3.11.19

2/ Paris yang Pertama [travelogue: nov 2016]



Ah, Paris.  

Sebuah lagu dinyanyikan seorang laki-laki muda yang kerap saya bayangkan sebagai perajuk yang hendak ditinggal kekasihnya ke Paris. Mungkin baginya Paris merupakan sebuah kota yang akan menelan kekasihnya bulat-bulat dan menariknya menjauh hingga tidak lagi bisa digapai. Dalam nyanyiannya ia mencoba meyakinkan sang kekasih: "Toh, anggur sama memabukkannya... (dan) hujan sama menakjubkannya di Paris atau di tiap sudut Surabaya"[i]. Usaha itu menurut saya sangat menggemaskan dan penuh kekhawatiran. Saya ingin menepuk bahu laki-laki itu dengan simpati terdalam karena tak mungkin ia lupa: bagi beberapa orang, Paris bukan hanya sebuah kota namun merupakan sebuah konsep yang telah tertanam jauh di dalam kepala. Wujudnya bisa apa saja dan perkara konsep itu akan hancur berkeping-keping menjadi apa yang disebut sebagai 'Paris  Syndrome'[ii], atau justru semakin kuat tertanam dan akan seterusnya menjadi bagian dari dirinya[iii], sama saja! Konsep dan ide atas Paris itu lah yang membuat hujan, sayangnya, sudah lebih menakjubkan sejak di dalam angan-angan atas Paris. 

Dan begitulah: saya pertama menginjakkan kaki di Paris pada sebuah siang yang gerimis. Paman, yang entah bagaimana bisa terlihat sangat bersemangat, menyambut di peron kereta api yang membawa saya dari Amsterdam ke Paris dengan pelukan hangat dan teriakan pendek "Welcome to Pariiiiii!" sebelum kemudian berjalan cepat-cepat menuju antrian taksi yang akan membawa kami ke pusat kota sambil terus mengingatkan untuk menjaga tas karena menurutnya, stasiun Gare du Nord ini sangat berbahaya. "Aku pernah melihat penjambret menarik tas tangan gadis muda yang malang hingga ia jatuh dan terluka di sini", katanya menakut-nakuti. Saya cepat-cepat memindahkan tas punggung ke depan dan dengan penuh semangat mengikuti jalannya yang cepat sambil sedikit memaki diri sendiri: "Sungguh keputusan yang tepat untuk mengenakan sepatu hak tinggi, nona!"  

Paris dalam pikiran saya terdiri dari ide-ide yang berbeda: Paris-nya Hemingway, Paris-nya Walter Benjamin, Paris-nya Certeau, Paris-nya Rousseau, Paris-nya Hugo Cabret, dan Paris-Paris lain dalam berbagai bentuk yang seluruhnya menjelma menjadi satu bayangan besar atas Paris yang tidak akan pernah objektif. Ia menjelma bayangan sebuah kota yang sudah berkali-kali dijelajahi dalam kepala dan di dalam buku-buku sebelum secara fisik benar-benar saya jelajahi. Maka seberapa pun saya bersiap untuk patah hati melihat Paris yang 'sebenarnya', saya cukup yakin bahwa setiap pengembara akan memiliki versinya sendiri atas sebuah kota dan versi dalam kepalanya itu akan menjelma menjadi pengalaman atas kota tersebut. Dalam kunjungan pertama itu, saya tidak mempersiapkan diri untuk terkejut. Alih-alih, saya mempersiapkan diri untuk berziarah ke Paris milik pribadi yang ada di dalam pikiran. Paman, yang sebelum kunjungan ini menanyakan Paris seperti apa yang saya inginkan, sudah mempersiapkan jadwal perjalanan yang padat untuk dua hari ke depan. Darinya, saya hanya meminta dua hal dari daftar perjalanan tersebut: Paris-nya Hemingway dan macaron terenak di dunia. Cliché.


Paman, seperti banyak orang lainnya, memiliki idenya sendiri tentang Paris. "Paris pertamaku..", begitu ia memulai ceritanya tentang masa muda yang selalu gelisah, memimpikan tempat-tempat jauh di tengah-tengah waktu bekerja. Gaji pertamanya dihabiskan untuk berpetualang di penginapan murah para backpacker di Bangkok dan sejak saat itu, ia tidak pernah berhenti berpetualang. Paris pertamanya adalah saat ia seusia saya sekarang dan seperti yang saya lakukan saat ini, ia melarikan diri sejenak dari kesibukan sekolahnya untuk mengalami Paris dengan remah-remah beasiswa yang dimilikinya lebih dari 20 tahun yang lalu. "Ngglidig"[iv], begitu ia mengistilahkan dirinya sebagai kebalikan dari anak baik-baik penurut yang betah tinggal di rumah.  Ia adalah salah satu partner berpetualang favorit saya. Saya tumbuh dengan petualangan kuliner bersamanya di Jogja, Jakarta, Semarang, Dumai, Cilegon, dan kota-kota kecil lain di Indonesia. Kali pertama kami memperluas trayek petualangan adalah saat saya pergi ke Amsterdam untuk tes wawancara masuk De Appel. Kami merayakan pengumuman lolos De Appel dengan berjalan-jalan di Madrid dan Segovia saat saya mengunjungi rumah masa pensiunnya di Spanyol—negara yang berbagi kegelisahan dan dinamika yang sama dengannya. Sementara itu, saya senang sekali dengan pemikiran tentang "Paris yang pertama" bagi mereka yang sudah memiliki ide-ide di kepalanya atas Paris. Istilah tersebut seakan menggambarkan pertemuan antara sebuah kota yang nyata dengan gambaran seseorang atas kota tersebut. Hasilnya bisa seperti segala macam benturan antara ekspektasi dan kenyataan pada umumnya: memuaskan atau sangat mengecewakan. 

  
Sepanjang jalan ketika taksi membawa kami dari Gare du Nord ke tengah kota, paman menjelaskan tentang tata kota Paris yang begitu rapi serta menciptakan perasaan tenang lengkap dengan kemewahan yang subtil karena simetrinya. Dengan bersemangat saya membalas ceritanya dengan betapa saya jatuh hati dengan keindahan Budapest. "Itu karena kamu belum mengalami Paris, Miy", katanya percaya diri. Perlahan-lahan pemandangan di luar sana berubah dari deretan apartemen sederhana di pinggiran ke kemegahan 1e arrondissement, Place de la Concorde, piramida kaca Louvre yang berpadu dengan ukiran-ukiran bangunan kerajaan tua di sekelilingnya, dan hati saya seakan membengkak dengan semangat untuk menikmati semuanya dengan rakus. Paman tidak pernah memberitahu di area mana kami menginap. "Kejutan", katanya. Maka ketika taksi berhenti di ujung Jardin du Luxembourg, taman tempat Hemingway diam-diam menjerat leher merpati-merpati malang untuk dimasak oleh keluarganya yang kelaparan, hati saya sudah meledak-ledak. Ia memilih sebuah boutique hotel kecil di Quartier Latin; selemparan batu saja jaraknya dari kios-kios buku bekas sepanjang sungai Seine, Shakespeare and Co, kediaman Gertrude Stein di 27 Rue de Fleurus, dan tempat membeli macaron terenak di dunia. Dia mempersiapkan sebuah kamar cantik kecil yang tidak proporsional dengan tempat tidur empuk yang terlalu besar bagi saya sendiri. Saya sedikit berharap andai saja Gio dan Hattie ikut dalam liburan pendek ini. Pasti kami akan melompat kegirangan melihat champagne gratis, bathtub lengkap dengan sekantung garam mandi aroma mawar, dan tempat tidur empuk yang jauh sekali kualitasnya dibandingkan budget hotel yang kami tempati dalam perjalanan-perjalanan De Appel. Setelah buru-buru menyegarkan diri dan membiaran paman kembali ke kamarnya untuk beristirahat sebentar, kami bertemu di lobi dan saya sudah cukup bijaksana untuk meninggalkan sepatu hak tinggi di kamar hotel serta memilih sepatu ballet flat yang nyaman untuk berjalan-jalan. 

Tujuan pertama kami: Pierre Hermé. 

Oke, saya mengaku. Selain dari buku-buku tentang para pejalan kaki dan seniman bohemia, gambaran Paris bagi saya banyak terdistorsi oleh film-film populer: Marie Antoinette-nya Sofia Coppola, Paris Je T'Aime, dan Amélie. Setelah bertahun-tahun terobsesi pada macaron cantik berwarna-warni dalam berbagai kualitas yang tersedia di Indonesia, saya pernah dikecewakan oleh sekotak macaron Ladurée yang ternyata biasa-biasa saja—meskipun sudah digambarkan penuh mimpi dengan bertumpuk-tumpuk mutiara dan sepatu cantik dalam film Marie Antoinette. Pernah suatu kali saya begitu menginginkan macaron yang saat itu baru tersedia di Jakarta; kemudian mengobatinya dengan memakan banyak-banyak kue geplak manis warna warni dari pusat oleh-oleh di Jogja. "Yah, mirip-mirip lah", pikir saya saat itu.  Maka ketika saya meminta dibawa ke tempat macaron paling enak di Paris, seharusnya itu adalah tempat macaron paling enak di dunia, bukan? Saya diam-diam berharap tidak dibawa ke Ladurée, maka ketika paman berjalan menuju arah Pierre Hermé yang sudah saya tandai di google map, hati kembali berdesir pelan. Tokonya kecil dengan antrian yang mengular sampai ke luar. Sekilas toko itu terlihat lebih mirip seperti butik toko tas dan dompet kulit daripada toko kue. Saya menanti antrian dengan tidak sabar, seperti ingin mencicipi semua kue di sana. Paman bertanya apa saya ingin melewatkan makan siang saja dan memilih tidak hanya macaron namun juga kue-kue dari toko tersebut? Saya langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang. Seperti mimpi terliar masa kanak-kanak: dibawa ke toko permen dan dibebaskan dari keharusan makan sayur demi makan permen tambahan! Kami keluar dengan sekotak macaron seri musim gugur dengan rasa yang aneh-aneh, beberapa kue yang terlalu cantik untuk dimakan, dan beberapa macaron tambahan rasa jamur truffle yang kami tahu akan kami perebutkan. Pasti, karena saya tumbuh dengan keasyikan berebut makanan kesukaan dengan paman yang satu ini. Truffle yang kerap ia gambarkan secara asal-asalan sebagai "jamur beraroma petai", ternyata menjelma rasa macaron ajaib yang unik. Mencicipinya menjadi sebuah pengalaman tersendiri, seperti menghirup aroma tanah basah di hutan dikelilingi daun kuning berguguran. Maka kami berdiri di bawah gerimis di depan Pierre Hermé dengan ledakan-ledakan kecil rasa manis yang pas dengan aroma truffle yang memanjakan.  Waktu seakan berhenti di sana. Kemudian satu bait lagu yang sekali lagi terlalu cliché untuk saat itu berputar di kepala: "I love Paris in the fall, I love Paris in the winter when it drizzles.."  

...

Kami berjalan melalui Saint-Germain-des-Prés, jalan yang terkenal dengan kafe-kafe tempat berkumpulnya para pemikir eksistensialis hingga salah satu persimpangannya diberi nama Place Sartre-Beauvoir dari pasangan filsuf Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir; berbelok melewati Café de Flore yang ramai dan touristy, dan berhenti sebentar di Sennelier. Sennelier adalah sebuah toko alat lukis tempat Cézanne membeli cat minyak dan tempat produk pewarna khusus diciptakan bagi Picasso. Itu adalah salah satu tempat kesukaan paman. Maka ia kecewa sekali saat toko itu ternyata tutup! 

Kami melanjutkan perjalanan melewati kios-kios buku bekas sepanjang sungai Seine dan paman menunjuk sebuah bangunan di kejauhan, "Kita mau ke museum itu", katanya. Saat itu, saya menyadari bahwa Paris pertama bagi saya tidak akan pernah menjadi milik saya sendiri. Paris pertama itu akan selamanya menjadi pengalaman yang memiliki proporsi seimbang antara hal-hal dalam angan-angan saya dan tempat kesukaan yang ingin dibagi oleh paman. Itulah yang justru menjadikan Paris yang pertama ini lebih spesial. Beberapa langkah ke belakang, sebuah puisi berjudul Sensation oleh Arthur Rimbaud tertulis di jendela Sennelier yang tutup itu. Puisi tersebut selalu berhasil membawa saya kembali ke bertahun-tahun yang lalu ketika hari-hari masih dipenuhi dengan piknik di taman dan perjalanan tanpa tujuan dengan kekasih. Ternyata sulit untuk tidak berpikir tentang romansa di kota ini, seberapapun saya ingin melepaskan diri dari pemikiran cliché tentang romantisme Paris. Diam-diam saya berjanji pada diri sendiri untuk suatu saat kembali dengan Dito yang nama depannya konon diambil dari nama kota ini dan membagi rata Paris pertamanya dengan versi kesukaan saya.

...
 
Musée d'Orsay adalah museum yang dibangun di bekas stasiun kereta api yang menakjubkan. Koleksinya kebanyakan merupakan karya impressionis dan post-impressionist dengan patung-patung indah yang berjajar di apa yang saya bayangkan sebagai peron utama pada masanya dan ruang lukisan di kanan kirinya. Sebagai seorang kurator muda, lukisan masih merupakan titik lemah saya. Karena kurangnya minat atas karya-karya formalis, saya masih memiliki kesulitan menerjemahkannya dengan baik. Maka saat-saat seperti ini, saat paman yang penyuka lukisan membawa saya ke museum yang memiliki koleksi lukisan istimewa, saya buru-buru membekali diri dengan audio guide dan membaca setiap penjelasan karya dengan khusyuk. Bagi saya, sebagian liburan akhir pekan ini kembali menjelma menjadi momen untuk belajar, langsung di depan karya-karyanya. Namun lebih dari keindahan karyanya, saya kagum dengan bagaimana antrian masuk ke museum ini mengular dan di dalamnya para pengunjung menikmati karya-karya dengan serius. Beberapa kelompok bahkan membawa kursi lipat masing-masing dan setiap kali seorang pemandu resmi menjelaskan tentang konteks sebuah karya, mereka duduk dengan tenang sambil mendengarkan dan memandang karya tersebut lama sekali seakan sekali lewat tidak akan cukup untuk memuaskan kehausan mereka atas keindahannya. 

Setelah berjam-jam memasuki setiap ruangan di museum yang besar itu, akhirnya kami mulai kelaparan. Paman sudah memutuskan bahwa kami akan makan moules-frites, kerang dan kentang goreng ala Belgia, di rumah makan kesukaannya. Kentang goreng adalah salah satu titik lemah saya. Sulit sekali untuk menolak kentang goreng, apalagi saat kelaparan hasil terpapar ratusan karya seni. Setelah mendapatkan tempat duduk di pinggir jendela, kami memesan kerang dengan cara memasak yang berbeda-beda supaya bisa saling icip, kentang goreng berpotongan gendut-gendut, dan bir Belgia. Seember kerang berbumbu anggur putih dan mentega dan satu ember lainnya dengan bumbu a la Provence keluar di hadapan kami yang menatapnya dengan mata berbinar-binar. Nah, ada satu masalah di situ: titik lemah saya berikutnya dalam hal makanan adalah kebosanan. Saya mudah sekali bosan dengan satu rasa makanan. Karenanya saya biasanya memilih untuk memakan beberapa jenis rasa dan makanan sekaligus untuk menghindari kebosanan. Kerang itu enak sekali, namun sebelum setengah ember habis pun saya sudah kebosanan. Saya kembali menjelma anak manja yang tidak mau menghabiskan makannya. Setelah makan, kami kelelahan dan memutuskan untuk pulang sebentar. Paman kembali ke kamarnya untuk tidur sore sejenak dan saya memutuskan untuk berendam dengan garam mandi beraroma mawar sembari mengirimkan foto-foto ke rumah untuk mama yang senang sekali melihat anak tertuanya dan adik kecilnya bersenang-senang bersama. 



Malam itu, kami melewatkan makan malam dan memilih untuk menikmati champagne gratisan dari hotel dengan sisa kue siang tadi yang bentuknya mulai berubah jadi aneh (karena tidak hanya dibawa jalan-jalan tapi juga dimasukkan ke loker museum). Tiba-tiba paman berkata, "Aku tahu kamu mungkin tidak tertarik melihat menara Eiffel, tapi ini kali pertama kamu ke Paris, jadi kita harus ke sana!" Begitulah.. kami kembali berjalan kaki sampai Louvre dan karena malam itu kemudian menjadi terlalu berkabut dan terlalu dingin, kami memesan taksi untuk tur singkat ke tempat-tempat 'wajib' di Paris: melihat lampu sorot dari Eiffel di tengah kabut tebal yang membuatnya justru semakin cantik, melewati Champs-Élysées yang disebut paman sebagai 'Malioboro on steroid', Arc de Triomphe, Obélisque de Louxor, dan landmark lain yang kami nikmati dengan malas dalam kehangatan mobil yang memutari kota perlahan.

Hari berikutnya, kami mengunjungi Musée de l'Orangerie yang merupakan sebuah museum di bangunan yang dulunya digunakan untuk melindungi pohon-pohon jeruk di taman Tuileries. Ketika perang dunia pertama berakhir, Monet menghadiahkan seri lukisan teratainya, Les Nymphéas, kepada pemerintah Perancis yang kemudian membangun ruangan mengelilingi lukisan tersebut dengan spesifiikasi pencahayaan sesuai permintaan Monet: sebisa mungkin menggunaan pencahayaan alami. Hasilnya menakjubkan sekali! "Kamu tahu tamannya Monet di Giverny? Semua  teratai di kolamnya sudah dia gambar satu-satu, tuh", celetuk paman asal-asalan. Kami mungkin membuat banyak orang sebal di museum ini karena kami berdua bergantian berfoto di depan lukisan teratai yang besar sekali itu hingga nyaris memalukan. Setelah makan siang dan berjalan-jalan tanpa tujuan, kami akhirnya menuju satu tempat yang paling saya impikan sejak bertahun-tahun yang lalu: Shakespeare and Co. 

Saya ingat jelas 'pertemuan pertama' dengan Shakespeare and Co,: saat itu saya masih menyelesaikan skripsi tentang toko buku alternatif di Jogja yang kemudian menjadi cikal bakal LIR. Saat itu awal tahun 2007 dan dalam riset tentang toko buku independen, saya menemukan kisah Shakspeare and Co. Saat itu saya berpikir, "Ini dia yang ingin kulakukan jika aku dewasa nanti!" Dan seperti takdir, beberapa bulan sebelum mendirikan LIR, Dito menghadiahi buku A Movable Feast. Cara Hemingway menceritakan tentang Shakespeare and Co. dalam buku itu membuat saya semakin mantab untuk membuat sebuah ruang berkumpul bagi para seniman, penulis, penikmat seni, pembaca, pencipta, dan pribadi-pribadi melankolis lainnya. Dan begitulah, LIR justru tumbuh sebagai tempat berkumpul: menjadi sebuah ruang seni namun tidak pernah benar-benar menjadi toko buku. Diisi dengan bahan bakar semangat yang menggebu-gebu, saya berjalan secepat mungkin bersama paman yang kali ini kalah cepat. Saya melewatkan keindahan Île de la Cité dan penjelasan paman tentang jembatan cantik yang kami lewati karena seluruh pikiran saya sudah terpaku pada toko buku kecil yang hampir memasuki jam tutup itu! Sesampainya di sana, fasad bangunan yang sudah begitu akrab di kepala menjadi nyata. Namun... antrian masuknya panjang sekali!! 


Pikiran saya mendadak melayang ke Istanbul yang tidak pernah saya datangi, dan pada perasaan yang menyerupai empati pada Fusun yang tidak pernah pergi ke Paris. Dalam buku Museum of Innocence, saya begitu terluka oleh akhir kehidupan Fusun sehingga saya kerap menduga-duga alasan yang logis atas tragedi itu. Salah satu usaha saya melogikanya adalah dengan membayangkan Fusun yang sebenarnya sedang menghindari kekecewaan yang mungkin terjadi atas harapan dan bayangannya terhadap Paris ataupun hubungannya dengan Kemal, sehingga tepat pada saat ia hampir meraih keduanya, ia memutuskan untuk membiarkannya tetap abadi sebagai angan-angan yang indah saja.  

Saat itu, Paris kembali kelabu dan gerimis. Paman terlihat kelelahan setelah saya membuatnya berjalan cepat menuju Shakespeare and Co. Ia mengenakan selapis jaket biru hangat di atas sweaternya, namun saya tahu ia lebih mudah kedinginan dibanding saya yang hanya mengenakan selapis mantel wool beige di atas rok hitam. Sementara itu, saya dibuat ragu oleh keinginan memiliki pengalaman Shakespeare and Co yang tenang dan sunyi seperti dalam bayangan selama ini—berjalan di antara buku dan ruangan yang berisi hantu-hantu masa lalu; bukan Shakespeare and Co yang penuh sesak oleh turis romantis seperti saya saat itu. Kami mengantri di luar selama beberapa menit sampai suara gadis pemimpi di kepala perlahan berbisik dengan sinis, "Go home. No ghost of the lost generation waiting for you here. This romantic utopia is a fan labour masquerading as a bookstore".  Maka saya berbalik, meninggalkan antrian, mengajak paman pergi, dan menghibur diri dengan kembali mengajaknya ke Pierre Hermé untuk membeli oleh-oleh bagi dua sahabat tersayang di Amsterdam. Saya siap kembali pulang ke sekolah. 


Dalam perjalanan kembali ke hotel, paman yang melihat lompatan-lompatan kecil di tiap langkah saya perlahan memudar, mencoba menghibur dengan mengajak mampir ke toko buku lain. Tapi turis romantis pemuja kehidupan para lost generation manapun pasti tahu bahwa Shakespeare and Co tidak pernah sekedar menjadi toko buku biasa. Saya menggeleng dan mengajaknya terus berjalan pelan. Di tengah kekecewaan seperti itu, hanya kejutan-kejutan kecil yang bisa menghibur hati yang sedikit retak. Maka Paris membawa langkah kami ke sebuah area sepi yang asing: kami tersesat! Gelap malam mulai turun dan kami tidak lagi punya paket data di telepon genggam kami. Di saat itu lah kami melihat sebuah pintu menuju gang tersembunyi di antara dua bangunan. "Mungkin gang ini akan membawa kami ke jalan besar", pikir kami sedikit ragu. Semakin masuk, samar-samar terdengar derau orang bercakap-cakap dan terlihat cahaya kuning hangat menyala dari sederet restoran-restoran kecil yang sibuk. Cahaya kuning lembut yang menyala di gang tersembunyi di tengah hamparan bangunan dan langit kelabu itu lah yang kemudian seterusnya saya asosiasikan sebagai warna Paris. Kami yang kelelahan oleh perjalanan hari itu dan terpaan gerimis tanpa henti, memutuskan untuk mampir dan menghangatkan badan. Benar saja, setelah beberapa porsi makanan kecil yang lezat, kekecewaan sedikit berkurang. Melihat saya yang kembali bersemangat karena kejutan gang kecil penuh restoran itu, paman memberikan usul yang manis sekali: "Lain kali kamu ke Paris, jelajahi gang-gang tersembunyi yang dibangun untuk membuat para tukang belanja dan tukang keluyur sama-sama bebas berjalan tanpa kehujanan: les passages couverts"[v]. Ia mengingatkan bahwa ada Paris versi lain dari The Arcade Project-nya Walter Benjamin (yang belum selesai saya baca itu). Begitu banyak buku, begitu banyak film, begitu banyak cara menikmati Paris!

Esok paginya, saya pulang ke Amsterdam dengan perasaan yang campur aduk, kebahagiaan manis yang bercampur dengan sedikit kesedihan yang khas. Melankolis. Mungkin rasanya persis seperti macaron rasa jamur truffle di Pierre Hermé kemarin. Yang kemudian saya sadari, tidak hanya kebahagiaan kecil yang membuat kehidupan berwarna dan manis: juga kesedihan ringan karena harapan yang tak sengaja retak. Dalam perjalanan, saya kembali memutar lagu Silampukau, suara si pria perajuk yang mencoba membujuk kekasihnya untuk tidak pergi ke Paris itu kembali berkumandang. Kali ini saya terpaku pada satu bait di liriknya: "Jauh-jauh Puan kembara, sedang dunia punya luka yang sama." Sialan!

-----

Catatan:
[i] lagu berjudul Puan Kelana, dinyanyikan Silampukau dalam album “Dosa, Kota, dan Kenangan”, 2014, Surabaya
[ii] Paris Syndrome adalah penyakit mental sementara yang menjangkiti turis yang berlibur ke Paris dan mendapati kota tersebut tidak seperti angan-angan mereka. Penyakit ini menyebabkan mereka mengalami delusi, ketegangan, hingga gejala fisik seperti pusing, berkeringat, muntah, dan pingsan. Tidak banyak kasus dalam sejarah turisme namun setidaknya ada 20 orang turis Jepang yang menderita sindroma ini setiap tahunnya karena terjebak di antara perasaan rindu rumah dan ‘penyakit’ Paris. 
[iii] Salah satu kutipan yang paling banyak digunakan untuk menggambarkan Paris oleh Hemingway: “If you are lucky enough to have lived in Pa ris as a young man, then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast.”, dikutip dari A Moveable Feast, 
[iv] ngglidig, ungkapan bahasa Jawa yang umumnya digunakan untuk anak ‘bandel’ yang berlari kesana kemari atau anak ‘nakal’ yang tidak betah di rumah dan sering pergi-pergi. 
[v]  les passages couverts alias gang tertutup yang merupakan bentuk awal dari shopping arcade di Paris pada abad ke 19 supaya para tukang keluyur dan orang-orang tetap bisa berbelanja dengan nyaman dalam cuaca seperti apapun. Di tahun 1850 terdapat lebih dari 150 gang beratap di Paris namun kini di abad ke-21 hanya sedikit yang tersisa dan sekitar 25 bisa diakses oleh publik. Gang beratap ini bentuknya area untuk pejalan kaki, umumnya memiliki atap kaca, menghubungkan dua jalan, berisi toko-toko di kanan kiri, dan didekorasi dengan indah.