius terhadap sejarah dan warisan budaya. Pizza seharusnya memiliki kepercayaan diri dalam kesederhanaannya. Semakin sedikit topping menjadi indikasi semakin tinggi kualitas bahannya. Tapi malam itu, di bawah keindahan gunung Edna, di antara kuda-kuda cantik dan kehangatan tiga generasi keluarga yang menjamu kami, pizza aneh dengan topping kentang goreng dan daging sapi terasa tidak seburuk kedengarannya.

3/ “Some Food Don't Travel, We Do”
Konon katanya makanan di Italia adalah tentang pengalaman alih-alih pengetahuan. Resep masakan direka ulang melalui ingatan tentang rumah, masa kecil, dan nostalgia atas hal-hal nyaman yang akrab dan menggugah perasaan. Bagi saya, ketika segala kemilau kebaruan dalam perjalanan ini kembali menjadi sehari-hari, makanan sepenuhnya berubah menjadi urusan hati—bukan lagi urusan perut semata. 

Saya belajar bahwa kerinduan pada rumah bisa berwujud telur tomat kecap yang disajikan dengan nasi putih hangat dan sambal terasi; kerinduan pada kekasih menjelma omlet keju yang disajikan dengan daun roket segar dan tomat ceri yang manis; pun kerinduan-kerinduan lain yang menjelma ayam panggang, tempe goreng, dan kemewahan berbentuk sambal goreng petai. Di hari-hari yang tidak semelankolis itu, memasak menjadi kegiatan rekreasional yang meditatif. Saya rela bangun lebih pagi untuk bisa memasak sendirian di dapur dan mengatur jadwal harian supaya bisa berlama-lama berbelanja ke pasar. Hal ini mungkin dilakukan di bulan terakhir ketika jadwal perjalanan berubah menjadi waktu bekerja yang intens di Torino. Selain memiliki lebih banyak kontrol atas waktu pribadi, berhenti berpindah dan memiliki perasaan tinggal di rumah meningkatkan kualitas hidup dan makanan secara signifikan. Tidak ada lagi waktu makan yang terlewatkan, tourist trap yang hambar, dan konsumsi kopi yang berlebihan. Kulkas di rumah mulai dipenuhi sayur mayur berwarna warni dan aroma masakan yang bergantian memenuhi koridor. 

Seperti halnya beberapa jenis makanan regional yang begitu spesifik dan terikat pada lokasinya, saya mulai memperhatikan perbedaan jenis sayur mayur yang tersedia di pasar. Aneka jenis tomat yang terlihat lebih segar di Sicilia, selada aneh berwarna merah jambu di sebuah kios apung di Venezia, dan asparagus putih gendut yang manis di area Utara dekat perbatasan dengan Jerman. Seperti halnya kualitas hidup yang meningkat saat berhenti berpindah-pindah, kualitas bahan makanan pun berada pada puncaknya saat bahan makanan tersebut tidak berpindah terlalu jauh. Sayur impor yang datang dari negeri seberang dinilai tidak ramah lingkungan dan juga memiliki kualitas rasa yang lebih rendah karena jarak menjadikan kesegarannya artifisial. Sayur kualitas terbaik adalah yang lokal, temporal, sekaligus musiman. 

Setiap area, seperti halnya setiap musim, memiliki bahan masakan khas yang spesifik. Begitu juga setiap kios di pasar atau toko bahan makanan: selalu ada toko khusus untuk bahan-bahan yang berbeda. Maka urusan sepele seperti belanja di pasar bisa memakan waktu sepagian penuh karena sayur mayur, keju, daging, ikan, kacang-kacangan, telur, biji kopi, pasta segar, madu, dan manisan kulit jeruk berlapis coklat yang enak semuanya tersedia di toko yang berbeda. Dua kali seminggu, saya menghabiskan setidaknya lima jam untuk berbelanja di pasar dekat rumah. Saya akan memulainya dengan membeli telur segar dari kios sayur organik yang penjualnya bisa berbahasa Inggris, bergeser ke kios penjual sayur langganan yang meskipun hanya bisa berbicara bahasa Italia tapi harga sayurnya lebih murah dan ia kerap memberi buah gratis yang sedang musim, bergeser ke kios kecil sepasang suami istri muda yang selalu memiliki sayur eksotis dalam jumlah terbatas seakan ditanam di halaman belakang rumahnya saja, dan membeli lemon raksasa penuh air di kios tersembunyi seorang pria muram yang jarang tersenyum. Itu baru bagian sayur dan buah, belum asupan protein, yoghurt, camilan, minyak, kopi, dan manisan. 

Kios pasar dengan produk spesifik/ satu jenis

Suatu hari ketika minyak di rumah habis dan tiba giliran saya membelinya, Nora—teman serumah yang selalu mengutamakan kualitas apapun yang dikonsumsinya, membuat saya menghabiskan satu jam penuh hanya untuk memilih minyak zaitun yang menurutnya tidak cukup jika hanya extra virgin (karena keperawanan minyak zaitun memiliki tiga tingkat berbeda), harus organik (karena entah bahan berbahaya apa yang ada di dalam bahan makanan yang tidak organik), tapi lebih dari itu semua, harus dipastikan bahwa minyaknya diperas dengan metode cold-pressed! 

Nah, di situ kerumitan terjadi. Strategi pertama adalah memastikan bahwa kerumitan itu harus bisa dikurangi dengan meminimalisir kontak dan percakapan dengan bahasa Italia. Maka alih-alih mendatangi toko khusus minyak zaitun, saya memilih pergi ke Carrefour terdekat dan berhadapan dengan dua rak penuh minyak zaitun dengan berbagai kualitas dan tempat asal. Dua rak, tidak lebih rumit dari setidaknya sepuluh rak anggur dengan klasifikasi warna dan lokasi asal yang berbeda di supermarket itu. Dua syarat pertama (extra virgin dan organik), berhasil mengurangi pilihan hingga separuh. Nah, ketika harus mencari yang cold-pressed itu lah kerumitan terjadi: semua label tertulis dalam bahasa Italia sehingga mau tidak mau saya harus membaca satu per satu label belakang dan mencari kata ‘fredo’ yang berarti dingin. Cara bodoh yang meskipun terasa cukup efektif tapi sukses menghabiskan satu jam dalam membandingkan berbagai pilihan minyak yang ada.

Pelajaran dasar pertama dalam kurikulum minyak zaitun itu terbayar ketika sampai di rumah Nora memuji kelezatan minyak yang saya beli. Tapi, memang minyak bisa seenak apa, sih? Maka pelajaran kedua dalam kurikulum minyak zaitun hari itu dilakukan dengan bantuan sepotong kecil roti untuk menyerap banyak-banyak minyak yang ternyata enak sekali! Berikutnya saya mulai belajar bahwa minyak zaitun juga memiliki notes rasa yang berbeda, tergantung di mana buahnya ditanam. Seperti kopi dan wine, saya kemudian membayangkan minyak zaitun sebagai sepotong gambar lanskap dari tempat asalnya, membentang luas, berangin sepoi-sepoi, sekaligus penuh sinar matahari. Namun berhati-hatilah dengan minyak zaitun yang baik, sebagaimana pasta segar yang dimasak dengan benar, dua hal itu akan membuatmu sulit kembali menikmati minyak zaitun atau pasta medioker yang dibuat asal-asalan. Bisa gawat, bukan? (Jika kita berada di tempat yang jaraknya separuh dunia dari lokasi asal kedua hal ini). 

Suatu hari di pertengahan musim semi, penjual sayur langganan dengan bersemangat menawarkan kantalop sambil menjelaskan (dengan keterbatasan bahasa dan kekayaan gestur) bahwa akan rugi besar bila saya tidak membelinya saat ini juga—saat kantalop ini sedang berada di puncak kelezatannya. Ukurannya tidak besar, pas sekali dalam cengkeraman tangan dengan berat yang lebih dari kelihatannya. Wanginya menyeruak keluar dari kulit yang ternyata tidak setebal dugaan awal. Aroma itu mengubah keraguan yang sempat timbul akibat ingatan atas melon terakhir yang saya makan di pesawat menuju Italia: hambar dengan tekstur yang seperti styrofoam. Maka sebagai usaha untuk mengobati trauma tersebut, saya membeli kantalop yang ditawarkan, memasukkannya ke kulkas, dan menikmatinya sebagai camilan sore di hari yang cukup hangat. Belum pernah saya merasakan kantalop dingin yang begitu lembut, sarat dengan kandungan jus manis alami, dan aroma yang seperti ingin saya masukkan ke dalam botol dan semprotkan di pergelangan tangan setiap pagi. Sejak saat itu saya berjanji akan mulai lebih menghargai buah-buahan lokal yang sedang musim ketika kembali ke Indonesia. Ketika sayur dan buah didapatkan di musim dan lokasi yang tepat, setiap rasa mendapatkan ruang untuk bersinar sehingga tidak perlu ditambah bumbu-bumbu berlebihan. 

Saya mulai memanjakan diri dengan membeli tomat ceri paling manis dan berair yang ketika dimakan dengan keju tua rasanya jauh lebih memuaskan dibanding kue apapun; artichoke gendut-gendut untuk dimakan dengan banyak-banyak minyak zaitun atau artichoke mini untuk digoreng garing; asparagus kurus kecil-kecil yang manis, renyah, dan hanya membutuhkan waktu menumis singkat dengan minyak zaitun dan bawang putih untuk mencapai puncak kelezatannya. Sayangnya, asparagus kurus kecil ini muncul hanya sekitar dua minggu di pasar sebelum kemudian menghilang karena musimnya keburu lewat. 

Saya belajar untuk memanjakan diri dengan berporsi-porsi cima di rapa[xix] yang rasanya seperti perpaduan brokoli dan kale; memasak cavolo nero[xx] krispi untuk ditaburkan di atas nasi panas dan oseng sapi lada hitam; memastikan bahwa setiap kali courgette[xxi] kecil sedang berbunga, bunga-bunga itu tidak boleh dilewatkan karena cepat sekali habis diserbu ibu-ibu di pagi hari untuk digoreng tepung dan diisi keju. Saya paling suka memasak bunga-bunga itu dengan isian sisa risotto kemarin dan banyak-banyak daging sapi giling, atau sekedar memanggangnya sebentar supaya tidak merusak kelopaknya yang ringkih. Saya kecanduan agretti[xxii] yang juga dinamakan barba di frate alias jenggot biarawan karena bentuknya. Saya enggan membayangkan bentuk jenggot para biarawan namun menyukai rasanya yang sedikit sepat dan asin secara alami tanpa perlu ditambah apapun. Yang terakhir ini menjadi sayur andalan untuk disajikan bersama pasta, jagung tumis bawang dengan keju, atau nasi goreng. Siapa sangka bahwa bocah yang tumbuh membenci sayur-sayuran seperti saya bisa tiba pada satu saat dalam hidup untuk benar-benar jatuh cinta pada rasa sayuran!

Masakan sehari-hari di Torino

4/ “Menuju Catatan Kaki: Makanan, Migrasi, dan Representasi”
Ketika berbicara tentang spesifisitas daerah asal makanan, sulit untuk tidak membicarakan nasionalisme atau regionalisme di Italia. Meskipun masakan Italia mulai terbentuk sejak abad IV, namun negara bernama Italia baru dikenal pada abad ke 19. “The history of Italy is the history of a state that didn’t exist; for 1400 years, after the Romans and until the unity we were scattered into small reigns and republics, and colonised by different big European nations, …, there were different people with different histories, languages, and dialects.”[xxxi] Hal ini sedikit mengingatkan atas Indonesia dan bagaimana konsep awal Nusantara yang terdiri dari berbagai pulau dengan perbedaan suku, kebudayaan, kondisi geografis, dan juga makanan khas tiap daerah. 

Namun dalam kasus Italia, perdebatan tentang makanan mana yang paling enak di daerah mana bisa menjadi percakapan seru berjam-jam yang kadang bisa berakhir buruk dan kadang mencapai konsensus atas pengaruh kondisi geografis yang secara spesifik berkontribusi pada kualitas produk agrikultural tertentu, misalnya. Dalam kasus yang ekstrim, sebuah kelompok separatis Lega Nord (yang berarti Liga Utara) berusaha menanamkan sentimen antar kelas dengan bumbu-bumbu stereotipe antara Italia bagian utara (yang konon lebih moderen dan berbudaya) dan Italia bagian selatan (yang dalam narasi Lega Nord dianggap lebih terbelakang, malas, dan miskin—padahal tidak juga). Kelompok ini menggunakan unsur mistis, simbolis, dan menggunakan ritual pagan palsu untuk berkampanye. Mereka menjadikan sungai Po sebagai simbol ‘pembatas’ antara utara dan selatan. Airnya mereka gunakan untuk menyiram diri demi mendapatkan ‘berkah’ dari sungai tersebut. Untungnya, sungai Po tidak memberikan berkahnya dan Lega Nord kalah pamor. Perlahan-lahan, narasi mereka berubah dari pemikiran kedaerahan yang membagi sentimen antara Italia utara dan selatan menjadi pemikiran anti-imigran dan kemudian mengedepankan kebangaan berlebih atas nasionalisme mereka. 

Bayi baobab dan air khusus dari sungai Po

Narasi Lega Nord yang konyol ini kemudian digunakan oleh seorang seniman, Leone Contini, untuk mengkritik pemikiran ekstrim sayap kanan dalam seri karyanya yang berjudul “The Turin Baobab Invasion and Other Tales” (2018) yang merupakan karya barunya untuk pameran akhir yang kami buat dalam residensi di Turin kali ini. Karya tersebut terdiri dari dua kisah utama dan beberapa cerita pendamping. 

Narasi pertama, Turin Baobab Invasion, mengambil potongan kisah pohon baobab dalam buku Pangeran Kecil yang ditulis oleh Antoine de Saint-Exupery yang dianggapnya sebagai pandangan Eurosentris yang menggambarkan benih baobab sebagai penyerbu jahat yang dengan agresif mengganggu ketenangan planet kecilnya. Tidak heran bahwa sang Pangeran Kecil harus mendedikasikan seluruh waktu dan energinya untuk memberantas pohon tersebut dari benih hingga akarnya. Beberapa tahun sebelumnya, Leone sempat bertemu dengan seorang imigran dari Senegal di Genoa dan membeli beberapa benih baobab darinya. Pertemuan itu sekaligus menjadi titik balik bagi Leone untuk mulai menantang dan mempertanyakan pemikiran Eurosentris dalam buku Pangeran Kecil dengan menawarkan adanya perspektif lain: di Senegal, pohon baobab dianggap sakral dan memiliki kemampuan untuk menyimpan banyak air dalam jumlah besar meskipun dalam kondisi yang serba terbatas. Baobab juga merupakan simbol umur panjang karena rentang usianya yang bisa mencapai 1500 tahun. Benih baobab itu kemudian menjadi simbol perpindahan yang lahir di Senegal, berpindah tangan di Genoa, dibawa pulang ke Tuscan sebagai benih, dibesarkan di Salzburg dan Sicilia, sebelum kemudian berpindah ke Turin dan dipamerkan sebagai bagian karya Leone dalam Turin Baobab Invasion. Tentu saja kita belum bisa menyebutnya sebagai invasi bila hanya dua baobab kecil yang masuk. Dalam instalasi tersebut, terdapat dua baobab kecil yang sedang tumbuh dengan bersemangat, sewadah biji kering baobab yang siap ditanam, rumah kaca mini berisi banyak baobab yang sedang disemai, dan beberapa botol kecil jus baobab yang siap diminum oleh pengunjung supaya invasinya benar-benar menubuh. Sebelum membuat karya ini, Leone pernah iseng membuang benih-benih baobab ke dalam sungai Po sebagai gestur anti-esensialis atas kemurnian sungai tersebut dan dengan harapan, ratusan tahun dari hari ini, di suatu tempat sepanjang sungai itu, tumbuhlah pohon baobab. 

 “The Turin Baobab Invasion and Other Tales” (Leone Contini - 2018)

Dalam karya kedua, ia menceritakan kisah Fico di Gallicano, benih kacang merah yang pada tahun 1889 diselundupkan di dalam bagian dalam topi seorang emigran Italia yang baru saja pulang dari Amerika, kemudian ditumbuhkan di Gallicano dan karena kualitasnya yang baik kemudian dilindungi oleh pemerintah Italia, dijaga keasliannya, dan sampai-sampai dibuatkan museum untuk benih antik yang dianggap menjadi kekayaan daerah yang berharga. Dua kisah benih ini memiliki narasi yang jauh berbeda, benih baobab yang dianggap invasif dan benih kacang merah yang diselundupkan hingga kemudian berubah menjadi kekayaan daerah yang dilindungi. Di satu sisi, dua kasus yang berbeda ini menimbulkan harapan dan janji atas integrasi, bahwa hal yang tadinya dianggap penyusup kemudian tidak hanya bisa diterima namun juga menjadi bagian dari identitas nasional bertahun-tahun kemudian. Namun di sisi lain, karya ini bermain-main dengan ketakutan tidak rasional atas invasi hal-hal yang dianggap asing. Ketakutan ini, seperti benih yang telah tertidur bertahun-tahun sebagai warisan kolonialisme, kemudian terbangun oleh narasi politik dalam media Italia saat ini. Maka, dalam karya yang merupakan kumpulan kisah-kisah tersebut, sang seniman menyiapkan versi terbalik dari ritual pagan palsu yang digunakan oleh Lega Nord sebagai alat anti esensialis: benih-benih ‘penyusup’ yang telah bermigrasi ini ditanam di tanah asli dari Italia dan air yang diambil secara khusus dari sungai Po. 

Seniman yang berlatarbelakang pendidikan filosofi dan antropologi ini secara khusus memang kerap membahas tentang isu-isu migrasi dan politik perbatasan melalui makanan atau benih-benih. Salah satu karya jangka panjang yang dibuatnya adalah karya berbasis riset atas petani-petani Cina di Tuscan yang lahannya kerap didatangi dan benih-benihnya disita oleh pemerintah Italia karena dianggap sebagai ‘spesimen tidak dikenal’ yang mengotori kemurnian tanah pertanian Italia[xxvii], meskipun benih-benih sayur tersebut sudah ditumbuhkan oleh para petani Cina-Tuscan itu selama beberapa generasi benih. Sebagai bagian dari karya berkelanjutannya, Leone berkeliling Italia dan mencari lahan-lahan pertanian para imigran, kemudian memperkenalkan satu sama lain petani dari Cina, Filipina, Afrika, dan lain-lain untuk membentuk jaringan bawah tanah bagi benih-benih ‘ilegal’ ini supaya para petani bisa tetap saling bertukar benih dari berbagai daerah dan terus menerus membangun kembali lahan pertaniannya. 

Proyek seni ini kemudian perlahan-lahan terlepas dari sang seniman dan memiliki kehidupannya sendiri selama jaringan benih-benih terus beroperasi diam-diam, seperti komunikasi rahasia pohon-pohon. Di titik ini, spesifisitas area bagi sayur mayur menjadi hal yang sangat politis dalam perdebatan antara para esensialis dan anti-esensialis. Seperti halnya dengan benih-benih sayuran, meskipun beberapa bahan makanan konon katanya terbaik jika tidak berpindah, sejarah masakan di Italia justru sarat dengan perpindahan yang kemudian terasimilasi dan berakar pada tempat tinggal barunya beratus-ratus tahun kemudian. Sebagian sejarahnya akan terihat dalam catatan kaki di bagaian bawah tulisan ini. 

Bibit tanaman yang diselundupkan dalam backpack

Di akhir perjalanan, selain belajar bahwa pasta alfredo tidak benar-benar ada di Italia (dan justru diasosiasikan dengan makanan nasional US), saya belajar bahwa alih-alih mempercayakan rekomendasi sepenuhnya pada panduan wisata lebih baik mengikuti rekomendasi warga lokal dan bahwa hal yang paling penting untuk menikmati Italia dan makanannya adalah ketersediaan waktu. Di tengah terpaan jadwal dan perjalanan yang gila, Italia justru mengajarkan untuk kembali ke hal-hal yang mendasar: pentingnya memelankan langkah, kemewahan atas waktu, menghargai kesementaraan musim sambil menantikan musim selanjutnya, serta otentisitas rasa yang terpengaruh oleh lanskap dan tradisi dari setiap daerah. Namun di antara semua hal yang secara langsung berhubungan dengan makanan, justru momen berkumpul untuk aperitivo[xxiii] atau berjalan santai setelah kekenyangan makan malam dalam la passeggiata[xxv], membuat saya semakin merindukan kehangatan berkumpul dengan keluarga dan orang-orang yang penting dalam hidup. Ketika perjalanan dimulai dengan sederet daftar nama makanan yang ingin saya coba di Italia, perjalanan ini ditutup dengan sederet daftar nama orang-orang yang ingin saya ajak berbagi momen untuk menunggu lapar sebelum makan dan berjalan-jalan santai setelahnya.

(Oya, foto-foto makanan lain bisa dilihat di instagram @nilamlamulam ya..)
_____


Catatan kaki (akan diperbaiki)
i. risotto alla milanese : the simplest and most luxurious. Sempet ada yg kalo menyajikan beneran pake gold leaf. Nasi dan saffronnya konon katanya dibawa para migran, sejarah risotto ala milanese dua versi: pertama- pendatang belgia yg mau menikahkan anaknya dan menyajikan sajian istimewa atau versi yg lebih umum: para tukang dari timur tengah yg membangun katedral milan yg famous itu, memasak di belakang katedral dan menggunakan saffron yg digunakan untuk mewarnai ornamen katedral untuk mewarnai nasinya.
ii. pesto; semacam sambel, isinya bisa macem2, yg di genoa isinya basil, pine nuts, olive oil, diulek segar sebelum disajikan supaya rasa dan aroma prima, digunakan di atas roti atau untuk campuran/ saus pasta
iii. spritz aperol: biasa untuk aperitivo, a staple cocktail untuk ada di setiap foto instagram publik seni rupa yang sedang datang ke pembukaan venice biennale. 
iv. chiccetti: makanan kecil aneka rupa yang dipesan di bar dan dimakan sambil dibagi dengan teman2
i. panino: kalau satu namanya panino, kalau lebih dari satu (plural) namanya panini, semacam sandwich
vi. cotoletta: daging-- ditepungi, lalu digoreng
vii. ossobuco: buntut sapi masak tomat
viii. casatta: cake khas sicilia yg menggambarkan migrasi warganya di masa lalu, berisi ricotta cheese, almond, pistachio, jeruk, dll 
ix. cannoli: dessert di dalam cangkang pastry berisi ricotta cheese dengan manisan kulit jeruk
x. limoncelo: minuman keras dari lemon, rasanya smooth dan keras, kalau bukan buatan rumah cenderung terlalu manis, biasa untuk digestiv
xi. sfogliatelle: pastry khas Napoli, di paris dikenal sebagai ‘buntut lobster’, di napoli isinya ricotta panggang dan manisan kulit jeruk, luarnya pastry sheet yang dipanggang sampai crispy. 
xii. Napoli: terkenal karena pizzanya dan sangat menghargai tradisi makanannya, sehingga McD dan aneka fast food chain lain dilarang masuk hingga beberapa tahun yang lalu. McD masuk dengan slogan “akhirnya kami sampai di sini” dan dengan perang iklan.
xiii. prosecco : saya selalu merasa prosecco adalah versi murah dari champagne. Sebenarnya sih ini semacam sparkling white wine. Ringan. Sering menjadi bagian dari aperitivo. Cocok untuk saat udara panas. Asli dari Venezia. 
xiv. tagliata: artinya ‘potongan’, hati2 ketika memesan karena ada dua nama yang mirip: tagliata adalah potongan tipis daging sapi panggang yang kerap disajikan dengan daun rucola sedangkan tagliatella adalah pasta pipih panjang2 menyerupai spaghetti. 
xv. porcini: sejenis jamur khas italy yang rasanya sedikit mirip jamur shitake dengan aroma yang sedikit mirip truffle tapi jauh lebih murah
xvi. polpette: bola bola daging. Biasanya dimasak dengan saus tomat/ krim dan disajikan sebagai makanan pembuka atau pendamping
xvii. cacio e pepe: pasta dengan keju pecorino romano (cacio) dan merica (pepe) saja, masakan rumahan yang dijadikan gerakan charity responsif oleh seorang koki terkenal Massimo Bottura untuk menyelamatkan ekonomi pabrik2 keju pecornino romano berumur puluhan tahun yang hancur dalam sebuah gempa bumi di daerah penghasil keju tersebut. Keju pecorino romano termasuk keju yang dilindungi asal daerahnya dengan sertifikat PDO (protected designation of origin) untuk menjaga kualitas dan keasliannya sehingga hanya tiga daerah di Italia (Sardinia, Lazio, dan Grosseto) yang boleh memproduksi keju jenis ini. 
xviii. Vesuvio: atau kita kenal sebagai Vesuvius adalah gunung berapi yang letusannya menghancurkan kota Pompeii di tahun 79M dan menyebabkan kota itu hilang hingga 1.600 tahun. Vesuvio juga merupakan nama beberapa jenis makanan di Napoli-- yang saya temukan setidaknya ada 3: kue bolu berbentuk gunung Vesuvius, tomat lokal yang bentuknya sedikit mengkerucut di ujung, dan pastry yang isinya baba au rhum (bolu yang disiram rhum) dengan topping krim segar. Baba au rhum sendiri merupakan dessert yang juga bisa ditemui di Perancis, dll dan dibawa oleh imigran timur tengah 
xix. cima di rapa: alias brocollini.. semacam brokoli muda yang bunganya kecil2 dan daun serta batangnya lebih panjang—enak sekali! Sedikit pahit seperti kale tapi crunchy dan kaya rasa seperti brokoli. 
xx. cavolo nero: kubis hitam alias kale lokal di italy, bentuknya sedikit berbeda dengan kale yang biasa kita kenal (dan jauh lebih murah kalau di pasar karena kale sudah di-over marketize dengan embel2 organik atau ajaib atau penuh kesehatan, sedangkan cavolo nero lebih lokal dan sangat musiman)
xxi. courgette: alias zucchini, semacam terong-terongan, yang bentuknya kecil ada bunganya dan bunga itu bisa dimakan. 
xxii. agretti : alias jenggot biarawan, sejenis rumput laut
xxiii. aperitivo: minuman keras yang ringan untuk diminum sebelum jam makan malam untuk meningkatkan nafsu makan, juga merupakan sinonim waktu untuk bersantai, nyemil dg teman sore2
xxiv. digestiv: minuman keras sekali yang diminum setelah makan untuk melancarkan pencernakan
xxv. la passeggiata: jalan2 sore supaya makanan turun
xxvi. Gabrielle Gaspari in “Italy is a laboratory for political experiments”, in Italian Conversations: Art in the Age of Berlusconi, p.22.
xxvii. Leone Contini, schloss post, https://schloss-post.com/our-gourds-first/ -- notes yg bener ditulis belakangan deh.