3.11.19

thoughts // menulis adalah tentang keberanian, katanya


(Bahwa menulis adalah persoalan keberanian, awal tahun ini saya memahaminya. Setahun sebelumnya seorang teman menawarkan kesempatan untuk membukukan kisah-kisah perjalanan beberapa tahun belakangan. Tentu saja saya ragu. Saat mobilitas orang-orang begitu tinggi seperti sekarang ini, apa menariknya satu lagi buku tentang kisah perjalanan? Tapi teman saya ini memang persuasif. Ia nyaris berhasil meyakinkan saya dengan mengatakan bahwa di antara tulisan-tulisan perjalanan itu, tidak banyak yang menulis tentang petualangan melihat banyak-banyak pameran seni rupa di berbagai negara.

Menjadikan seni perkara sehari-hari memang salah satu kegelisahan saya. Maka saya mulai menulis, meskipun masih enggan membuat komitmen. Judulnya pun sudah ada: " 'Escape is an act of returning', he said " Bahkan saya mulai membuat akun instagram baru @nilamlamulam sebagai suplemen bagi buku itu dengan tagar #actofreturning. Suplemen adalah satu hal~ tulisan intinya adalah perkara lain lagi. 

Setahun kemudian, saya hanya berhasil menulis empat tulisan (yang salah satunya sekedar prelude saja). Saya dibayangi banyak ketakutan dan ketika saya menuliskan tulisan terakhir tentang persahabatan yang pudar-- sekali lagi saya patah hati. Menuliskannya, rasanya seperti sedang membuka lebar-lebar kerapuhan hati dan pikiran. Puncaknya adalah saat saya berkunjung ke sebuah toko buku dan melihat rak diskonan: di situ lah buku itu akan terpajang, pikir saya. Maka buku itu batal dibuat. Seperti kata Tan Malaka, menulis adalah persoalan keberanian. Terlebih lagi menulis dalam bahasa sendiri dan membiarkan orang lain membacanya! 

Sekarang saya akan membagi empat tulisan itu di blog ini. Bukan perkara keberanian besar (karena saya tidak yakin akan ada yang membacanya) tapi membiarkan diri menjadi rapuh dalam posisi pikiran yang cukup rawan adalah usaha yang saya pahami untuk mengurangi rasa takut dan membuatnya masuk akal. Terkadang yang perlu dilakukan hanyalah menemukan nama sejati dari rasa takut itu sebelum mulai berdamai dengannya)

__________


1/ Prelude: "Seekor Kelinci Putih yang Terburu-Buru Pergi"

Kelinci itu mati di penghujung tahun 2015, tak lama setelah kami merayakan ulang tahun pertamanya. Sebenarnya namanya Sweet Potato, seperti tulisan tato berwarna-warni di pergelangan seorang teman yang pandai bernyanyi. Namun Sweet Potato hanya datang ketika dipanggil 'Ubi'. Ubi manis yang setia menemani saat adik terkecil lulus kuliah dan kami tidak lagi tinggal bersama, menemani saat harus beristirahat di kamar karena obat yang membuat badan selalu lemas, saat sedang sendirian, atau lebih parah: saat sedang merasa sendiri. Yang terakhir ini cukup sering terjadi mengingat saya saat itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku-buku, sahabat terdekat, keluarga, atau tidur siang kepanjangan yang berulang sepanjang tahun. Perasaan kesepian adalah masalah kronis yang biasanya menjangikiti para pembaca, orang sakit, dan pribadi melankolis lainnya. Bagi saya, hanya satu dua orang yang bisa meringankan penyakit kronis ini. Satu dua orang dan seekor kelinci. 
Kenekatan dan keinginan untuk melarikan diri sejenak karena kesedihan kehilangan Ubi membuat saya memberanikan diri mengirimkan lamaran ke De Appel Curatorial Programme di hari terakhir pendaftaran. Beberapa tahun sebelumnya ketika pertama mendengar tentang De Appel, saya sedang mulai meniti karir sebagai kurator muda tanpa bekal pendidikan seni. Selama ini, saya belajar secara otodidak dengan membuka ruang seni bernama LIR Space yang bergerak di bidang pendidikan seni alternatif bagi seniman muda. Saya belajar bersama dengan seniman-seniman muda itu, juga melalui buku-buku, kelas-kelas kurator singkat, melakukan residensi ke luar negeri, dan dengan sebanyak mungkin mendatangi pameran di sana sini. Di tengah proses panjang itu, ada satu momen di sebuah forum kurator muda ketika para kurator senior membahas tentang De Appel. Pikir saya saat itu, “Aneh sekali namanya.” Saking anehnya, nama itu masih membekas bertahun-tahun kemudian, padahal saya paling buruk dalam hal mengingat nama. 
De Appel Art Centre sendiri sudah berdiri sejak tahun 1975 sebagai ruang seni kontemporer untuk mempresentasikan hasil riset dan diskursus terkini dalam dunia seni rupa. Sejak kelas kuratornya dibuka pada tahun 1992, program ini dikenal sebagai 'kunci emas' untuk membuka pintu masuk ke skena seni rupa global menuju posisi penting di museum, biennale, dan perhelatan seni lain di dunia. Fakta bahwa setiap tahunnya mereka hanya menerima 6 kurator muda dari seluruh dunia membuat De Appel menjelma sebuah  mitos yang rasanya semakin jauh dari kenyataan bagi kurator muda tanpa pendidikan seni formal seperti saya. Nantinya, setahun setelah kenekatan melamar kelas kurator ini, mitos tentang De Appel perlahan-lahan hancur bersamaan dengan mitos-mitos lainnya di kepala saya. Tapi itu nanti.  Ketika nekat melamar apapun, saya selalu memegang teguh kata-kata paman, "Lamar dulu, perkara diterima atau tidak dan apa yang terjadi selanjutnya, dipikir nanti."  Maka kegentingan dimulai ketika panggilan wawancara datang: saya sedang dalam masa penyembuhan, paspor hampir habis masa berlakunya, dan tentu saja saya tidak pernah membayangkan akan sampai ke 12 besar untuk diwawancara, apalagi menyiapkan dana berangkat ke Belanda. Sebulan selanjutnya terasa begitu cepat hingga sedikit membingungkan. Tahu-tahu paspor baru sudah jadi, visa sampai di tangan sehari sebelum keberangkatan, sebuah ruang seni kontemporer dari negeri seberang menyatakan kesediaannya untuk 'bertaruh' (apapun hasilnya) dan membelikan tiket pulang pergi untuk berangkat wawancara. 
Entah keberuntungan, entah takdir, entah hasil usaha yang merupakan bentuk tanggungjawab atas kegentingan yang saya ciptakan sendiri. Tiba-tiba saja saya sudah berada di depan pintu De Appel Art Centre di Amsterdam dengan koper yang kebesaran di satu tangan dan google map di tangan yang lain. Sehari kemudian, berlari-lari di bawah hujan dadakan dan mendaki tangga sempit ke lantai empat sebelum berhadapan dengan para juri selama satu jam penuh. Hari berikutnya, menerima kabar baik ketika saya sedang berlari-lari mengejar trem dengan satu tangan memegang sebungkus kentang goreng dengan saus aneh dan tangan yang lain memegang telepon. Segalanya terasa cepat sekali. Setahun kemudian saya akan memiliki sebutan khusus untuk kecepatan yang sedikit membingungkan ini. Tapi saat itu, segalanya terangkum dalam dua perasaan sederhana: kebingungan yang bercampur seimbang dengan perasaan bersemangat yang berlebihan. 
Begitulah, dengan mata berbinar-binar dan tanpa berpikir panjang, perjalanan ini dimulai melalui sebuah pintu yang dibuka oleh seekor kelinci putih yang pergi dengan terburu-buru. Seperti Alice di negeri ajaib: lompat dulu saja.