25.11.19

4/ Tentang Giorgia dan Hariette yang Teristimewa



Seorang penulis Italia, Elena Ferrante, pernah menulis tentang persahabatan para wanita di kolom esai The Guardian. Dari judulnya saja dia sudah menyampaikan pesan utamanya: ‘A woman friend is as rare as a true love’. Ia menjelaskan bagaimana baginya, teman wanita yang diajak menghabiskan waktu untuk sekedar mengisi kekosongan dan membuat kita merasa tidak terlalu kesepian, tidak bisa disebut sebagai teman. Teman yang buruk dan tidak bisa diandalkan juga tidak masuk ke dalam hitungan ini. Namun lebih dari sekedar konsep teman yang baik dan benar, seorang teman wanita yang baik bagi wanita lainnya sungguh langka adanya, selangka cinta sejati. Argumennya ini berdasarkan atas asal kata ‘persahabatan’ dalam bahasa Itali. Persahabatan atau amicizia memiliki akar kata yang sama dengan cinta yaitu amare. Kompleksitas yang terkandung dalam sebuah persahabatan menjadikannya sama bermaknanya dengan cinta sejati. Dan seperti halnya cinta sejati, hatimu akan tahu ketika kamu menemukannya. 

Menurut saya, berteman membutuhkan usaha yang besar sekali: pertama, investasi waktu dan tenaga untuk mengenal lebih jauh si calon teman; kedua, seluruh perasaan (baik dan buruk) yang dikeluarkan dengan segala resikonya; dan ketiga, maintenance— bagian ini membutuhkan ketahanan, durasi, dan usaha kecil-kecil namun terus menerus. Besarnya usaha itu bisa beragam. Ada beberapa teman yang secara kasual menghabiskan waktu bersama dengan ringan tanpa ekspektasi dan baik-baik saja, namun ada pertemanan yang membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian. Coba saja, di jaman dengan kehidupan serba cepat seperti sekarang ini, siapa yang punya waktu untuk hal semacam ini, bukan? Tentu saja, selalu ada pengecualian. Ada beberapa orang yang begitu istimewa sehingga bahkan orang paling kikuk dalam berteman pun akan mengeluarkan usaha lebih besar dalam menjalin hubungan. Begitulah Giorgia dan Hariette bagi saya. 

Saya pertama bertemu dengan Hattie, begitu Harriette dipanggil, di hari wawancara masuk De Appel. Saya datang dalam keadaan kacau balau: kehujanan, kedinginan, dan nafas yang tersenggal-senggal akibat campuran antara lari-lari heboh dari Amsterdam Centraal ke De Appel akibat salah perhitungan jadwal bus ditambah lari-lari menaiki tangga yang curam ke lantai 4 tempat wawancara berlangsung. Kacau sekali. Sesaat setelah melepas jaket yang basah dan dalam usaha sia-sia mengatur nafas yang memburu, seorang wanita muda cantik berjalan keluar dengan sangat elegan dan percaya diri dari ruang wawancara menuju almari penggantungan jaket. Dengan anggun, ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Kontras sekali dengan keadaan saya saat itu. Dalam perkenalan singkat itu saya mengetahui bahwa dia bekerja di sebuah pusat seni kontemporer dalam region yang sama dengan saya. Seperti saya, dia menempuh perjalanan separuh dunia untuk wawancara tersebut. Kepercayaan diri yang saya bangun sejak pagi hari runtuh seketika. Saya belum pernah mendengar bahwa ada dua orang dari region yang sama diterima di De Appel dalam waktu bersamaan. Yang tidak kami sadari, saat itu kami tanpa sengaja membuat satu sama lain tegang dan runtuh rasa percaya dirinya karena mitos tersebut. Meskipun demikian, saya langsung menyukai wanita muda yang elegan ini. Maka kami bertukar kontak sehingga setidaknya kalau hanya satu di antara kami yang diterima, kami tetap terkoneksi. Untungnya, kami berdua lolos wawancara hari itu. Hattie adalah teman pertama dalam kelompok De Appel. 

Giorgia, yang saya kenal belakangan, adalah peserta termuda yang kemudian menjadi teman serumah. De Appel menyediakan sebuah rumah dengan sewa sangat murah bagi tiga kurator yang membutuhkannya. Sebagai anak penerima beasiswa dengan uang pas-pasan, tentu saya langsung mengambil kesempatan itu. Gio, begitu nama panggilannya, adalah satu dari tiga peserta yang kemudian tinggal di rumah bersubsidi di Anemoonstraat. Di hari kedatangan saya, Gio yang lebih dulu sampai di rumah Anemoonstraat menjemput di penyeberangan ferry Amsterdam Centraal untuk membantu membawa dua koper besar berisi perlengkapan hidup setahun ke depan. Sejak hari itu, hampir setiap saat kami selalu bersama. Sebagai Scorpio sejati, selera humornya yang sedikit gelap dan sinis serta kecerdasan yang tajam membuat Gio semakin memikat. Dia semacam Hermione di kelas: penuh referensi, selalu menjawab pertanyaan guru, dan banyak sekali membaca (meskipun sayangnya, tidak pernah buku fiksi). Dia juga merupakan salah satu orang paling tidak beruntung yang pernah saya kenal. Kejadiannya ada-ada saja. Mulai dari benda-benda yang tertinggal hingga sepeda yang langsung rusak dalam 15 menit pertama setelah dia membelinya dan terus menerus setelahnya. Sebagai kompensasi bagi ketidakberuntungannya, ia selalu menemukan sesuatu di jalan: kucir rambut, bebijian cantik, pin, dan seringnya uang receh. Dia adalah orang pertama yang saya kenal akan selalu berhenti setiap beberapa langkah untuk memungut benda-benda berkilau dari jalan. Bagi saya, ia semacam burung gagak yang cerdas dan memiliki koleksi benda-benda berkilau di sarangnya. Kebetulan ia juga selalu memakai baju serba hitam. Ia juga sering sekali menggeleng tidak setuju dan protes dengan cara yang khas. Ia akan berkata “Tck.. no.. no.. no.. no..” kalau pelayan menuang minuman yang tidak cukup banyak di gelasnya, ketika pizza yang kami beli terlalu mahal, dan ketika pasta yang kami pesan tidak dimasak semestinya. Ia juga ceriwis sekali, selalu gelisah, dan mudah panik. Menggemaskan sekali.
  
Beberapa hadiah dari Gio yang dipungutnya di jalan

Gio dipenuhi dengan kejutan kecil yang komikal sedangkan Hattie selalu terlihat stabil dan elegan. Keduanya sangat cerdas dan merupakan perpaduan yang membuat saya semakin penasaran untuk mengenal lebih dekat. Ketika baju Gio yang serba hitam itu kerap sobek dan bulu-bulu angsa di mantel hitamnya ditahan keluar dengan berbagai selotip berbeda seadanya; Hattie adalah jenis yang mencuci sepatu putihnya setiap kali terlihat kotor dan menggantinya dengan yang baru setelah tidak lagi bisa dibersihkan. Ia berbudi baik dan memancarkan aura kemewahan di sekelilingnya. Begitu kita mengenalnya lebih dekat, Hattie memiliki beberapa kekikukan lucu yang membuatnya manusiawi dan makin mudah disukai. Hingga saat ini saya selalu mengingat mereka dengan perasaan sayang yang lembut. Saya yang datang dengan perasaan berbunga-bunga khas pelajar yang untuk pertama kalinya tinggal di luar negeri, saat itu dengan ringan membuka diri untuk segala kemungkinan. Meminjam istilah Exupery, membiarkan diri 'dijinakkan' dengan segala resiko dan air matanya. Itu adalah kali pertama saya benar-benar berusaha mengikatkan diri pada kelompok pertemanan dengan sukarela dan sepenuh hati. 


Suatu hari di awal program, kami mengunjungi sebuah museum kecil di kota Haarlem yang jaraknya 10 menit saja dari Amsterdam. Saat itu musim gugur menjadi awal mula hari-hari yang dingin. Entah bagaimana, kami bertiga secara kebetulan tidak memakai cukup banyak lapisan penahan dingin. Di ruang pertama museum itu, kami yang sedang menyesuaikan diri dengan kehangatan ruang pamer setelah diterpa udara dingin di luar mulai mepet satu sama lain. Seperti tiga ekor burung kecil yang saling menghangatkan diri. Pasti pemandangan itu aneh sekali sehingga salah satu teman kami yang melihatnya mulai terkikik kemudian memotretnya (dia sendiri saat itu mengenakan jaket berisi bulu kelinci yang sangat hangat sehingga dia menertawakan kami yang tidak persiapan). Saat itu menjadi awal mula kedekatan kami.    


Tidak banyak pameran yang bisa menempel di ingatan jika tidak bagus sekali atau berhasil menyentuh hati. Harap maklum, kami mendatangi ratusan pameran seni rupa dalam waktu setahun itu. Meskipun demikian, satu dari tiga pameran di Frans Hals Museum De Hallen itu cukup istimewa. Sebuah pameran tunggal museum pertama bagi seniman Jepang Meiro Koizumi. Di lantai pertama, kami yang saling menempel kedinginan terlalu sibuk memulihkan diri sehingga tidak terlalu serius dalam melihat karyanya. Padahal karya video membutuhkan atensi dan waktu yang cukup untuk bisa dinikmati. Satu per satu, kami mulai menjelajah museum dengan kecepatan yang berbeda sesuai minat pribadi. Saya memutuskan untuk berjalan cepat mengelilingi museum untuk melihat pameran apa saja yang ditawarkan sebelum memutuskan karya mana yang akan saya lihat lebih detil. Setelah mencoba dengan sia-sia menikmati karya post-internet di lantai atas selama sepuluh menit, saya kembali ke dua ruangan besar tempat karya Meiro Koizumi diputar. Di lantai atas, terdapat instalasi foto dan video yang menyakitkan untuk dilihat berjudul “In the State of Amnesia”. Dalam video ini, seorang pria yang memiliki gangguan ingatan diminta untuk menghapalkan pengakuan seorang tentara Jepang yang memiliki trauma khusus setelah membunuh seorang anak laki-laki kecil dalam misi rahasia yang hingga saat ini masih ditutup-tutupi oleh pemerintah Jepang. Semakin pria tersebut mencoba mengingat, semakin ia kehilangan kata-kata dalam pengakuan itu. Di akhir video, sang seniman berkata “no words came out of his mouth, and all the words escaped from his memory”. Ungkapan itu pedih sekali: kata-kata, lepas dari ingatannya.. 

Masih membawa kepedihan dari lantai atas, saya kembali ke lantai bawah tempat video pertama diputar. Kali itu, saya tidak lagi kedinginan dan bisa menonton video dengan atensi penuh. Video itu berjudul “Rite for a Dream (Today my Empire sings)” dan disajikan dalam tiga channel instalasi video yang dramatis. Kisahnya cukup kompleks, tentang hubungan antara kekuasaan negara dan masyarakatnya secara personal. Tapi selain itu, videonya ternyata sedih sekali. Di akhir video, pemeran utama dalam video itu memanggil ayahnya sambil dikawal polisi sementara sekelompok orang berdemonstrasi dan di pinggir jalan, ada kelompok musik string yang mulai bermain musing mengiringi sekelompok koor bernyanyi. Saya menangis pelan. Sedikit sesenggukan. Untungnya, musik cukup keras untuk menyembunyikan suara sesenggukan saya yang sedang sendirian menonton video berisi komentar politik sang seniman dengan dramatis itu. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu pelan dan sebelum mengajak pulang, ia menyadari pipi yang basah saat saya menengok karena kaget. “Kamu menangis?”, tanya Hattie dengan geli dan gemas. Sialan! belum juga dua minggu kami saling mengenal dan ia sudah menangkap basah kerapuhan yang coba saya sembunyikan hati-hati. 

Karya Meiro Koizumi berjudul "Rite for a Dream (Today my Empire sings)", 2016.

Bulan berikutnya, kejadian yang sama dialami oleh Gio. Kami berada di Athens dalam sebuah pameran retrosepektif seorang seniman yang baru saja meninggal dunia. Pameran itu dibuat oleh murid sang seniman dengan intim dan sensitif. Di ujung pameran, setelah asisten kurator itu menjelaskan seluruh konteks kekaryaan sang seniman dengan kekaguman yang tidak coba disembunyikannya, tahu-tahu Gio sesenggukan. Mukanya merah dan basah. Kali itu, ia yang kehilangan kata-kata karena tersentuh hatinya. Kami hanya bisa tertawa geli sambil bebarengan memeluknya. Air mata ternyata bisa menjadi perekat persahabatan yang baik. Saya mulai menghitung setidaknya tiga kali menangis di depan mereka. Hattie, saya ingat satu ledakan kemarahan di kelas yang membuatnya menangis dengan serius dan satu dua air mata kecil ketika melihat karya yang menyentuh hatinya. Gio, dia yang paling sering menangis dan tertawa hingga tidak lagi terhitung banyaknya air mata yang dia bagi dengan kami. 

Gio yang ekspresif itu seperti gumpalan tangis dan tawa yang hangat, membuatmu selalu ingin memeluknya. Apalagi ketika sedang PMS. Maka kami mulai menyelaraskan isi Clue, aplikasi online penghitung siklus menstruasi. Kami sering bergurau bahwa tiga garis yang tersiknronasi dan membuat kami saling mengetahui tanggal menstruasi serta siklus pms masing-masing merupakan salah satu hal paling intim yang pernah kami lakukan. Media sosial tidak ada apa-apanya dibandingkan Clue yang saling terhubung. Ketika satu di antara kami mulai menjadi anak cengeng akibat serangan keji hormon, kami tinggal membuka app untuk mengkonfirmasi kondisi tersebut dan dengan maklum menjaganya dari gesekan tidak perlu dari luar.  

Kedekatan kami semakin terjalin saat perjalanan riset dimulai. Di Athens, ketika salah satu teman kami yang menginap di kamar sebelah berteriak-teriak pada pukul 3 pagi dan menuntut untuk dipindahkan ke hotel yang mewah karena di kamar mandinya terdapat seekor kecoak kecil, kami bertiga mulai semakin dekat. Kami sudah setengah tidur ketika mendengar keributan itu. Paginya, kami mendapati dua teman sekelas itu sudah pindah ke hotel mewah dengan pemandangan langsung ke Akropolis yang berkilauan di malam hari. Kami bertiga sedikit terkejut dengan keputusan mereka. Sejujurnya, kami tidak terlalu peduli dengan kamar hotel jelek yang disiapkan oleh De Appel. Toh kami suka sekali dengan kota dan makanan-makanan di Athens sehingga kami selalu pulang lewat tengah malam dalam keadaan super mengantuk, sedikit tipsy, dan hanya mempergunakan kamar hotel itu untuk tidur dan mandi saja.

Akibat drama dua teman itu, hotel tersebut memberikan pelayanan khusus bagi kami. Sebelumnya, saya berbagi kamar dengan Hattie dan Gio yang malang terpaksa tidur dengan satu-satunya pria di kelas ini. Di malam kedua, kami bertiga dipindahkan ke sebuah kamar besar dengan tiga tempat tidur. Itu adalah sleepover pertama kami. Kami menghabiskannya dengan cekikikan semalaman sebelum ketiduran. Malam itu kami membahas tentang dua teman yang pindah hotel serta keberuntungan kami dipindahkan dalam satu kamar yang bagus. Sebelum jatuh tertidur, Hattie bergumam cemas: "Aku takut, jangan-jangan ini adalah awal mula runtuhnya kita sebagai sebuah kelompok". 

Pit stops

Seperti dalam menjalin persahabatan, tahun yang dihabiskan di De Appel adalah semacam lari marathon. Hari-hari kami dipenuhi dengan jadwal perjalanan tanpa henti, kelas atau pertemuan-pertemuan yang berkelanjutan dari pagi hingga lewat tengah malam, kunjungan resmi ke lembaga seni, dan pameran serta studio seniman untuk didatangi. Saat kami diberi waktu jeda, biasanya ada setumpuk bacaan untuk diselesaikan sebelum kelas kembali dimulai. Pada dasarnya, sulit sekali untuk memiliki kehidupan sosial yang normal sehingga kami sudah sering mendengar cerita 'horor' tentang hubungan cinta atau persahabatan yang putus dan kelompok yang terpecah hingga tidak lagi berbicara satu sama lain (entah karena perbedaan personalitas atau kebosanan yang memuncak). Wajar saja. De Appel menerima enam kurator muda dari latar belakang yang berbeda-beda dan masih cukup muda untuk menjadi idealis dan teritorial dalam pemikirannya. Ego dan semangat masing-masing masih sama besarnya. Sedangkan latar belakang yang berbeda justru dimaksudkan supaya ide-ide pribadi terus menerus saling ditantang. Harapannya adalah supaya tercipta diskusi yang membentuk sekelompok kurator muda yang kritis. Namun terkadang, tantangan ini berakhir buruk dan diskusi tidak berjalan dengan sehat. Di bulan pertama pun kami sudah mulai mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seperti "Bagaimana, sudah mulai berteriak-teriak ketika mencoba menyampaikan pendapatmu di kelas?" atau "Masih berbicara satu sama lain tidak?" dan pertanyaan serupa lainnya. Kami selalu mencoba menjawabnya dengan sabar dan berulang. Awalnya kami akan berkata, "Kami masih saling menyukai." Lama-lama, jawaban ini berubah menjadi "Kami masih berbicara satu sama lain". Di akhir tahun, dengan lelah kami menjawabnya dengan "Setidaknya kami masih mengerjakan tugas akhir dalam satu kelompok". Di tahun-tahun sebelumnya, enam anak ini kerap terpecah dan menjadi dua kelompok yang menghasilkan dua tugas akhir yang berbeda. Kami memutuskan untuk tetap bersatu hingga akhir program, supaya terus tertantang! Untuk itu, perlu terus menerus menjaga energi dengan laju yang stabil dan berhenti sejenak saat diperlukan. Begitulah persahabatan kami bertiga berkembang: sebagai pit stops, pemberhentian kecil untuk menjaga kewarasan kami dalam program ini.  

Meskipun sekilas tampak berbeda-beda, kami bertiga memiliki kemiripan yang menyatukan kami dalam satu kelompok kecil. Selera kami cenderung mirip dan mudah saja untuk kemudian kami berteman dekat. Bagi orang-orang, pertemanan ini mungkin terlihat natural dan sudah sewajarnya. Bagi saya, membutuhkan usaha yang cukup keras untuk membuka diri terhadap persahabatan antar wanita ini.  Biasanya, jenis pertemanan yang low maintenance akan lebih saya pilih: jenis yang santai dan tidak menyita waktu. Namun kali ini, kami memiliki seluruh waktu di dunia untuk berteman karena program yang mengharuskan kami berenam untuk selalu bersama-sama. 

Kami bertiga mulai banyak menghabiskan waktu bersama. Awalnya diam-diam di waktu yang dicuri secara sembunyi-sembunyi karena tidak enak jika terlihat membentuk kelompok kecil di dalam kelompok. Maka kami mulai mengirimkan pesan-pesan rahasia melalui kelompok whatsapp, pulang sendiri-sendiri untuk kemudian berkumpul di kafe kecil di ujung jalan yang menyajikan pai apel paling enak se-Amsterdam, dan seringnya diam-diam makan malam bersama di apartemen Hattie yang nyaman (tidak seperti rumah bersubsidi yang saya dan Gio tempati di Anemoonstraat). Kami selalu berkata bahwa apartemennya adalah ruang tengah yang tidak pernah kami miliki di Anemoonstraat. Perjalanan pulang dari rumah Hattie akan selalu menjadi pengalaman lucu. Kami yang berjalan dalam keadaan tipsy harus saling menjaga. Seringnya, saya harus menarik Gio menjauh dari setiap area pembuangan sampah karena dia akan mencari-cari barang bekas yang bisa dibawa pulang. Sepanjang perjalanan pulang, setidaknya kami akan berhenti dua atau tiga kali. Pernah Gio berpikir akan mengambil satu rak buku besar yang dibuang di pinggir jalan dekat rumah Hattie di Jordaan dan membawanya berjalan ke rumah kami di Noord. Jaraknya sekitar 2km jalan kaki ditambah naik ferry penyeberangan. Gila saja! Pernah juga ia berusaha membawa sofa yang masih bagus atau bergulung-gulung kertas dinding terbungkus plastik. Pagi harinya, dia akan bingung kenapa ada kertas dinding, sekoper penuh piringan hitam, dan benda-benda lainnya di rumah kami yang sempit. Saya sangat menikmati malam-malam aneh yang membuat saya makin sayang Gio. 

Sesekali, kami memanjakan diri dengan membiarkan diri menjadi turis saat mengunjungi kota lain dan pertemuan dengan direktur museum atau seniman lokal selesai dilakukan. Itu berarti berjalan-jalan ke tempat wisata di sela-sela waktu rapat dan mencoba daftar tempat makan lokal yang direkomendasikan banyak orang. Biasanya saya yang bertugas melakukan riset kecil-kecilan dan membuat daftar tempat makan tujuan. Hattie yang hobinya berplesiran keliling dunia akan mencocokkan daftar ini dengan daftar yang ia buat. Kemudian kami akan mengikuti direksi dari Google Map menuju tempat tersebut. Gio, yang memiliki kemampuan navigasi yang baik, akan bertugas mengarahkan jalan dan menghubungkan kami dengan teman-temannya. Ia nyaris selalu memiliki teman lokal di setiap kota yang kami kunjungi. Ketika kembali ke Amsterdam, kami memiliki tempat kumpul khusus selain rumah Hattie: kafe Winkel 43 untuk pai apel enak dan anggur murah, Tijger & de Vis untuk makan malam salmon yang segar dan salad porsi besar, serta Rottiserie Amsterdam jika sedang ingin makan ayam panggang. Ketiga tempat ini adalah tempat yang kami sepakati sebagai tempat milik ‘kami’ karena khusus untuk tiga tempat itu, kami sepakat untuk sama-sama menyukainya. Tentu saja, ada tempat-tempat yang tidak menjadi kesepakatan bersama seperti Gartine yang menjadi lokasi brunch favorit Hattie dan saya, atau Café de Jaren yang saya benci namun disukai oleh Gio dan Hattie. Sesekali, kami mencari tempat netral seperti bangku di pinggir kanal untuk menikmati es krim dan kentang goreng pinggir jalan sambil bercakap-cakap santai.

Kami menghabiskan malam-malam yang panjang sepulang kelas di tempat-tempat itu dalam kencan rahasia dan konspirasi diam-diam. Bagi kami, kelompok kecil ini adalah tarikan nafas panjang yang melegakan dan penuh kesegaran setelah hari-hari tegang yang diwarnai perdebatan kelompok De Appel. Ketika kami bertiga yang cenderung introvert mulai kelelahan karena bertemu terlalu banyak orang dalam sehari dan merasa tidak bebas mengungkapkan pendapat dalam kelompok besar, kami akan menggunakan kesempatan-kesempatan singkat saat berpindah dari satu pertemuan ke pertemuan lain untuk ‘mengambil nafas’. Kami cukup beruntung saat itu tidak diharuskan mengambil Uber yang bisa untuk enam orang sekaligus dan boleh menggunakan taksi yang dibagi dalam kelompok tiga-tiga. Saat-saat seperti itu, rasanya seperti naik ke permukaan untuk mengambil nafas setelah menyelam cukup lama. Terkadang kami akan bergantian menyampaikan uneg-uneg. Di saat lain, kami menggunakan waktu di dalam taksi ini untuk bercanda dan saling memeluk menenangkan. Setiap salah satu dari kami berulangtahun, kami akan menyiapkan kejutan-kejutan kecil. Gio mendapatkan pai apel terbesar di dunia di sebuah warung sup favorit kami di dekat Anemoonstraat. Mereka menyiapkan acara ulang tahun selama 29 jam bagi saya dengan memberikan kebebasan mutlak untuk bersenang-senang tanpa beban tugas kelas sambil tiga kali merayakan ulangtahun tersebut bersama: di sebuah restoran di malam hari saat waktu Indonesia sudah memasuki hari H, di apartemen Hattie saat waktu Belanda memasuki waktu ulang tahunku, dan satu lagi yang dibagi bersama lebih banyak teman di sebuah ruang seni alternatif—seluruhnya dengan tiga kue berbeda dan hadiah yang mereka dapatkan daftarnya melalui konspirasi dengan Dito. Ulang tahun Hattie di ujung akhir program disiapkan dengan lebih sederhana, saya dan Gio membuat kejutan kecil di rumah Hattie dan memberinya satu set buku My Brilliant Friend dari Elena Ferrante. 


Ada satu kebiasaan lucu yang sering dilakukan Gio: dia sering membuat makanan-makanannya berbicara dengan menuliskan balon kata di samping makanannya. Dia jenis anak yang tidak bisa melihat makanan terbuang sia-sia sehingga ia selalu rajin membagi makanan yang mudah busuk dan tidak bisa dihabiskan sendiri. Benar saja. Seiring dengan munculnya balon kata di samping keju, kue, bawang, dan yoghurt; kami menjadi teman baik. Karena serumah, Gio bahkan sudah seperti adik sendiri. Jarang sekali saya menyayangi seorang teman wanita seperti saya menyayanginya. 

Persahabatan itu begitu istimewa sehingga ketika menjelang waktu perpisahan tiba, saya melakukan satu hal yang kemudian saya sesali hingga sekarang: menjauh dan melepaskan diri. Sebuah manufer perlindungan diri untuk menghindari patah hati dengan cara yang paling saya pahami. Ketika penyakit takut terikat yang saya alami kambuh, saya mulai mencari alasan untuk berhenti berangkat ke kelas bersama Gio. Saya tidak lagi berlari-lari mengejar kereta atau berpacu di atas sepeda bersamanya yang hampir selalu ngebut. Tanpa kami sadari, waktu yang kami miliki berjalan dengan kecepatan yang berbeda: ia yang selalu kehabisan waktu, saya yang selalu mencuri waktu. Gio akan langsung pulang ke rumah setelah kelas dan membenamkan diri pada pekerjaan tanpa henti. Saya akan mencuri waktu untuk menjelajah, mencari teman baru, atau sekedar berjalan-jalan ke tempat-tempat favorit. 

Waktu, terkadang bisa jahat sekali. Seperti halnya makanan; tanpa usaha rajin untuk menyelamatkan atau menuliskan pesan-pesan manis untuk membaginya, waktu bisa membuat makanan basi terbuang percuma. Begitu juga persahabatan. Terkadang justru persahabatan yang dibangun dengan baik dan alami yang memiliki masa kadaluwarda. Sayangnya, tanggalnya tidak tertulis di kemasan. Bagi saya dan Gio, masa kadaluwarsa itu terlewat tanpa kami sadari. Kami bahkan tidak meluangkan waktu untuk berpamitan dengan benar di akhir program. Gio sempat mengajak untuk makan bersama di Cafe de Jaren (yang saya benci itu) dan saya memilih untuk menghabiskan waktu di luar kota alih-alih menemuinya. Paginya, sebuah pesan terakhir tertulis dengan gaya khas Gio. Seperti semua makanan mudah basi yang berbicara dengan balon kata, namun kali ini isinya ucapan perpisahan pendek. Terlalu pendek. Sontak saya mencarinya dan hanya menemukan wangi parfum serta lebih banyak lagi balon kata di benda-benda yang ditinggalkannya dalam kamar. Dia berangkat dengan pesawat pagi saat saya masih tidur. Sampai saat ini saya masih penasaran, si anak yang penuh gumpalan tawa dan tangis itu sempat menangis tidak ya saat menuliskan pesan perpisahan pendeknya. Sedangkan saya, saya patah hati dengan cara yang sama persis dengan yang membuat saya jatuh hati padanya. Ironis, ya?

Perpisahan dengan Hattie jauh lebih ringan. Kami sempat makan malam bersama sebelum dia pulang. Entah kenapa saat itu Gio tidak ikut bersama kami. Hattie bercerita bahwa dia akan pindah ke Amerika sementara Gio dan saya pulang ke negara kami masing-masing. Hal itu berarti tiga zona waktu yang berbeda akan memisahkan kami. Akibatnya, percakapan di grup whatsapp perlahan-lahan menjadi semakin jarang meskipun tidak pernah dibubarkan. Aplikasi Clue saya hapus sesegera mungkin setelah saya pulang ke Indonesia. Saya si teman yang kikuk, membiarkan persahabatan yang istimewa itu lepas dan bergerak menjauh. Konyol sekali. Rupanya saya tidak mempersiapkan diri untuk air mata yang sesungguhnya. Namun hal itu baru akan saya ketahui nanti di akhir program. 

Saya tetap beruntung atas keberadaan mereka. Dengan ringan tanpa adanya ekspektasi yang berarti, saya melewati hari-hari selama program De Appel dengan kesenangan-kesenangan kecil dan hati yang hangat bersama dua teman tersayang. Setidaknya, kami sempat berteman sepuas-puasnya. Separuh petualangan dalam buku ini adalah petualangan yang saya lalui bersama mereka. Untuk yang satu itu, saya tidak pernah menyesalinya. 

----- 

https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2018/apr/28/elena-ferrante-woman-friend-rare-as-true-love 

10.11.19

3/ Masakan Italia: Tentang Waktu dan Hal-Hal Penting Lainnya [travelogue: Spring 2018]

risotto alla milanese dan risotto kaki kodok di Beoucc - Milano

Mengelilingi 15 kota di Italia dalam waktu 3 bulan mungkin terdengar asyik, tapi sebenarnya tidak juga. Percepatan waktu adalah cara paling ampuh untuk menghancurkan ide apapun yang kamu miliki tentang Italia: pemandangan, gaya hidup, dan romansanya. Ide yang berkali-kali dihancurkan tersebut hanya bisa disembuhkan oleh kesenangan kecil sehari-hari. Bagi saya, makanan adalah solusinya. Maka begitulah, perjalanan ini kemudian menjelma daftar panjang makanan untuk dicoba dan percepatan waktu yang justru mengajarkan untuk memelankan langkah. 

Beberapa pelajaran tersebut antara lain:

1/ “Jangan Repot-Repot Mencari Fritto Misto di Prato” 
Pada kunjungan pertama ke Italia setahun sebelumnya, saya belajar bahwa tidak ada yang namanya "masakan Italia". Yang ada: masakan regional khas tiap daerah di Italia yang berbeda-beda tergantung sejarah, potensi wilayah, dan kondisi geografisnya. Yang sama hanya kesederhanaannya: masakan-masakan yang terdiri dari dua hingga delapan bahan saja. Konon katanya kualitas bahan masakan yang baik tidak perlu ditutup-tutupi dengan bumbu-bumbu yang berlebihan. Apabila dinikmati dengan kacamata turis, semua akan dengan mudah terasa lezat dan memuaskan. 

Kali ini saya menanggalkan kacamata turis itu dan tinggal sedikit lebih lama. Karena sedang dalam perjalanan riset, maka masa tinggal ini dibumbui kecepatan pergerakan yang memaksa berpindah dari satu kota ke kota yang lain setiap beberapa minggu sekali. Semua hal yang menyertainya dimulai dengan serba praktis dan seperlunya, begitu juga dengan makanan di minggu-minggu awal perjalanan: panino[i] yang dimakan di pinggir jalan sambil berdiri menanti taksi menuju ke pertemuan berikutnya, tourist trap yang kemahalan, serta makan malam yang sengaja dilewatkan supaya bisa menghindar dari keharusan bersosialiasi dan berjejaring sebagai bagian dari pekerjaan. Setelah dua minggu awal yang berhasil membuat panino menjadi makanan paling traumatis sepanjang masa, mengalami patah hati karena memakan salmon hambar kemahalan di Milan dan cotoletta[ii] paling menyedihkan di Bologna; daftar makanan yang saya buat sebelum memulai perjalanan ini berubah menjadi ekspektasi, panduan, dan bahkan salah satu tujuan utama: untuk bisa menikmati perjalanan ini, saya harus makan enak!

Saya mulai mencari ossobuco[iii] dan risotto alla milanese[iv] berwarna keemasan di Milan; pesto[v] segar di Genoa; bertahan dengan menu yang terdiri dari spritz aperol[vi] dan berpiring-piring cicchetti[vii] di Venezia; mempercayakan panduan makan kepada orang lokal di Revereto, Bolzano, dan Dro yang membawa kami ke rumah makan tersembunyi di ruang bawah tanah sebuah perkebunan; mencari masakan Cina terenak di Prato; nekat mencoba stew perut sapi di Florence setelah berjalan kaki berkeliling dan menyerap sebanyak mungkin keindahan peradaban lawas itu; menuliskan daftar yang terlalu panjang di Bologna dan Roma yang tidak mungkin dipenuhi semuanya; dan sebelum saya sadar, daftar itu tumbuh lebih panjang lagi bersamaan dengan bergantinya musim di Napoli, Palermo, dan Catania-- mulai dari fritto misto yang berisi aneka hasil laut goreng tepung, casatta[viii] yang setiap lapisnya menggambarkan migrasi orang-orang ke Sicilia, cannoli[ix] yang dibuat segar di hadapanmu, limoncelo[x] yang hanya layak dicoba kalau buatan rumah, dan sfogliatelle[xi] panas yang membuat kecanduan dan selalu sukses membuat bahagia. 

Karena memiliki kesempatan untuk menjelajahi Italia, saya belajar bahwa tidak perlu repot-repot mencari makanan khas sebuah daerah di luar daerah asalnya. Setiap daerah memiliki alasan yang cukup baik untuk membuat masakan secara spesifik terikat pada areanya: makanan yang site-specific. Alasan utamanya: beberapa bahan makanan tidak berpindah dengan baik, maka lebih baik manusianya yang berpindah. Begitulah.. perpindahan yang awalnya membuat saya menggerutu berat di dua minggu pertama berubah menjadi impian atas makanan-makanan site-specific tersebut. 

Fritto misto, focaccia, dan house wine di Pescheria Gallina - Torino


2/ “Kisah Sayap Ayam Paling Lezat di Dunia”
Ada hal-hal menyenangkan yang sering terlupakan sampai tiba waktunya kesenangan kecil itu muncul tanpa aba-aba: aroma matahari di bantal hangat yang barusan dijemur dan tidur siang singkat yang menyertainya, perasaan kembali hidup setelah mandi sore di akhir hari yang panjang, aroma tipis orange blossom yang masuk melalui jendela kamar yang terbuka di sore hari, dan pemandangan dramatis saat membuka mata setelah tidak sengaja ketiduran di kereta dan mendapati pemandangan lanskap berganti dari lembah-lembah penuh bunga berwana kuning, danau kecil, rumah-rumah batu, dan biri-biri putih yang sibuk merumput di ladang. Konon katanya, perjalanan ke Italia tidak pernah tentang penjelajahan geografis saja: separuhnya adalah perjalanan jauh ke dalam dirimu. 

Saya teringat perkataan tersebut saat sedang menanti penerbangan yang akan membawa kami dari Napoli ke Sicilia. Kami memutuskan untuk tiba di bandara 4 jam lebih cepat supaya punya waktu untuk duduk dan bekerja. Setelah berhasil menemukan sudut yang nyaman dengan meja yang cukup luas, kami memesan espresso yang kemungkinan besar merupakan gelas keempat kami hari itu sambil diam-diam bersyukur karena harga kopi di Italia diatur oleh undang-undang pemerintah sehingga bahkan harga segelas kopi hitam di bandara pun tidak legal bila dihargai lebih dari 1eu. Alasannya? Karena kopi yang baik merupakan hak seluruh warga negara dan harus bisa diakses oleh siapa saja. Bahaya sekali untuk pecandu kopi, seperti kami, yang selalu terjerumus ke dalam jeratan terlalu banyak kopi setiap hari. 

Sambil berpikir tentang kopi, pandangan saya jatuh pada seorang nenek dan sepiring sayap ayam yang dimakannya dengan begitu khidmat, perlahan, dengan sesekali jeda bagi tiap gigitan selayaknya seorang gourmand yang sedang asyik memanjakan seluruh indranya dengan sajian mahakarya koki ternama. Tak jauh dari tempat duduk sang nenek dengan sepiring sayap ayamnya, seorang wanita lain duduk di hadapan sepiring pancake, menikmatinya dengan kekhusyukan yang sama, memotongnya dalam ukuran satu suap, mengolesnya pelan ke saus karamel, dan memakannya dengan wajah puas penuh kebahagiaan. 

Saya heran bukan kepalang: bagaimana mungkin seseorang bisa menikmati sepiring sayap ayam dan pancake dari McDonald dengan kenikmatan yang begitu langka? Perlu ditekankan bahwa hal ini terjadi di sebuah kota di mana McD baru saja diperbolehkan masuk karena bahkan pemikiran tentang adanya gerai makanan cepat saji di kota ini dianggap menghina tradisi masakan Napoli[xii]. Terlalu mengherankan melihat cara dan tempo untuk menikmati makanan bisa mengubah fastfood menjadi masakan yang terlihat layak dinikmati dengan perlahan dan khidmat.

Kemudian, logika mana yang bisa diterapkan: 
1. Menyedihkan sekali memakan McD/ KFC/ Burger King/ cabang restoran cepat saji lain ketika sedang berada di kota dengan tradisi kuliner yang kuat dengan kelezatan yang terjamin dan harga makanan lokal yang terjangkau; atau 
2. Berada di kota yang begitu cantik membuat apa yang kamu makan tidak lagi penting karena bahkan fastfood yang paling banal pun bisa menjadi tidak begitu menyedihkan ketika dinikmati di tengah terpaan keindahan budaya dan kekayaan sejarah (apalagi ketika kamu menikmatinya dengan alasan yang cukup baik). 

Saya masih lebih mempercayai poin pertama karena makanan lokal selalu menjadi salah satu tujuan utama ketika saya bepergian. Namun, tidak bisa dipungkirii bahwa ada saat-saat ketika terpaan masakan asing terus menerus membuat para pelancong yang mulai rindu rumah mencari rasa akrab dari gerai masakan cepat saji yang selalu sama di mana pun ia berada. Saya teringat seorang teman yang pindah ke Spanyol beberapa tahun yang lalu dan setiap kali ia mulai rindu dengan Jakarta, ia akan segera mencari keakraban rasa ayam di KFC atau duduk-duduk di salah satu sudut Starbucks yang standar pelayanan dan tata ruangnya mengingatkan atas gerai yang mirip di bawah apartemen lamanya di Jakarta. Terkadang, makanan paling banal dengan rasa yang akrab itu lah yang sesekali penting bagi kejiwaanmu. 

Maka dalam salah satu perjalanan kami ke Roma, ketika suhu udara sudah mulai merangkak naik hingga dua digit sehingga dinginnya malam tidak lagi menyiksa, saya dan teman saya Kari memilih untuk mencari sudut dengan pemandangan paling cantik di balkon hotel kami, menata meja, mengambil prosecco[xiii] gratisan dari dalam kamar hotel, dan memutuskan untuk makan pop mie instan berkuah untuk makan malam. Ini akan terdengar sangat cliché, tapi terkadang benar bahwa bagaimana kita menikmati suatu hidangan bisa menjadi sama pentingnya dengan apa yang kita makan. Bagi kami saat itu, mie instan dengan pemandangan kubah gereja dan lampu kota di Roma di malam yang hangat masih menjadi salah satu makan malam paling berkesan selama perjalanan keliling Italia kali ini. Perpaduan rasa yang akrab, tempat yang nyaman, teman yang tepat, dan pemandangan yang indah tidak pernah gagal untuk membuat hati menjadi hangat. 

pop mie dan prosecco di roma | spritz aperol yang harus habis dalam 5 menit

Pertemanan kami kemudian diwarnai dengan momen-momen seputar makanan yang terkadang aneh namun menyenangkan: menu dapur memuaskan yang hanya bisa diakses karena kami makan bersama orang lokal di Venezia dan dilanjutkan dengan sebuah presentasi di atas kapal menyusuri kanal-kanal sepi; spritz aperol yang terlanjur dipesan dan harus kami habiskan dalam waktu 5 menit (dengan sedotan!) dan mengubah kami dari dua anak serius menjadi dua anak ketawa ketiwi tipsy dalam kunjungan ke studio seniman sore hari itu; warung kecil di Bologna yang tidak masuk ke dalam panduan wisata apapun yang menyajikan tagliata[xiv] dan pasta jamur porcini[xv] paling enak yang pernah kami cicipi, ditemani oleh seorang pria dengan rambut gimbal sepanjang lebih dari 1 meter dan gigi lancip yang mengingatkan akan makhluk mistis di dongeng-dongeng; melanggar hukum dengan mencuri jeruk dan tebu untuk disesap-sesap di sebuah kebun botani di Sicilia dan dilanjukan dengan makan siang di warung sarang mafia lokal; seorang pelayan yang selalu menuliskan pesan-pesan manis di atas cappucinno kami setiap pagi; kena marah pelayan di Roma karena polpette[xvi] kami taruh di piring yang sama dan tidak sengaja menyentuh cacio e pepe[xvii] yang keduanya kami pesan bersamaan untuk dibagi berdua; menemukan biji segar single origin coffee yang justru ada di warung kopi lokal kuno tempat orang-orang tua berkumpul; makanan-makanan berbeda yang sama-sama dipanggil 'Vesuvio'[xviii] di Napoli (mulai dari tomat sampai pastry); dan pizza aneh dengan topping kentang goreng yang disajikan di sebuah ranch di Catania. Aneh, karena perpaduan tidak tradisional di atas pizza bisa dianggap pelecehan serius terhadap sejarah dan warisan budaya. Pizza seharusnya memiliki kepercayaan diri dalam kesederhanaannya. Semakin sedikit topping menjadi indikasi semakin tinggi kualitas bahannya. Tapi malam itu, di bawah keindahan gunung Edna, di antara kuda-kuda cantik dan kehangatan tiga generasi keluarga yang menjamu kami, pizza aneh dengan topping kentang goreng dan daging sapi terasa tidak seburuk kedengarannya.

3/ “Some Food Don't Travel, We Do”
Konon katanya makanan di Italia adalah tentang pengalaman alih-alih pengetahuan. Resep masakan direka ulang melalui ingatan tentang rumah, masa kecil, dan nostalgia atas hal-hal nyaman yang akrab dan menggugah perasaan. Bagi saya, ketika segala kemilau kebaruan dalam perjalanan ini kembali menjadi sehari-hari, makanan sepenuhnya berubah menjadi urusan hati—bukan lagi urusan perut semata. 

Saya belajar bahwa kerinduan pada rumah bisa berwujud telur tomat kecap yang disajikan dengan nasi putih hangat dan sambal terasi; kerinduan pada kekasih menjelma omlet keju yang disajikan dengan daun roket segar dan tomat ceri yang manis; pun kerinduan-kerinduan lain yang menjelma ayam panggang, tempe goreng, dan kemewahan berbentuk sambal goreng petai. Di hari-hari yang tidak semelankolis itu, memasak menjadi kegiatan rekreasional yang meditatif. Saya rela bangun lebih pagi untuk bisa memasak sendirian di dapur dan mengatur jadwal harian supaya bisa berlama-lama berbelanja ke pasar. Hal ini mungkin dilakukan di bulan terakhir ketika jadwal perjalanan berubah menjadi waktu bekerja yang intens di Torino. Selain memiliki lebih banyak kontrol atas waktu pribadi, berhenti berpindah dan memiliki perasaan tinggal di rumah meningkatkan kualitas hidup dan makanan secara signifikan. Tidak ada lagi waktu makan yang terlewatkan, tourist trap yang hambar, dan konsumsi kopi yang berlebihan. Kulkas di rumah mulai dipenuhi sayur mayur berwarna warni dan aroma masakan yang bergantian memenuhi koridor. 

Seperti halnya beberapa jenis makanan regional yang begitu spesifik dan terikat pada lokasinya, saya mulai memperhatikan perbedaan jenis sayur mayur yang tersedia di pasar. Aneka jenis tomat yang terlihat lebih segar di Sicilia, selada aneh berwarna merah jambu di sebuah kios apung di Venezia, dan asparagus putih gendut yang manis di area Utara dekat perbatasan dengan Jerman. Seperti halnya kualitas hidup yang meningkat saat berhenti berpindah-pindah, kualitas bahan makanan pun berada pada puncaknya saat bahan makanan tersebut tidak berpindah terlalu jauh. Sayur impor yang datang dari negeri seberang dinilai tidak ramah lingkungan dan juga memiliki kualitas rasa yang lebih rendah karena jarak menjadikan kesegarannya artifisial. Sayur kualitas terbaik adalah yang lokal, temporal, sekaligus musiman. 

Setiap area, seperti halnya setiap musim, memiliki bahan masakan khas yang spesifik. Begitu juga setiap kios di pasar atau toko bahan makanan: selalu ada toko khusus untuk bahan-bahan yang berbeda. Maka urusan sepele seperti belanja di pasar bisa memakan waktu sepagian penuh karena sayur mayur, keju, daging, ikan, kacang-kacangan, telur, biji kopi, pasta segar, madu, dan manisan kulit jeruk berlapis coklat yang enak semuanya tersedia di toko yang berbeda. Dua kali seminggu, saya menghabiskan setidaknya lima jam untuk berbelanja di pasar dekat rumah. Saya akan memulainya dengan membeli telur segar dari kios sayur organik yang penjualnya bisa berbahasa Inggris, bergeser ke kios penjual sayur langganan yang meskipun hanya bisa berbicara bahasa Italia tapi harga sayurnya lebih murah dan ia kerap memberi buah gratis yang sedang musim, bergeser ke kios kecil sepasang suami istri muda yang selalu memiliki sayur eksotis dalam jumlah terbatas seakan ditanam di halaman belakang rumahnya saja, dan membeli lemon raksasa penuh air di kios tersembunyi seorang pria muram yang jarang tersenyum. Itu baru bagian sayur dan buah, belum asupan protein, yoghurt, camilan, minyak, kopi, dan manisan. 

Kios pasar dengan produk spesifik/ satu jenis

Suatu hari ketika minyak di rumah habis dan tiba giliran saya membelinya, Nora—teman serumah yang selalu mengutamakan kualitas apapun yang dikonsumsinya, membuat saya menghabiskan satu jam penuh hanya untuk memilih minyak zaitun yang menurutnya tidak cukup jika hanya extra virgin (karena keperawanan minyak zaitun memiliki tiga tingkat berbeda), harus organik (karena entah bahan berbahaya apa yang ada di dalam bahan makanan yang tidak organik), tapi lebih dari itu semua, harus dipastikan bahwa minyaknya diperas dengan metode cold-pressed! 

Nah, di situ kerumitan terjadi. Strategi pertama adalah memastikan bahwa kerumitan itu harus bisa dikurangi dengan meminimalisir kontak dan percakapan dengan bahasa Italia. Maka alih-alih mendatangi toko khusus minyak zaitun, saya memilih pergi ke Carrefour terdekat dan berhadapan dengan dua rak penuh minyak zaitun dengan berbagai kualitas dan tempat asal. Dua rak, tidak lebih rumit dari setidaknya sepuluh rak anggur dengan klasifikasi warna dan lokasi asal yang berbeda di supermarket itu. Dua syarat pertama (extra virgin dan organik), berhasil mengurangi pilihan hingga separuh. Nah, ketika harus mencari yang cold-pressed itu lah kerumitan terjadi: semua label tertulis dalam bahasa Italia sehingga mau tidak mau saya harus membaca satu per satu label belakang dan mencari kata ‘fredo’ yang berarti dingin. Cara bodoh yang meskipun terasa cukup efektif tapi sukses menghabiskan satu jam dalam membandingkan berbagai pilihan minyak yang ada.

Pelajaran dasar pertama dalam kurikulum minyak zaitun itu terbayar ketika sampai di rumah Nora memuji kelezatan minyak yang saya beli. Tapi, memang minyak bisa seenak apa, sih? Maka pelajaran kedua dalam kurikulum minyak zaitun hari itu dilakukan dengan bantuan sepotong kecil roti untuk menyerap banyak-banyak minyak yang ternyata enak sekali! Berikutnya saya mulai belajar bahwa minyak zaitun juga memiliki notes rasa yang berbeda, tergantung di mana buahnya ditanam. Seperti kopi dan wine, saya kemudian membayangkan minyak zaitun sebagai sepotong gambar lanskap dari tempat asalnya, membentang luas, berangin sepoi-sepoi, sekaligus penuh sinar matahari. Namun berhati-hatilah dengan minyak zaitun yang baik, sebagaimana pasta segar yang dimasak dengan benar, dua hal itu akan membuatmu sulit kembali menikmati minyak zaitun atau pasta medioker yang dibuat asal-asalan. Bisa gawat, bukan? (Jika kita berada di tempat yang jaraknya separuh dunia dari lokasi asal kedua hal ini). 

Suatu hari di pertengahan musim semi, penjual sayur langganan dengan bersemangat menawarkan kantalop sambil menjelaskan (dengan keterbatasan bahasa dan kekayaan gestur) bahwa akan rugi besar bila saya tidak membelinya saat ini juga—saat kantalop ini sedang berada di puncak kelezatannya. Ukurannya tidak besar, pas sekali dalam cengkeraman tangan dengan berat yang lebih dari kelihatannya. Wanginya menyeruak keluar dari kulit yang ternyata tidak setebal dugaan awal. Aroma itu mengubah keraguan yang sempat timbul akibat ingatan atas melon terakhir yang saya makan di pesawat menuju Italia: hambar dengan tekstur yang seperti styrofoam. Maka sebagai usaha untuk mengobati trauma tersebut, saya membeli kantalop yang ditawarkan, memasukkannya ke kulkas, dan menikmatinya sebagai camilan sore di hari yang cukup hangat. Belum pernah saya merasakan kantalop dingin yang begitu lembut, sarat dengan kandungan jus manis alami, dan aroma yang seperti ingin saya masukkan ke dalam botol dan semprotkan di pergelangan tangan setiap pagi. Sejak saat itu saya berjanji akan mulai lebih menghargai buah-buahan lokal yang sedang musim ketika kembali ke Indonesia. Ketika sayur dan buah didapatkan di musim dan lokasi yang tepat, setiap rasa mendapatkan ruang untuk bersinar sehingga tidak perlu ditambah bumbu-bumbu berlebihan. 

Saya mulai memanjakan diri dengan membeli tomat ceri paling manis dan berair yang ketika dimakan dengan keju tua rasanya jauh lebih memuaskan dibanding kue apapun; artichoke gendut-gendut untuk dimakan dengan banyak-banyak minyak zaitun atau artichoke mini untuk digoreng garing; asparagus kurus kecil-kecil yang manis, renyah, dan hanya membutuhkan waktu menumis singkat dengan minyak zaitun dan bawang putih untuk mencapai puncak kelezatannya. Sayangnya, asparagus kurus kecil ini muncul hanya sekitar dua minggu di pasar sebelum kemudian menghilang karena musimnya keburu lewat. 

Saya belajar untuk memanjakan diri dengan berporsi-porsi cima di rapa[xix] yang rasanya seperti perpaduan brokoli dan kale; memasak cavolo nero[xx] krispi untuk ditaburkan di atas nasi panas dan oseng sapi lada hitam; memastikan bahwa setiap kali courgette[xxi] kecil sedang berbunga, bunga-bunga itu tidak boleh dilewatkan karena cepat sekali habis diserbu ibu-ibu di pagi hari untuk digoreng tepung dan diisi keju. Saya paling suka memasak bunga-bunga itu dengan isian sisa risotto kemarin dan banyak-banyak daging sapi giling, atau sekedar memanggangnya sebentar supaya tidak merusak kelopaknya yang ringkih. Saya kecanduan agretti[xxii] yang juga dinamakan barba di frate alias jenggot biarawan karena bentuknya. Saya enggan membayangkan bentuk jenggot para biarawan namun menyukai rasanya yang sedikit sepat dan asin secara alami tanpa perlu ditambah apapun. Yang terakhir ini menjadi sayur andalan untuk disajikan bersama pasta, jagung tumis bawang dengan keju, atau nasi goreng. Siapa sangka bahwa bocah yang tumbuh membenci sayur-sayuran seperti saya bisa tiba pada satu saat dalam hidup untuk benar-benar jatuh cinta pada rasa sayuran!

Masakan sehari-hari di Torino

4/ “Menuju Catatan Kaki: Makanan, Migrasi, dan Representasi”
Ketika berbicara tentang spesifisitas daerah asal makanan, sulit untuk tidak membicarakan nasionalisme atau regionalisme di Italia. Meskipun masakan Italia mulai terbentuk sejak abad IV, namun negara bernama Italia baru dikenal pada abad ke 19. “The history of Italy is the history of a state that didn’t exist; for 1400 years, after the Romans and until the unity we were scattered into small reigns and republics, and colonised by different big European nations, …, there were different people with different histories, languages, and dialects.”[xxxi] Hal ini sedikit mengingatkan atas Indonesia dan bagaimana konsep awal Nusantara yang terdiri dari berbagai pulau dengan perbedaan suku, kebudayaan, kondisi geografis, dan juga makanan khas tiap daerah. 

Namun dalam kasus Italia, perdebatan tentang makanan mana yang paling enak di daerah mana bisa menjadi percakapan seru berjam-jam yang kadang bisa berakhir buruk dan kadang mencapai konsensus atas pengaruh kondisi geografis yang secara spesifik berkontribusi pada kualitas produk agrikultural tertentu, misalnya. Dalam kasus yang ekstrim, sebuah kelompok separatis Lega Nord (yang berarti Liga Utara) berusaha menanamkan sentimen antar kelas dengan bumbu-bumbu stereotipe antara Italia bagian utara (yang konon lebih moderen dan berbudaya) dan Italia bagian selatan (yang dalam narasi Lega Nord dianggap lebih terbelakang, malas, dan miskin—padahal tidak juga). Kelompok ini menggunakan unsur mistis, simbolis, dan menggunakan ritual pagan palsu untuk berkampanye. Mereka menjadikan sungai Po sebagai simbol ‘pembatas’ antara utara dan selatan. Airnya mereka gunakan untuk menyiram diri demi mendapatkan ‘berkah’ dari sungai tersebut. Untungnya, sungai Po tidak memberikan berkahnya dan Lega Nord kalah pamor. Perlahan-lahan, narasi mereka berubah dari pemikiran kedaerahan yang membagi sentimen antara Italia utara dan selatan menjadi pemikiran anti-imigran dan kemudian mengedepankan kebangaan berlebih atas nasionalisme mereka. 

Bayi baobab dan air khusus dari sungai Po

Narasi Lega Nord yang konyol ini kemudian digunakan oleh seorang seniman, Leone Contini, untuk mengkritik pemikiran ekstrim sayap kanan dalam seri karyanya yang berjudul “The Turin Baobab Invasion and Other Tales” (2018) yang merupakan karya barunya untuk pameran akhir yang kami buat dalam residensi di Turin kali ini. Karya tersebut terdiri dari dua kisah utama dan beberapa cerita pendamping. 

Narasi pertama, Turin Baobab Invasion, mengambil potongan kisah pohon baobab dalam buku Pangeran Kecil yang ditulis oleh Antoine de Saint-Exupery yang dianggapnya sebagai pandangan Eurosentris yang menggambarkan benih baobab sebagai penyerbu jahat yang dengan agresif mengganggu ketenangan planet kecilnya. Tidak heran bahwa sang Pangeran Kecil harus mendedikasikan seluruh waktu dan energinya untuk memberantas pohon tersebut dari benih hingga akarnya. Beberapa tahun sebelumnya, Leone sempat bertemu dengan seorang imigran dari Senegal di Genoa dan membeli beberapa benih baobab darinya. Pertemuan itu sekaligus menjadi titik balik bagi Leone untuk mulai menantang dan mempertanyakan pemikiran Eurosentris dalam buku Pangeran Kecil dengan menawarkan adanya perspektif lain: di Senegal, pohon baobab dianggap sakral dan memiliki kemampuan untuk menyimpan banyak air dalam jumlah besar meskipun dalam kondisi yang serba terbatas. Baobab juga merupakan simbol umur panjang karena rentang usianya yang bisa mencapai 1500 tahun. Benih baobab itu kemudian menjadi simbol perpindahan yang lahir di Senegal, berpindah tangan di Genoa, dibawa pulang ke Tuscan sebagai benih, dibesarkan di Salzburg dan Sicilia, sebelum kemudian berpindah ke Turin dan dipamerkan sebagai bagian karya Leone dalam Turin Baobab Invasion. Tentu saja kita belum bisa menyebutnya sebagai invasi bila hanya dua baobab kecil yang masuk. Dalam instalasi tersebut, terdapat dua baobab kecil yang sedang tumbuh dengan bersemangat, sewadah biji kering baobab yang siap ditanam, rumah kaca mini berisi banyak baobab yang sedang disemai, dan beberapa botol kecil jus baobab yang siap diminum oleh pengunjung supaya invasinya benar-benar menubuh. Sebelum membuat karya ini, Leone pernah iseng membuang benih-benih baobab ke dalam sungai Po sebagai gestur anti-esensialis atas kemurnian sungai tersebut dan dengan harapan, ratusan tahun dari hari ini, di suatu tempat sepanjang sungai itu, tumbuhlah pohon baobab. 

 “The Turin Baobab Invasion and Other Tales” (Leone Contini - 2018)

Dalam karya kedua, ia menceritakan kisah Fico di Gallicano, benih kacang merah yang pada tahun 1889 diselundupkan di dalam bagian dalam topi seorang emigran Italia yang baru saja pulang dari Amerika, kemudian ditumbuhkan di Gallicano dan karena kualitasnya yang baik kemudian dilindungi oleh pemerintah Italia, dijaga keasliannya, dan sampai-sampai dibuatkan museum untuk benih antik yang dianggap menjadi kekayaan daerah yang berharga. Dua kisah benih ini memiliki narasi yang jauh berbeda, benih baobab yang dianggap invasif dan benih kacang merah yang diselundupkan hingga kemudian berubah menjadi kekayaan daerah yang dilindungi. Di satu sisi, dua kasus yang berbeda ini menimbulkan harapan dan janji atas integrasi, bahwa hal yang tadinya dianggap penyusup kemudian tidak hanya bisa diterima namun juga menjadi bagian dari identitas nasional bertahun-tahun kemudian. Namun di sisi lain, karya ini bermain-main dengan ketakutan tidak rasional atas invasi hal-hal yang dianggap asing. Ketakutan ini, seperti benih yang telah tertidur bertahun-tahun sebagai warisan kolonialisme, kemudian terbangun oleh narasi politik dalam media Italia saat ini. Maka, dalam karya yang merupakan kumpulan kisah-kisah tersebut, sang seniman menyiapkan versi terbalik dari ritual pagan palsu yang digunakan oleh Lega Nord sebagai alat anti esensialis: benih-benih ‘penyusup’ yang telah bermigrasi ini ditanam di tanah asli dari Italia dan air yang diambil secara khusus dari sungai Po. 

Seniman yang berlatarbelakang pendidikan filosofi dan antropologi ini secara khusus memang kerap membahas tentang isu-isu migrasi dan politik perbatasan melalui makanan atau benih-benih. Salah satu karya jangka panjang yang dibuatnya adalah karya berbasis riset atas petani-petani Cina di Tuscan yang lahannya kerap didatangi dan benih-benihnya disita oleh pemerintah Italia karena dianggap sebagai ‘spesimen tidak dikenal’ yang mengotori kemurnian tanah pertanian Italia[xxvii], meskipun benih-benih sayur tersebut sudah ditumbuhkan oleh para petani Cina-Tuscan itu selama beberapa generasi benih. Sebagai bagian dari karya berkelanjutannya, Leone berkeliling Italia dan mencari lahan-lahan pertanian para imigran, kemudian memperkenalkan satu sama lain petani dari Cina, Filipina, Afrika, dan lain-lain untuk membentuk jaringan bawah tanah bagi benih-benih ‘ilegal’ ini supaya para petani bisa tetap saling bertukar benih dari berbagai daerah dan terus menerus membangun kembali lahan pertaniannya. 

Proyek seni ini kemudian perlahan-lahan terlepas dari sang seniman dan memiliki kehidupannya sendiri selama jaringan benih-benih terus beroperasi diam-diam, seperti komunikasi rahasia pohon-pohon. Di titik ini, spesifisitas area bagi sayur mayur menjadi hal yang sangat politis dalam perdebatan antara para esensialis dan anti-esensialis. Seperti halnya dengan benih-benih sayuran, meskipun beberapa bahan makanan konon katanya terbaik jika tidak berpindah, sejarah masakan di Italia justru sarat dengan perpindahan yang kemudian terasimilasi dan berakar pada tempat tinggal barunya beratus-ratus tahun kemudian. Sebagian sejarahnya akan terihat dalam catatan kaki di bagaian bawah tulisan ini. 

Bibit tanaman yang diselundupkan dalam backpack

Di akhir perjalanan, selain belajar bahwa pasta alfredo tidak benar-benar ada di Italia (dan justru diasosiasikan dengan makanan nasional US), saya belajar bahwa alih-alih mempercayakan rekomendasi sepenuhnya pada panduan wisata lebih baik mengikuti rekomendasi warga lokal dan bahwa hal yang paling penting untuk menikmati Italia dan makanannya adalah ketersediaan waktu. Di tengah terpaan jadwal dan perjalanan yang gila, Italia justru mengajarkan untuk kembali ke hal-hal yang mendasar: pentingnya memelankan langkah, kemewahan atas waktu, menghargai kesementaraan musim sambil menantikan musim selanjutnya, serta otentisitas rasa yang terpengaruh oleh lanskap dan tradisi dari setiap daerah. Namun di antara semua hal yang secara langsung berhubungan dengan makanan, justru momen berkumpul untuk aperitivo[xxiii] atau berjalan santai setelah kekenyangan makan malam dalam la passeggiata[xxv], membuat saya semakin merindukan kehangatan berkumpul dengan keluarga dan orang-orang yang penting dalam hidup. Ketika perjalanan dimulai dengan sederet daftar nama makanan yang ingin saya coba di Italia, perjalanan ini ditutup dengan sederet daftar nama orang-orang yang ingin saya ajak berbagi momen untuk menunggu lapar sebelum makan dan berjalan-jalan santai setelahnya.

(Oya, foto-foto makanan lain bisa dilihat di instagram @nilamlamulam ya..)
_____


Catatan kaki (akan diperbaiki)
i. risotto alla milanese : the simplest and most luxurious. Sempet ada yg kalo menyajikan beneran pake gold leaf. Nasi dan saffronnya konon katanya dibawa para migran, sejarah risotto ala milanese dua versi: pertama- pendatang belgia yg mau menikahkan anaknya dan menyajikan sajian istimewa atau versi yg lebih umum: para tukang dari timur tengah yg membangun katedral milan yg famous itu, memasak di belakang katedral dan menggunakan saffron yg digunakan untuk mewarnai ornamen katedral untuk mewarnai nasinya.
ii. pesto; semacam sambel, isinya bisa macem2, yg di genoa isinya basil, pine nuts, olive oil, diulek segar sebelum disajikan supaya rasa dan aroma prima, digunakan di atas roti atau untuk campuran/ saus pasta
iii. spritz aperol: biasa untuk aperitivo, a staple cocktail untuk ada di setiap foto instagram publik seni rupa yang sedang datang ke pembukaan venice biennale. 
iv. chiccetti: makanan kecil aneka rupa yang dipesan di bar dan dimakan sambil dibagi dengan teman2
i. panino: kalau satu namanya panino, kalau lebih dari satu (plural) namanya panini, semacam sandwich
vi. cotoletta: daging-- ditepungi, lalu digoreng
vii. ossobuco: buntut sapi masak tomat
viii. casatta: cake khas sicilia yg menggambarkan migrasi warganya di masa lalu, berisi ricotta cheese, almond, pistachio, jeruk, dll 
ix. cannoli: dessert di dalam cangkang pastry berisi ricotta cheese dengan manisan kulit jeruk
x. limoncelo: minuman keras dari lemon, rasanya smooth dan keras, kalau bukan buatan rumah cenderung terlalu manis, biasa untuk digestiv
xi. sfogliatelle: pastry khas Napoli, di paris dikenal sebagai ‘buntut lobster’, di napoli isinya ricotta panggang dan manisan kulit jeruk, luarnya pastry sheet yang dipanggang sampai crispy. 
xii. Napoli: terkenal karena pizzanya dan sangat menghargai tradisi makanannya, sehingga McD dan aneka fast food chain lain dilarang masuk hingga beberapa tahun yang lalu. McD masuk dengan slogan “akhirnya kami sampai di sini” dan dengan perang iklan.
xiii. prosecco : saya selalu merasa prosecco adalah versi murah dari champagne. Sebenarnya sih ini semacam sparkling white wine. Ringan. Sering menjadi bagian dari aperitivo. Cocok untuk saat udara panas. Asli dari Venezia. 
xiv. tagliata: artinya ‘potongan’, hati2 ketika memesan karena ada dua nama yang mirip: tagliata adalah potongan tipis daging sapi panggang yang kerap disajikan dengan daun rucola sedangkan tagliatella adalah pasta pipih panjang2 menyerupai spaghetti. 
xv. porcini: sejenis jamur khas italy yang rasanya sedikit mirip jamur shitake dengan aroma yang sedikit mirip truffle tapi jauh lebih murah
xvi. polpette: bola bola daging. Biasanya dimasak dengan saus tomat/ krim dan disajikan sebagai makanan pembuka atau pendamping
xvii. cacio e pepe: pasta dengan keju pecorino romano (cacio) dan merica (pepe) saja, masakan rumahan yang dijadikan gerakan charity responsif oleh seorang koki terkenal Massimo Bottura untuk menyelamatkan ekonomi pabrik2 keju pecornino romano berumur puluhan tahun yang hancur dalam sebuah gempa bumi di daerah penghasil keju tersebut. Keju pecorino romano termasuk keju yang dilindungi asal daerahnya dengan sertifikat PDO (protected designation of origin) untuk menjaga kualitas dan keasliannya sehingga hanya tiga daerah di Italia (Sardinia, Lazio, dan Grosseto) yang boleh memproduksi keju jenis ini. 
xviii. Vesuvio: atau kita kenal sebagai Vesuvius adalah gunung berapi yang letusannya menghancurkan kota Pompeii di tahun 79M dan menyebabkan kota itu hilang hingga 1.600 tahun. Vesuvio juga merupakan nama beberapa jenis makanan di Napoli-- yang saya temukan setidaknya ada 3: kue bolu berbentuk gunung Vesuvius, tomat lokal yang bentuknya sedikit mengkerucut di ujung, dan pastry yang isinya baba au rhum (bolu yang disiram rhum) dengan topping krim segar. Baba au rhum sendiri merupakan dessert yang juga bisa ditemui di Perancis, dll dan dibawa oleh imigran timur tengah 
xix. cima di rapa: alias brocollini.. semacam brokoli muda yang bunganya kecil2 dan daun serta batangnya lebih panjang—enak sekali! Sedikit pahit seperti kale tapi crunchy dan kaya rasa seperti brokoli. 
xx. cavolo nero: kubis hitam alias kale lokal di italy, bentuknya sedikit berbeda dengan kale yang biasa kita kenal (dan jauh lebih murah kalau di pasar karena kale sudah di-over marketize dengan embel2 organik atau ajaib atau penuh kesehatan, sedangkan cavolo nero lebih lokal dan sangat musiman)
xxi. courgette: alias zucchini, semacam terong-terongan, yang bentuknya kecil ada bunganya dan bunga itu bisa dimakan. 
xxii. agretti : alias jenggot biarawan, sejenis rumput laut
xxiii. aperitivo: minuman keras yang ringan untuk diminum sebelum jam makan malam untuk meningkatkan nafsu makan, juga merupakan sinonim waktu untuk bersantai, nyemil dg teman sore2
xxiv. digestiv: minuman keras sekali yang diminum setelah makan untuk melancarkan pencernakan
xxv. la passeggiata: jalan2 sore supaya makanan turun
xxvi. Gabrielle Gaspari in “Italy is a laboratory for political experiments”, in Italian Conversations: Art in the Age of Berlusconi, p.22.
xxvii. Leone Contini, schloss post, https://schloss-post.com/our-gourds-first/ -- notes yg bener ditulis belakangan deh.

3.11.19

2/ Paris yang Pertama [travelogue: nov 2016]



Ah, Paris.  

Sebuah lagu dinyanyikan seorang laki-laki muda yang kerap saya bayangkan sebagai perajuk yang hendak ditinggal kekasihnya ke Paris. Mungkin baginya Paris merupakan sebuah kota yang akan menelan kekasihnya bulat-bulat dan menariknya menjauh hingga tidak lagi bisa digapai. Dalam nyanyiannya ia mencoba meyakinkan sang kekasih: "Toh, anggur sama memabukkannya... (dan) hujan sama menakjubkannya di Paris atau di tiap sudut Surabaya"[i]. Usaha itu menurut saya sangat menggemaskan dan penuh kekhawatiran. Saya ingin menepuk bahu laki-laki itu dengan simpati terdalam karena tak mungkin ia lupa: bagi beberapa orang, Paris bukan hanya sebuah kota namun merupakan sebuah konsep yang telah tertanam jauh di dalam kepala. Wujudnya bisa apa saja dan perkara konsep itu akan hancur berkeping-keping menjadi apa yang disebut sebagai 'Paris  Syndrome'[ii], atau justru semakin kuat tertanam dan akan seterusnya menjadi bagian dari dirinya[iii], sama saja! Konsep dan ide atas Paris itu lah yang membuat hujan, sayangnya, sudah lebih menakjubkan sejak di dalam angan-angan atas Paris. 

Dan begitulah: saya pertama menginjakkan kaki di Paris pada sebuah siang yang gerimis. Paman, yang entah bagaimana bisa terlihat sangat bersemangat, menyambut di peron kereta api yang membawa saya dari Amsterdam ke Paris dengan pelukan hangat dan teriakan pendek "Welcome to Pariiiiii!" sebelum kemudian berjalan cepat-cepat menuju antrian taksi yang akan membawa kami ke pusat kota sambil terus mengingatkan untuk menjaga tas karena menurutnya, stasiun Gare du Nord ini sangat berbahaya. "Aku pernah melihat penjambret menarik tas tangan gadis muda yang malang hingga ia jatuh dan terluka di sini", katanya menakut-nakuti. Saya cepat-cepat memindahkan tas punggung ke depan dan dengan penuh semangat mengikuti jalannya yang cepat sambil sedikit memaki diri sendiri: "Sungguh keputusan yang tepat untuk mengenakan sepatu hak tinggi, nona!"  

Paris dalam pikiran saya terdiri dari ide-ide yang berbeda: Paris-nya Hemingway, Paris-nya Walter Benjamin, Paris-nya Certeau, Paris-nya Rousseau, Paris-nya Hugo Cabret, dan Paris-Paris lain dalam berbagai bentuk yang seluruhnya menjelma menjadi satu bayangan besar atas Paris yang tidak akan pernah objektif. Ia menjelma bayangan sebuah kota yang sudah berkali-kali dijelajahi dalam kepala dan di dalam buku-buku sebelum secara fisik benar-benar saya jelajahi. Maka seberapa pun saya bersiap untuk patah hati melihat Paris yang 'sebenarnya', saya cukup yakin bahwa setiap pengembara akan memiliki versinya sendiri atas sebuah kota dan versi dalam kepalanya itu akan menjelma menjadi pengalaman atas kota tersebut. Dalam kunjungan pertama itu, saya tidak mempersiapkan diri untuk terkejut. Alih-alih, saya mempersiapkan diri untuk berziarah ke Paris milik pribadi yang ada di dalam pikiran. Paman, yang sebelum kunjungan ini menanyakan Paris seperti apa yang saya inginkan, sudah mempersiapkan jadwal perjalanan yang padat untuk dua hari ke depan. Darinya, saya hanya meminta dua hal dari daftar perjalanan tersebut: Paris-nya Hemingway dan macaron terenak di dunia. Cliché.


Paman, seperti banyak orang lainnya, memiliki idenya sendiri tentang Paris. "Paris pertamaku..", begitu ia memulai ceritanya tentang masa muda yang selalu gelisah, memimpikan tempat-tempat jauh di tengah-tengah waktu bekerja. Gaji pertamanya dihabiskan untuk berpetualang di penginapan murah para backpacker di Bangkok dan sejak saat itu, ia tidak pernah berhenti berpetualang. Paris pertamanya adalah saat ia seusia saya sekarang dan seperti yang saya lakukan saat ini, ia melarikan diri sejenak dari kesibukan sekolahnya untuk mengalami Paris dengan remah-remah beasiswa yang dimilikinya lebih dari 20 tahun yang lalu. "Ngglidig"[iv], begitu ia mengistilahkan dirinya sebagai kebalikan dari anak baik-baik penurut yang betah tinggal di rumah.  Ia adalah salah satu partner berpetualang favorit saya. Saya tumbuh dengan petualangan kuliner bersamanya di Jogja, Jakarta, Semarang, Dumai, Cilegon, dan kota-kota kecil lain di Indonesia. Kali pertama kami memperluas trayek petualangan adalah saat saya pergi ke Amsterdam untuk tes wawancara masuk De Appel. Kami merayakan pengumuman lolos De Appel dengan berjalan-jalan di Madrid dan Segovia saat saya mengunjungi rumah masa pensiunnya di Spanyol—negara yang berbagi kegelisahan dan dinamika yang sama dengannya. Sementara itu, saya senang sekali dengan pemikiran tentang "Paris yang pertama" bagi mereka yang sudah memiliki ide-ide di kepalanya atas Paris. Istilah tersebut seakan menggambarkan pertemuan antara sebuah kota yang nyata dengan gambaran seseorang atas kota tersebut. Hasilnya bisa seperti segala macam benturan antara ekspektasi dan kenyataan pada umumnya: memuaskan atau sangat mengecewakan. 

  
Sepanjang jalan ketika taksi membawa kami dari Gare du Nord ke tengah kota, paman menjelaskan tentang tata kota Paris yang begitu rapi serta menciptakan perasaan tenang lengkap dengan kemewahan yang subtil karena simetrinya. Dengan bersemangat saya membalas ceritanya dengan betapa saya jatuh hati dengan keindahan Budapest. "Itu karena kamu belum mengalami Paris, Miy", katanya percaya diri. Perlahan-lahan pemandangan di luar sana berubah dari deretan apartemen sederhana di pinggiran ke kemegahan 1e arrondissement, Place de la Concorde, piramida kaca Louvre yang berpadu dengan ukiran-ukiran bangunan kerajaan tua di sekelilingnya, dan hati saya seakan membengkak dengan semangat untuk menikmati semuanya dengan rakus. Paman tidak pernah memberitahu di area mana kami menginap. "Kejutan", katanya. Maka ketika taksi berhenti di ujung Jardin du Luxembourg, taman tempat Hemingway diam-diam menjerat leher merpati-merpati malang untuk dimasak oleh keluarganya yang kelaparan, hati saya sudah meledak-ledak. Ia memilih sebuah boutique hotel kecil di Quartier Latin; selemparan batu saja jaraknya dari kios-kios buku bekas sepanjang sungai Seine, Shakespeare and Co, kediaman Gertrude Stein di 27 Rue de Fleurus, dan tempat membeli macaron terenak di dunia. Dia mempersiapkan sebuah kamar cantik kecil yang tidak proporsional dengan tempat tidur empuk yang terlalu besar bagi saya sendiri. Saya sedikit berharap andai saja Gio dan Hattie ikut dalam liburan pendek ini. Pasti kami akan melompat kegirangan melihat champagne gratis, bathtub lengkap dengan sekantung garam mandi aroma mawar, dan tempat tidur empuk yang jauh sekali kualitasnya dibandingkan budget hotel yang kami tempati dalam perjalanan-perjalanan De Appel. Setelah buru-buru menyegarkan diri dan membiaran paman kembali ke kamarnya untuk beristirahat sebentar, kami bertemu di lobi dan saya sudah cukup bijaksana untuk meninggalkan sepatu hak tinggi di kamar hotel serta memilih sepatu ballet flat yang nyaman untuk berjalan-jalan. 

Tujuan pertama kami: Pierre Hermé. 

Oke, saya mengaku. Selain dari buku-buku tentang para pejalan kaki dan seniman bohemia, gambaran Paris bagi saya banyak terdistorsi oleh film-film populer: Marie Antoinette-nya Sofia Coppola, Paris Je T'Aime, dan Amélie. Setelah bertahun-tahun terobsesi pada macaron cantik berwarna-warni dalam berbagai kualitas yang tersedia di Indonesia, saya pernah dikecewakan oleh sekotak macaron Ladurée yang ternyata biasa-biasa saja—meskipun sudah digambarkan penuh mimpi dengan bertumpuk-tumpuk mutiara dan sepatu cantik dalam film Marie Antoinette. Pernah suatu kali saya begitu menginginkan macaron yang saat itu baru tersedia di Jakarta; kemudian mengobatinya dengan memakan banyak-banyak kue geplak manis warna warni dari pusat oleh-oleh di Jogja. "Yah, mirip-mirip lah", pikir saya saat itu.  Maka ketika saya meminta dibawa ke tempat macaron paling enak di Paris, seharusnya itu adalah tempat macaron paling enak di dunia, bukan? Saya diam-diam berharap tidak dibawa ke Ladurée, maka ketika paman berjalan menuju arah Pierre Hermé yang sudah saya tandai di google map, hati kembali berdesir pelan. Tokonya kecil dengan antrian yang mengular sampai ke luar. Sekilas toko itu terlihat lebih mirip seperti butik toko tas dan dompet kulit daripada toko kue. Saya menanti antrian dengan tidak sabar, seperti ingin mencicipi semua kue di sana. Paman bertanya apa saya ingin melewatkan makan siang saja dan memilih tidak hanya macaron namun juga kue-kue dari toko tersebut? Saya langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang. Seperti mimpi terliar masa kanak-kanak: dibawa ke toko permen dan dibebaskan dari keharusan makan sayur demi makan permen tambahan! Kami keluar dengan sekotak macaron seri musim gugur dengan rasa yang aneh-aneh, beberapa kue yang terlalu cantik untuk dimakan, dan beberapa macaron tambahan rasa jamur truffle yang kami tahu akan kami perebutkan. Pasti, karena saya tumbuh dengan keasyikan berebut makanan kesukaan dengan paman yang satu ini. Truffle yang kerap ia gambarkan secara asal-asalan sebagai "jamur beraroma petai", ternyata menjelma rasa macaron ajaib yang unik. Mencicipinya menjadi sebuah pengalaman tersendiri, seperti menghirup aroma tanah basah di hutan dikelilingi daun kuning berguguran. Maka kami berdiri di bawah gerimis di depan Pierre Hermé dengan ledakan-ledakan kecil rasa manis yang pas dengan aroma truffle yang memanjakan.  Waktu seakan berhenti di sana. Kemudian satu bait lagu yang sekali lagi terlalu cliché untuk saat itu berputar di kepala: "I love Paris in the fall, I love Paris in the winter when it drizzles.."  

...

Kami berjalan melalui Saint-Germain-des-Prés, jalan yang terkenal dengan kafe-kafe tempat berkumpulnya para pemikir eksistensialis hingga salah satu persimpangannya diberi nama Place Sartre-Beauvoir dari pasangan filsuf Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir; berbelok melewati Café de Flore yang ramai dan touristy, dan berhenti sebentar di Sennelier. Sennelier adalah sebuah toko alat lukis tempat Cézanne membeli cat minyak dan tempat produk pewarna khusus diciptakan bagi Picasso. Itu adalah salah satu tempat kesukaan paman. Maka ia kecewa sekali saat toko itu ternyata tutup! 

Kami melanjutkan perjalanan melewati kios-kios buku bekas sepanjang sungai Seine dan paman menunjuk sebuah bangunan di kejauhan, "Kita mau ke museum itu", katanya. Saat itu, saya menyadari bahwa Paris pertama bagi saya tidak akan pernah menjadi milik saya sendiri. Paris pertama itu akan selamanya menjadi pengalaman yang memiliki proporsi seimbang antara hal-hal dalam angan-angan saya dan tempat kesukaan yang ingin dibagi oleh paman. Itulah yang justru menjadikan Paris yang pertama ini lebih spesial. Beberapa langkah ke belakang, sebuah puisi berjudul Sensation oleh Arthur Rimbaud tertulis di jendela Sennelier yang tutup itu. Puisi tersebut selalu berhasil membawa saya kembali ke bertahun-tahun yang lalu ketika hari-hari masih dipenuhi dengan piknik di taman dan perjalanan tanpa tujuan dengan kekasih. Ternyata sulit untuk tidak berpikir tentang romansa di kota ini, seberapapun saya ingin melepaskan diri dari pemikiran cliché tentang romantisme Paris. Diam-diam saya berjanji pada diri sendiri untuk suatu saat kembali dengan Dito yang nama depannya konon diambil dari nama kota ini dan membagi rata Paris pertamanya dengan versi kesukaan saya.

...
 
Musée d'Orsay adalah museum yang dibangun di bekas stasiun kereta api yang menakjubkan. Koleksinya kebanyakan merupakan karya impressionis dan post-impressionist dengan patung-patung indah yang berjajar di apa yang saya bayangkan sebagai peron utama pada masanya dan ruang lukisan di kanan kirinya. Sebagai seorang kurator muda, lukisan masih merupakan titik lemah saya. Karena kurangnya minat atas karya-karya formalis, saya masih memiliki kesulitan menerjemahkannya dengan baik. Maka saat-saat seperti ini, saat paman yang penyuka lukisan membawa saya ke museum yang memiliki koleksi lukisan istimewa, saya buru-buru membekali diri dengan audio guide dan membaca setiap penjelasan karya dengan khusyuk. Bagi saya, sebagian liburan akhir pekan ini kembali menjelma menjadi momen untuk belajar, langsung di depan karya-karyanya. Namun lebih dari keindahan karyanya, saya kagum dengan bagaimana antrian masuk ke museum ini mengular dan di dalamnya para pengunjung menikmati karya-karya dengan serius. Beberapa kelompok bahkan membawa kursi lipat masing-masing dan setiap kali seorang pemandu resmi menjelaskan tentang konteks sebuah karya, mereka duduk dengan tenang sambil mendengarkan dan memandang karya tersebut lama sekali seakan sekali lewat tidak akan cukup untuk memuaskan kehausan mereka atas keindahannya. 

Setelah berjam-jam memasuki setiap ruangan di museum yang besar itu, akhirnya kami mulai kelaparan. Paman sudah memutuskan bahwa kami akan makan moules-frites, kerang dan kentang goreng ala Belgia, di rumah makan kesukaannya. Kentang goreng adalah salah satu titik lemah saya. Sulit sekali untuk menolak kentang goreng, apalagi saat kelaparan hasil terpapar ratusan karya seni. Setelah mendapatkan tempat duduk di pinggir jendela, kami memesan kerang dengan cara memasak yang berbeda-beda supaya bisa saling icip, kentang goreng berpotongan gendut-gendut, dan bir Belgia. Seember kerang berbumbu anggur putih dan mentega dan satu ember lainnya dengan bumbu a la Provence keluar di hadapan kami yang menatapnya dengan mata berbinar-binar. Nah, ada satu masalah di situ: titik lemah saya berikutnya dalam hal makanan adalah kebosanan. Saya mudah sekali bosan dengan satu rasa makanan. Karenanya saya biasanya memilih untuk memakan beberapa jenis rasa dan makanan sekaligus untuk menghindari kebosanan. Kerang itu enak sekali, namun sebelum setengah ember habis pun saya sudah kebosanan. Saya kembali menjelma anak manja yang tidak mau menghabiskan makannya. Setelah makan, kami kelelahan dan memutuskan untuk pulang sebentar. Paman kembali ke kamarnya untuk tidur sore sejenak dan saya memutuskan untuk berendam dengan garam mandi beraroma mawar sembari mengirimkan foto-foto ke rumah untuk mama yang senang sekali melihat anak tertuanya dan adik kecilnya bersenang-senang bersama. 



Malam itu, kami melewatkan makan malam dan memilih untuk menikmati champagne gratisan dari hotel dengan sisa kue siang tadi yang bentuknya mulai berubah jadi aneh (karena tidak hanya dibawa jalan-jalan tapi juga dimasukkan ke loker museum). Tiba-tiba paman berkata, "Aku tahu kamu mungkin tidak tertarik melihat menara Eiffel, tapi ini kali pertama kamu ke Paris, jadi kita harus ke sana!" Begitulah.. kami kembali berjalan kaki sampai Louvre dan karena malam itu kemudian menjadi terlalu berkabut dan terlalu dingin, kami memesan taksi untuk tur singkat ke tempat-tempat 'wajib' di Paris: melihat lampu sorot dari Eiffel di tengah kabut tebal yang membuatnya justru semakin cantik, melewati Champs-Élysées yang disebut paman sebagai 'Malioboro on steroid', Arc de Triomphe, Obélisque de Louxor, dan landmark lain yang kami nikmati dengan malas dalam kehangatan mobil yang memutari kota perlahan.

Hari berikutnya, kami mengunjungi Musée de l'Orangerie yang merupakan sebuah museum di bangunan yang dulunya digunakan untuk melindungi pohon-pohon jeruk di taman Tuileries. Ketika perang dunia pertama berakhir, Monet menghadiahkan seri lukisan teratainya, Les Nymphéas, kepada pemerintah Perancis yang kemudian membangun ruangan mengelilingi lukisan tersebut dengan spesifiikasi pencahayaan sesuai permintaan Monet: sebisa mungkin menggunaan pencahayaan alami. Hasilnya menakjubkan sekali! "Kamu tahu tamannya Monet di Giverny? Semua  teratai di kolamnya sudah dia gambar satu-satu, tuh", celetuk paman asal-asalan. Kami mungkin membuat banyak orang sebal di museum ini karena kami berdua bergantian berfoto di depan lukisan teratai yang besar sekali itu hingga nyaris memalukan. Setelah makan siang dan berjalan-jalan tanpa tujuan, kami akhirnya menuju satu tempat yang paling saya impikan sejak bertahun-tahun yang lalu: Shakespeare and Co. 

Saya ingat jelas 'pertemuan pertama' dengan Shakespeare and Co,: saat itu saya masih menyelesaikan skripsi tentang toko buku alternatif di Jogja yang kemudian menjadi cikal bakal LIR. Saat itu awal tahun 2007 dan dalam riset tentang toko buku independen, saya menemukan kisah Shakspeare and Co. Saat itu saya berpikir, "Ini dia yang ingin kulakukan jika aku dewasa nanti!" Dan seperti takdir, beberapa bulan sebelum mendirikan LIR, Dito menghadiahi buku A Movable Feast. Cara Hemingway menceritakan tentang Shakespeare and Co. dalam buku itu membuat saya semakin mantab untuk membuat sebuah ruang berkumpul bagi para seniman, penulis, penikmat seni, pembaca, pencipta, dan pribadi-pribadi melankolis lainnya. Dan begitulah, LIR justru tumbuh sebagai tempat berkumpul: menjadi sebuah ruang seni namun tidak pernah benar-benar menjadi toko buku. Diisi dengan bahan bakar semangat yang menggebu-gebu, saya berjalan secepat mungkin bersama paman yang kali ini kalah cepat. Saya melewatkan keindahan Île de la Cité dan penjelasan paman tentang jembatan cantik yang kami lewati karena seluruh pikiran saya sudah terpaku pada toko buku kecil yang hampir memasuki jam tutup itu! Sesampainya di sana, fasad bangunan yang sudah begitu akrab di kepala menjadi nyata. Namun... antrian masuknya panjang sekali!! 


Pikiran saya mendadak melayang ke Istanbul yang tidak pernah saya datangi, dan pada perasaan yang menyerupai empati pada Fusun yang tidak pernah pergi ke Paris. Dalam buku Museum of Innocence, saya begitu terluka oleh akhir kehidupan Fusun sehingga saya kerap menduga-duga alasan yang logis atas tragedi itu. Salah satu usaha saya melogikanya adalah dengan membayangkan Fusun yang sebenarnya sedang menghindari kekecewaan yang mungkin terjadi atas harapan dan bayangannya terhadap Paris ataupun hubungannya dengan Kemal, sehingga tepat pada saat ia hampir meraih keduanya, ia memutuskan untuk membiarkannya tetap abadi sebagai angan-angan yang indah saja.  

Saat itu, Paris kembali kelabu dan gerimis. Paman terlihat kelelahan setelah saya membuatnya berjalan cepat menuju Shakespeare and Co. Ia mengenakan selapis jaket biru hangat di atas sweaternya, namun saya tahu ia lebih mudah kedinginan dibanding saya yang hanya mengenakan selapis mantel wool beige di atas rok hitam. Sementara itu, saya dibuat ragu oleh keinginan memiliki pengalaman Shakespeare and Co yang tenang dan sunyi seperti dalam bayangan selama ini—berjalan di antara buku dan ruangan yang berisi hantu-hantu masa lalu; bukan Shakespeare and Co yang penuh sesak oleh turis romantis seperti saya saat itu. Kami mengantri di luar selama beberapa menit sampai suara gadis pemimpi di kepala perlahan berbisik dengan sinis, "Go home. No ghost of the lost generation waiting for you here. This romantic utopia is a fan labour masquerading as a bookstore".  Maka saya berbalik, meninggalkan antrian, mengajak paman pergi, dan menghibur diri dengan kembali mengajaknya ke Pierre Hermé untuk membeli oleh-oleh bagi dua sahabat tersayang di Amsterdam. Saya siap kembali pulang ke sekolah. 


Dalam perjalanan kembali ke hotel, paman yang melihat lompatan-lompatan kecil di tiap langkah saya perlahan memudar, mencoba menghibur dengan mengajak mampir ke toko buku lain. Tapi turis romantis pemuja kehidupan para lost generation manapun pasti tahu bahwa Shakespeare and Co tidak pernah sekedar menjadi toko buku biasa. Saya menggeleng dan mengajaknya terus berjalan pelan. Di tengah kekecewaan seperti itu, hanya kejutan-kejutan kecil yang bisa menghibur hati yang sedikit retak. Maka Paris membawa langkah kami ke sebuah area sepi yang asing: kami tersesat! Gelap malam mulai turun dan kami tidak lagi punya paket data di telepon genggam kami. Di saat itu lah kami melihat sebuah pintu menuju gang tersembunyi di antara dua bangunan. "Mungkin gang ini akan membawa kami ke jalan besar", pikir kami sedikit ragu. Semakin masuk, samar-samar terdengar derau orang bercakap-cakap dan terlihat cahaya kuning hangat menyala dari sederet restoran-restoran kecil yang sibuk. Cahaya kuning lembut yang menyala di gang tersembunyi di tengah hamparan bangunan dan langit kelabu itu lah yang kemudian seterusnya saya asosiasikan sebagai warna Paris. Kami yang kelelahan oleh perjalanan hari itu dan terpaan gerimis tanpa henti, memutuskan untuk mampir dan menghangatkan badan. Benar saja, setelah beberapa porsi makanan kecil yang lezat, kekecewaan sedikit berkurang. Melihat saya yang kembali bersemangat karena kejutan gang kecil penuh restoran itu, paman memberikan usul yang manis sekali: "Lain kali kamu ke Paris, jelajahi gang-gang tersembunyi yang dibangun untuk membuat para tukang belanja dan tukang keluyur sama-sama bebas berjalan tanpa kehujanan: les passages couverts"[v]. Ia mengingatkan bahwa ada Paris versi lain dari The Arcade Project-nya Walter Benjamin (yang belum selesai saya baca itu). Begitu banyak buku, begitu banyak film, begitu banyak cara menikmati Paris!

Esok paginya, saya pulang ke Amsterdam dengan perasaan yang campur aduk, kebahagiaan manis yang bercampur dengan sedikit kesedihan yang khas. Melankolis. Mungkin rasanya persis seperti macaron rasa jamur truffle di Pierre Hermé kemarin. Yang kemudian saya sadari, tidak hanya kebahagiaan kecil yang membuat kehidupan berwarna dan manis: juga kesedihan ringan karena harapan yang tak sengaja retak. Dalam perjalanan, saya kembali memutar lagu Silampukau, suara si pria perajuk yang mencoba membujuk kekasihnya untuk tidak pergi ke Paris itu kembali berkumandang. Kali ini saya terpaku pada satu bait di liriknya: "Jauh-jauh Puan kembara, sedang dunia punya luka yang sama." Sialan!

-----

Catatan:
[i] lagu berjudul Puan Kelana, dinyanyikan Silampukau dalam album “Dosa, Kota, dan Kenangan”, 2014, Surabaya
[ii] Paris Syndrome adalah penyakit mental sementara yang menjangkiti turis yang berlibur ke Paris dan mendapati kota tersebut tidak seperti angan-angan mereka. Penyakit ini menyebabkan mereka mengalami delusi, ketegangan, hingga gejala fisik seperti pusing, berkeringat, muntah, dan pingsan. Tidak banyak kasus dalam sejarah turisme namun setidaknya ada 20 orang turis Jepang yang menderita sindroma ini setiap tahunnya karena terjebak di antara perasaan rindu rumah dan ‘penyakit’ Paris. 
[iii] Salah satu kutipan yang paling banyak digunakan untuk menggambarkan Paris oleh Hemingway: “If you are lucky enough to have lived in Pa ris as a young man, then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast.”, dikutip dari A Moveable Feast, 
[iv] ngglidig, ungkapan bahasa Jawa yang umumnya digunakan untuk anak ‘bandel’ yang berlari kesana kemari atau anak ‘nakal’ yang tidak betah di rumah dan sering pergi-pergi. 
[v]  les passages couverts alias gang tertutup yang merupakan bentuk awal dari shopping arcade di Paris pada abad ke 19 supaya para tukang keluyur dan orang-orang tetap bisa berbelanja dengan nyaman dalam cuaca seperti apapun. Di tahun 1850 terdapat lebih dari 150 gang beratap di Paris namun kini di abad ke-21 hanya sedikit yang tersisa dan sekitar 25 bisa diakses oleh publik. Gang beratap ini bentuknya area untuk pejalan kaki, umumnya memiliki atap kaca, menghubungkan dua jalan, berisi toko-toko di kanan kiri, dan didekorasi dengan indah.