10.7.22

thoughts // lagi-lagi tentang keberanian


(Saya lupa tepatnya apakah obituari naif di bawah ini dibuat saat erupsi Merapi tahun 2006 atau 2010; namun tulisan pendek ini merupakan salah satu tulisan yang bergulir membentuk bola saljunya sendiri. Saya ingat kesedihan komunal yang kami, warga Kaliurang, rasakan saat itu. Kesedihan itu memicu saya untuk memimpikan sebuah platform yang puitis-- apa saja!; untuk memastikan kisah-kisah tetangga ini tidak hilang atau terlupakan. Bagaimanapun juga, kami semua hidup di area bahaya. 

Beberapa tahun kemudian, di tahun 2011 saya membawa obituari ini dan membacakannya dalam kelas menulis di LIR bersama alm.mas Cindhil. Saat itu, dia bilang "Kamu harus menulis buku itu: kisah-kisah tentang tetanggamu!" "Ya kamu editornya yooo", jawab saya saat itu. Janji itu pudar bersama waktu dan menemukan jalannya sendiri. Kumpulan kisah itu, mewujud pameran seni rupa dua tahunan alih-alih sebuah buku. 

Hingga beberapa hari yang lalu, saat D mendapatkan dua orang komplotan baru yang setengah mati berusaha meyakinkan saya untuk membukukan kumpulan esai lawas saya-- harapannya, dalam bahasa Indonesia! Tapi tahu sendiri, kan, terkadang betapa insecure-nya saya menulis dalam bahasa ibu sendiri. Baik perkara keintimannya maupun perkara tidak adanya alasan untuk melakukan terlalu banyak kesalahan gramatikal (kalau ditulis dalam bahasa Inggris, kesalahan adalah keniscayaan dan kelas-kelas dekolonial selama ini membuat saya tidak lagi meminta maaf atas kesalahan berbahasa Inggris.. kalau salah berbahasa Indonesia, apa coba alasan saya?!)-- meskipun jika dipikir-pikir, toh, selalu ada editor yang akan memperbaiki dan sekali lagi pupus satu alasan untuk ketakutan? (baca tulisan lama di link ini untuk memahami ketakutan atas menulis dalam bahasa Indonesia) 

Meskipun perasaan hangat saya masih sama atas subjek tulisan di bawah ini; perasaan saya atas tulisan ini sendiri sudah berubah: "Polos dan sedikit memalukan ya?", pikir saya. Di saat yang sama, saya mengunggah kembali tulisan lama itu di sini sebagai pengingat atas titik awal bola salju yang dibuat dengan begitu cepat, begitu mudah, dan tanpa rasa takut. Siapa tahu, buku yang pernah saya impikan itu akhirnya bisa terbit juga... syaratnya: ada penerbit yang mau, tentu saja!)  


__________

Kaliurang, 2006/2010 
[Obituari: Namanya Ngadiran] 
 
Namanya Ngadiran. Ngadiran saja, tanpa embel-embel 'mbah' atau 'pak' meskipun dia selalu terlihat tua setiap kali bertemu. Bahkan sejak paman dan mama saya masih kanak-kanak, konon Ngadiran sudah 'tua'. Orang bilang dia gila. Namun anak-anak merasa dia cukup menyenangkan. Ketika saya masih kecil, saya selalu merasa Ngadiran adalah seorang tokoh ajaib dari negeri jauh. Rupanya terlihat seperti perpaduan goblin dengan janggut kurcaci berwarna hitam. Terkadang saya merasa Ngadiran sangat mirip dengan raksasa hijau yang duduk di taman rekreasi kanak-kanak dalam versi diperkecil dan kulitnya coklat tua terbakar matahari alih-alih hijau. Rambutnya hitam tebal sedikit panjang dengan uban di sana sini. Dia selalu terlihat kotor penuh coreng moreng namun tanpa bau yang mengganggu. Yang paling khas darinya adalah caranya berjalan. Setiap hari dia akan berjalan memutari Kaliurang dengan langkahnya yang khas itu. Ngadiran biasa berjalan cukup cepat dengan langkah yang sedikit terpincang-pincang karena panjang kakinya tidak sama, tangan di belakang, dan sedikit bungkuk. Bagi kami para anak-anak, hal itu membuatnya makin ajaib.


Ngadiran akan menyapa orang-orang yang ditemuinya dengan dua sapaan: "Bithu-bithu" atau "Alus-alus". Kata "Bithu-bithu" yang artinya memar-memar akan digunakannya untuk menyapa orang yang menurutnya kurang tampan/ kurang cantik. Sedangkan sapaan "Alus-alus" yang artinya halus-halus akan digunakannya bagi mereka yang dianggapnya cantik/ tampan. Pada umumnya, dia akan menyapa setiap wanita yang ditemuinya dengan sapaan "Alus-alus". Bagi kami para anak-anak, sapaan-sapaan itu tidak menjadi ukuran, namun lebih sebagai salah satu bahasa ajaibnya yang berasal dari negeri jauh. Walaupun demikian, beberapa anak wanita tetap bisa merona bila disapa sebagai "alus-alus". Tentu saja ada anak-anak nakal yang kerap mengganggunya atau berlari ketakutan ketika melihatnya, namun dia selalu tertawa lebar dan memanggil mereka sebagai "bithu-bithu".


Pada saat-saat tertentu, ketika dia lelah berjalan, dia akan berhenti dan pada hari-hari terbaiknya, bisa diajak bercakap-cakap dengan logikanya yang terkadang normal terkadang absurb. Pada saat-saat lain, orang hanya suka melihatnya dan tersenyum-senyum simpul ketika Ngadiran lewat. Kehadirannya yang aneh dan berbeda membuatnya semacam hiburan ringan seperti ketika orang melihat sirkus menampilkan orang-orang yang 'berbeda'. Terlihat sedikit tidak sopan, mungkin.. namun Ngadiran tidak sedikitpun peduli. Dia hidup dalam dimensi yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya, dan hanya keluar dari dunia kecilnya saat dia mau.


Saya terakhir kali benar-benar bertemu dengannya di tahun 1994, sekitar 14 tahun yang lalu. Saat itu orang-orang dewasa di sekitar saya mempertanyakan keselamatannya. Saat itu, merapi erupsi dengan cukup hebat dan daerah rumah Ngadiran tersapu habis. Untung pada saat Merapi mulai tenang, Ngadiran ditemukan selamat dan tertawa-tawa bahagia di Taman Rekreasi Anak-Anak. Berikutnya, saya tidak pernah bertemu dengannya. Namun ada saat-saat ketika adik saya yang kemudian beberapa tahun kemudian masuk SD, masih sering bertemu Ngadiran. Mungkin, Ngadiran hanya mengakrabkan diri pada anak-anak, sebagai bagian dari ingatan masa kecilnya.


Kemudian pagi ini seorang tetangga datang mengabarkan kematian Ngadiran. Ternyata dia menolak dievakuasi saat Kaliurang dikosongkan minggu lalu. Dia berteriak-teriak histeris ketika dipaksa masuk ke dalam truk evakuasi. Tidak ada seorang pun mampu memaksanya. Rumah-rumah di sekitar tempat tinggal Ngadiran mulai terbakar karena cipratan lahar panas, begitu juga hutan-hutan kecil di sekitarnya.


Namun, bukan karena itu Ngadiran meninggal. Ngadiran meninggal karena dia sudah tua, fisiknya sudah lemah, dan dia kelaparan. Sontak sekeluarga berduka karena kabar ini. Ngadiran adalah semacam kewajiban bersama bagi para orang-orang dewasa; sekaligus sebagai memorabilia dalam ingatan masa kecil orang-orang dewasa itu. Dengan seluruh keanehannya, orang-orang Kaliurang memiliki kedekatan dan ikatan halus yang unik dengannya. Bagi sebagian orang dia gila, bagi yang lainnya dia aneh, namun bagi jiwa anak-anak di dalam diri kami, dia tetaplah makhluk ajaib dari negeri jauh yang kini mungkin sedang dalam perjalanannya pulang ke rumah asalnya.