|
Sudut menulis yang sedekat mungkin dengan penghangat ruangan.
|
Terkadang, sesi kelas di De Appel bisa sangat aneh dan sulit ditebak sehingga butuh waktu untuk mencernanya. Beberapa di antara yang aneh itu ada yang membuat kami marah dan mengumpat; atau sekedar kebingungan dan bertanya-tanya “Itu tadi apa, sih?”
Satu contoh kelas yang menurut saya aneh tapi menyenangkan adalah kelas menulis dari Paul O’Neill. Selain metodenya yang membentuk kebebasan menulis kami masing-masing; di hari terakhir ia membuka dua botol anggur, meminta kami memilih sudut menulis personal yang paling nyaman di kelas, kemudian memutar lagu Plastikman berjudul Krakpot (Moby Remix) keras-keras sehingga kami tidak bisa mendengar suara apapun selain lagu itu. Tubuh kami ingin bergerak, namun tugas menulis itu memiliki tenggat waktu yang ketat. Saya memilih sebuah sudut di samping pemanas yang hangat di bawah jendela, mengambil segelas anggur merah, kemudian mengerjakan tugas yang diberikan.
Setiap kali tugas berganti, musik akan berhenti dan digantikan dengan penjelasan tugas berikutnya sebelum kemudian musik kembali menenggelamkan kami dalam semesta penulisan masing-masing. Ada tugas yang membuat beberapa di antara kami meneteskan air mata, ada juga yang membuat kami senyum-senyum sendiri. Pengalaman kolektif yang sekaligus sangat individual ini mengingatkan saya pada silent rave (singkatan dari radical audio visual experience)-- berdansa ramai-ramai dengan stimulasi visual dan iringan musik di headphone masing-masing. Proses kelas menulis itu berubah menjadi semacam curator’s silent rave party yang super geek sementara tugas-tugas tersebut membawa lamunan kami melayang-layang bersama bergelas-gelas anggur, musik, dan kenyamanan sudut masing-masing.
|
Suasana kelas di loteng paling atas De Appel (2016) |
Saat itu De Appel masih berlokasi di pusat kota Amsterdam dan kelas kami berada di loteng bangunan tua bersejarah. Bangunan itu terdiri dari setidaknya 5 lantai, ditambah satu basement yang ada café-nya dan loteng tempat kelas kami berada. Bayangkan saja, kalau terlambat masuk kelas, kami harus lari-lari menaiki begitu banyak anak tangga karena ‘lift-nya lebih lambat dari kakek nenek yang berjalan menaiki tangga’. Saya pernah mencoba betapa pelannya lift tersebut, hingga rasanya nyaris tidak bergerak. Saat itu saya tidak punya pilihan lain selain menaiki lift karena sedang bertugas memindahkan barang-barang dari lantai atas ke basement. Sementara saya masih menahan gemas karena lift yang terlalu pelan, teman-teman yang menggunakan tangga sudah menanti tidak sabar di basement sejak beberapa menit sebelumnya.
Setelah mental kami diperas dengan anggur dan rentetan tugas menulis di tengah trance musik, Paul mengundang kami ke café di basement untuk bercakap-cakap santai dan nyemil. Café itu namanya sama dengan nama pemiliknya: Moes. Café kecil itu selalu ramai dan hanya buka di sore hingga malam hari. Sulit untuk mendapatkan meja untuk makan malam di sana, meskipun De Appel memiliki satu area langganan di sofa depan. Berbagai pertemuan dan perjamuan kelas kami diadakan di café itu di awal tahun ajaran.
Saya sangat menyukainya meskipun teman-teman sampai bosan makan di sana. Saya merasa Moes sangat sinematik: seakan keluar dari film-film yang tokohnya punya café langganan. Lokasinya sedikit tersembunyi dari jalan, pengunjung harus turun ke tangga basement setelah dari parkiran sepeda. Di area depan ada sofa-sofa santai, bar, dan open kitchen yang sibuk. Di area belakang terdapat area restoran yang lebih formal. Di ujung belakang terdapat sebuah taman yang hanya bisa dipakai di saat-saat khusus saja. Sayang sekali Moes terpaksa tutup ketika lokasi De Appel pindah dan bangunan tersebut tidak lagi digunakan.
|
CP 16/17 di depan pintu masuk De Appel |
|
Jalan masuk ke Moes --
| Satu-satunya foto kami di dalam Moes yang tersisa setelah hp rusak paska sauna :)) |
-- |
Beberapa saat setelah kelas menulis tersebut, koordinator program mengumumkan tugas selanjutnya dengan sedikit ragu-ragu. Sambil meminta maaf, ia berkata bahwa minggu depan kami harus membawa seorang teman yang bukan dari dunia seni untuk ikut kelas berikutnya. Tentu saja kami kelabakan menghadapi permintaan aneh ini. Dengan jadwal gila nyaris non-stop di De Appel, bagaimana mungkin seseorang punya kehidupan sosial di luar dunia seni, kan? Tugas membawa satu teman untuk nongkrong bareng menjadi tugas yang sulit sekali. Apalagi dengan syarat khusus bahwa teman itu bukan berasal dari dunia seni. Kemudian, email ini masuk ke dalam inbox kami.
Dear
LFKMMS
and your respective friends,
I am truly excited to meet you all soon
- a privilege, a challenge, an opportunity
I look forward to introduce each other Friday morning and proceed from there. I know: to find a friend who is not from the same field and available for the whole day / weekend is a bit of a wicked task. but what if we take it as a premise for what we may do rather than as an obstacle? i would like us to try to make it happen and explore what this making entails as we are pursuing it. how does it sound?
possible? half-possible? very possible?
look forward to dive into it together
, r
|
Dear R,
It is a pleasure for all of us to meet you. We are working hard on finding friends for the day of Friday (social life is reduced to the historical minimum during the programme). Hopefully most of us will be able to bring someone.
Thank you, looking forward!
LFKMMS
|
Dalam pengantar kelas tersebut dijelaskan bahwa isi kelas akan mengikuti improvisasi dan keterbukaan peserta. Tentu saja kami menyikapinya dengan cara paling overthinking. Bahkan nyaris problematizing. Kami mendiskusikannya berjam-jam, mencari tahu apa yang bisa dipelajari dari tugas ini, dan mencari tahu latar belakang R, mentor kami yang seorang kurator senior, lulusan De Appel juga, dan kerap melakukan kolaborasi lintas disiplin dengan ilmuwan, ahli hipnotis, serta para ahli di bidang-bidang non-seni lainnya. “Pantas saja tugas yang diberikan semacam itu”, pikir kami saat itu. Diskusi tersebut membuat kami cukup sedih dan membuat kami menyadari bahwa setelah 6 bulan berada di Belanda, kami belum memiliki teman di luar lingkaran seni rupa. Mungkinkah hal itu disebabkan oleh jadwal kelas yang begitu padat, atau sekedar karena kami kurang berusaha, atau karena berada di lingkaran seni rupa memang membuat pergaulan menjadi terbatas?
Tiga di antara kami sukses menemukan teman non-seni: yang satu membawa suaminya yang bekerja di bidang telekomunikasi, yang satu lagi membawa saudara sepupunya yang sedang berkunjung, dan yang satu lagi membawa teman kencan daringnya. Hanya saya, Gio, dan Hattie yang masih belum mendapatkan teman non-seni hingga kami mengusulkan sebuah kecurangan yang mudah dimaklumi di seni rupa: mengundang seniman yang akrab dengan praktek performance untuk berpura-pura menjadi orang non-seni. Dua seniman yang kami undang sama-sama lulusan Rijksakademie, penampilannya “enggak seniman banget” dan kami memberi briefing sebelum membawa mereka ke kelas. Teman kelas yang lain berpura-pura tidak mengenal ‘teman’ kami dan identitas mereka dibangun dengan sangat rapi dan tenang: satu anak berpura-pura menjadi web developer sementara satunya berpura-pura menjadi analis DNA.
Kami bertemu di Cafe Krom yang kecil dan sederhana khas brown café di Belanda. Terdapat seekor kucing gendut dan sebuah jukebox tua di salah satu sudutnya. Istilah brown café sendiri merujuk pada warna interiornya yang cenderung coklat tua dan di malam hari cenderung remang-remang minim pencahayaan. Umumnya, interior yang digunakan cukup rumahan, tidak melulu seragam, dan suasananya cukup intim. Konon katanya, brown café awalnya muncul di ruang tamu rumah pribadi untuk menambah uang saku pemilik rumah, pelanggannya dikenali secara akrab, dan makanan yang disajikan cukup sederhana. Ketika brown café di ruang tamu rumah mulai menghilang dan digantikan dengan format resminya pun, suasana intim yang khas itu masih mudah ditemukan di brown café hari ini.
Ketika kami masuk, R sudah menanti sambil membaca koran di sebuah meja bundar besar dalam café yang sempit itu. Penampilannya sedikit berantakan dengan jas musim semi tambal sulam. Ia menawarkan koran itu pada kami (tidak terlalu berguna, sih.. karena 6 bulan di sana belum membuat kami bisa berbahasa Belanda) kemudian kami bercakap sambil saling memperkenalkan diri dan teman yang dibawa.
Hari itu kami bebas memilih mau melakukan apa saja. Kebebasan itu cukup membuat kami penasaran sekaligus bersemangat. Seperti halnya konsep pertemanan yang sederhana, kebebasan itu pun awalnya membingungkan bagi kami yang selama 6 bulan terakhir hidup di bawah arahan De Appel dan jadwal super ketat di google calendar yang memberi tahu tepatnya kapan, di mana, dan dengan siapa kami akan bertemu sehari-hari. Sedikit demi sedikit, kelas itu menunjukkan betapa CP (curatorial program), seperti halnya kelas menulis Paul O’Neill, adalah sebuah gelembung kecil yang hangat dan aman, penuh musik yang sama berisiknya dengan kepala kami, sehingga mudah untuk melupakan keberadaan konteks ruang dimana kami berada sekaligus konteks sosial, bahasa, maupun waktu.
|
CP 16/17 di Hortus Botanicus |
Hari pertama kelas, kami memutuskan menjadi turis sehari dan mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kami datangi selama di Amsterdam. Menjadi turis adalah jawaban pertama kami atas kebebasan dan hal-hal yang tidak direncanakan. Kami memulainya dengan berkunjung ke Hortus Botanicus-- botanical garden berisi (antara lain) tanaman hutan hujan tropis yang dipajang di rumah kaca hangat dan lembab demi menjaga kelangsungan hidupnya secara artifisial; kemudian makan siang di rumah makan pizza yang konon katanya paling enak di Amsterdam (namun mudah sekali terlupakan); berjalan kaki menyusuri area Amsterdam timur yang cantik dan hijau sebelum akhirnya nongkrong di Winkel 43-- brown café kesukaan kami di Amsterdam Barat.
Setelah dipikir-pikir, cukup aneh juga bahwa kami belum berteman dengan pelayan atau penjaga bar di Winkel 43 padahal kami berkunjung setidaknya tiap satu/dua minggu sekali selama masa sekolah kami di De Appel. Itu adalah tempat kami berkumpul pertama kali dalam kelompok setelah tiba di Amsterdam, tempat kami konsultasi tarot dan membaca garis tangan sambil cekikikan, tempat kami makan sup hangat di keremangan sambil minum teh mint segar panas yang bisa selalu diisi ulang atau anggur murah dalam gelas belimbing sederhana dan pai apel terenak di dunia yang disajikan dalam perayaan ulang tahun semua anak.
Hari itu, ia juga memperkenalkan saya dengan satu jenis anggur putih lokal yang membuat saya jatuh hati-- aromanya mirip kelengkeng namun ringan dan renyah. Sementara itu di grup chat, teman-teman membahas “kelas macam apa itu tadi?” Beberapa anak bahkan marah-marah karena merasa tidak mendapatkan apapun dan membuang waktu mereka dengan percuma. Akhirnya, setelah seharian penuh menikmati kebebasan memilih kegiatan, seorang diantara kami mengusulkan untuk menguji seberapa jauh kebebasan itu kami miliki dengan cara meminta kunjungan ke museum Voorlinden di kota Wassenaar di hari kedua. Di museum itu sedang ada pameran Martin Creed yang ingin sekali kami lihat.
Museum Voorlinden tidak masuk dalam daftar museum yang bebas didatangi dengan Museumkaart milik kami sehingga ada ongkos masuk yang perlu dibayar. Belum lagi ditambah biaya perjalanan ke kota lain yang tidak murah dan dikalikan dua karena kami masih harus membawa teman. Permintaan semacam ini umumnya dianggap pemborosan yang tidak perlu oleh De Appel. Karena merupakan bagian dari kelas, permintaan itu diloloskan. Tentu saja kami senang sekali! Rasanya seperti sedang study tour ke luar kota dan bermain ke taman bermain yang menyenangkan.
|
rumah makan dan museum terlihat dari seberang danau |
Ini adalah kali ketiga saya berkunjung ke museum Voorlinden. Kunjungan pertama merupakan kunjungan resmi dari De Appel yang dilakukan tepat setelah museum itu diresmikan untuk publik. Saat itu, seorang kurator dari museum ditugaskan mendampingi kunjungan kami dan menjelaskan segala hal behind the scene yang cukup mencengangkan. Hal-hal yang cukup umum dan terlihat antara lain bahwa museum milik pribadi itu berdiri di tanah seluas 40 hektar lengkap dengan danau kecil, hutan kecil, parkiran yg luas, sebuah rumah besar yang berfungsi sebagai rumah makan, dan koleksi patung yg tersebar di tamannya.
Namun dibalik itu semua, jika kita melihat dengan detail, pengalaman menonton pengunjung dimaksimalkan dengan kontrol atas ruang yang sangat (bahkan terlalu) terencana. Sebagai white cube yang sangat white cube, tidak ada sign system yang mengganggu bahkan ruangnya nyaris putih polos di seluruh sudut, pintu akses pegawai begitu tersembunyi hingga tak terlihat dan hanya bisa dibuka dengan kartu khusus, pencahayaan yg seakan cahaya alami rata di seluruh sudutnya (padahal diatur sedemikian rupa dengan teknik pencahayaan yg sophisticated), alur pengunjung yang sudah memiliki dramaturginya sendiri, dan banyak detil lain yang membuat museum ini terasa teramat sangat mapan. Konon katanya tim arsitek, kurator, dan desainer museum dikirim ke berbagai belahan dunia untuk mempelajari desain museum dari New York hingga Jepang, kemudian pengalaman tersebut diaplikasikan dalam membangun museum ini.
Pengalaman kedua berkunjung ke museum itu adalah saat Dito baru saja datang menyusul saya ke Belanda. Saat itu musim dingin dan kabut pekat turun sejak pagi. Namun Dito bersemangat sekali untuk mengikuti jadwal perjalanan yg saya siapkan untuknya. Sebelum kunjungannya, saya sudah mempersiapkan daftar panjang tempat makan, museum, tempat jalan-jalan kaki, dan tempat-tempat favorit saya selama di Belanda. Meskipun suhu udara saat itu turun hingga minus sekian derajat celcius, kami bersemangat sekali menjelajahi area museum. Kabut tebal yang menggantung di sana tidak mengganggu dan justru menambah suasana magis museum ini.
Sejujurnya, museum itu bukan yang paling penting, atau yang paling kontemporer, atau bahkan yang paling baik-- tapi salah satu yang bagi saya cukup menyenangkan. Mungkin karena saya tumbuh dengan majalah Bobo, dongeng-dongeng sebelum tidur, tulisan Enid Blyton dan kisah tentang makhluk ajaib sehingga berkunjung ke museum itu dan sekitarnya benar-benar terasa seperti pergi bermain ke taman bermain!
Pengalaman itu bahkan sudah dimulai sejak turun dari kereta di Leiden. Pertama, naik bus yg bisa membawa sedekat mungkin dengan area museum tersebut (busnya pun jarang-jarang dan jarak tempuhnya cukup jauh), kemudian bus itu akan membawa kita ke area pedesaan yg seakan keluar dari buku dongeng. Mendadak jalanan berubah menjadi lebih sempit, jalur sepeda bersebelahan dengan jalur berkuda, dan rumah-rumahnya terlihat mewah dengan halaman luas yang mengingatkan saya pada area rumah peristirahatan kolonial di dataran tinggi Indonesia-- hampir seperti rumah-rumah di Kaliurang namun jauh lebih mewah dan masih dihuni. Wajar saja! Konon katanya desa Wasenaar yg kami lewati untuk menuju Voorlinden itu merupakan tempat tinggal keluarga kerajaan Belanda, orang-orang terkaya, dan duta besar negara lain. Turun dari bus, kami masih harus berjalan menyusuri taman, area perumahan yang lebih sederhana namun tetap indah, parit dengan algae hijau mengambang di atasnya; belum lagi kejutan-kejutan kecil seperti garasi yg ditumbuhi tanaman rambat, lubang di pohon pinggir jalan yg ‘dihuni’ kurcaci-kurcaci kecil, dan keajaiban khas buku dongeng lainnya. Perjalanan itu selalu membuat saya tersenyum-senyum sendiri, seakan sedang berjalan dengan versi anak kecil dari diri sendiri.
Setelah melewati area hutan kecil di dalam gerbang Voorlinden yg mengingatkan saya atas rumah Anthony di komik Candy-Candy; pengunjung disambut dengan sebuah danau di depan rumah yg anggun menjulang dengan batu bata terekspos dan taman tertata rapi. Rumah itu merupakan area rumah makan. Setelah melewati area tersebut, masuklah kita ke area museum dengan bangunan modern minimalis. Museum ini terdiri dari dua puluh ruang galeri, sebuah auditorium, perpustakaan yang begitu tertata rapi, toko museum, area pendidikan, dan favorit saya: area konservator di mana kita bisa melihat para konservator sedang memperbaiki lukisan atau karya seni yang rusak. Pekerjaan ahli restorasi karya seni selalu sukses membuat saya terkagum-kagum.
Area pameran koleksi museum berganti sesuai arahan tim kuratorial. Saat kami di sana, ada karya Tom Friedman berjudul “untitled (apples)” (2012) yang menampilkan puluhan apel merah keramik dengan bekas gigitan. Mungkin karena suasana negeri dongengnya, karya ini mengingatkan saya pada apelnya si Putri Salju. Menurut kuratornya yang saat itu mendampingi kami, setiap hari mereka selalu kehilangan beberapa buah apel keramik tersebut sehingga dibutuhkan penjaga khusus untuk karya itu. Sejujurnya, anekdot itu membuat saya pun ingin mengambil satu untuk oleh-oleh.. hehe.
|
karya Tom Friedman berjudul “untitled (apples)” (2012) |
Setelah melewati area koleksi museum, pengunjung memasuki area pameran temporer yg berganti tiap beberapa bulan sekali. Dari kunjungan pertama maupun yang kedua, pameran utamanya tidak membekas bagi saya. Namun dalam dua kunjungan tersebut justru terdapat dua karya tunggal yang cukup membekas bagi saya. Pertama, karya Stéphane Thidet berjudul “Le Refuge” (2007). Dari luar, karya Stéphane Thidet terlihat seperti rumah kayu kecil yang biasa digunakan untuk berlindung dari hujan oleh penebang kayu di hutan, atau semacam gudang perkakas di belakang rumah. Jika kita mendekat dan mengintip ke dalamnya, ada hujan turun dengan deras di dalam rumah itu; membasahi meja, kursi, lampu, ember yang percuma saja mencoba menahan bocor, dan lantainya. Suasananya puitis sekaligus basah, tidak nyaman, dan tentu saja terasa begitu tidak aman. Setidaknya saya teringat lembabnya dan tidak nyamannya pengalaman tubuh saat dapur rumah saya bocor ketika hujan deras melanda. Rumah ini merupakan versi ekstrimnya, seakan seluruh ketidaknyamanan di dunia dikumpulkan menjadi satu. Karya ini dibuat sebagai metafora untuk tempat berlindung yang berubah menjadi ruang tahanan rumah yang mengisolasi. Selain mudah untuk merasa terhubung dengan karya ini secara personal, karya ini juga ditampilkan di waktu yang tepat: saat krisis refugee sedang gencar-gencarnya menjadi isu dan perdebatan sengit di Eropa.
Karya favorit saya yang kedua adalah karya Sam Taylor-Johnson berjudul “Sigh” (2008): proyeksi video selama 8 menit 37 detik ditampilkan dalam delapan layar besar, penonton duduk di tengah-tengah atau di antara delapan layar besar tersebut. Satu kelompok orkestra terbagi dalam beberapa layar, memainkan musik dengan penuh penghayatan-- tanpa satu pun alat musik. Pengalaman berada di tengah pertunjukan tersebut terasa begitu kuat sekaligus menghanyutkan.
|
karya Sam Taylor-Johnson berjudul “Sigh” (2008) |
Martin Creed, seniman yang menjadi alasan utama kami berkunjung ke museum ini memiliki karya yang begitu ringan dan menyenangkan. Salah satu karyanya berjudul "Work No. 360: Half the air in a given space" merupakan ruangan berisi ribuan balon yang bisa kita masuki dengan sedikit berdebar siap kaget jika sewaktu-waktu ada balon yang meletus. Memasuki ruang itu seakan kehilangan orientasi arah karena tiba-tiba udara di sekitar kita yang awalnya tak terlihat, mendadak bisa disentuh dan rapat mengelilingi kita dalam bentuk balon: mencekik sekaligus ringan. Claustrophobic sekaligus seperti kembali ke masa kanak-kanak. Perpaduan perasaan ini mungkin serupa dengan perasaan orang-orang yang gemar naik wahana di taman bermain, ya.. penuh ketegangan namun menyenangkan.
Selain itu, ada karya performance Martin Creen yang juga tampil di saat-saat tertentu: ada pelari maraton berseragam yang berlari kencang mengelilingi museum seakan datang dari ruang dan waktu yang salah.. atau yang kami alami: tiba-tiba ada satu band bermain musik folk dengan gitar, seruling, vokal, dan drum kecil sambil berjalan mengelilingi area terluar museum yang berhadapan langsung dengan jendela besar menghadap ke taman. Rasanya seperti sedang berada di dalam scene film indie!
|
Saya, sesaat setelah keluar dari karya instalasi Martin Creed berjudul "Work No. 360: Half the Air in a Given Space" |
Perasaan ‘seakan-akan sedang berada di film/ buku dongeng' ini membuat Voorlinden terasa menyenangkan bagi saya. Perasaan ini semakin nyata di salah satu area favorit pengunjung yang menyajikan koleksi permanen instalasi site-specific museum tersebut. Saya dan teman-teman sering mendengar tentang karya-karya permanen tersebut yang tersebar di berbagai lokasi museum lain di seluruh dunia. Sehingga cukup menyenangkan untuk tidak terlalu berpikir panjang dan menikmati keasyikan menjelajahi karya-karya interaktif tersebut.
Misalnya saja, Leandro Erlich “Swimming Pool” yang banyak dijadikan latar belakang foto orang-orang di internet: penonton bisa masuk ke bawah air di dalam kolam renang ini melalui pintu khusus, jika difoto dari atas seakan-akan orang tersebut sedang berada di bawah air. Karya lain berjudul “Open Ended” oleh Richard Serra merupakan labirin sepanjang 18 meter yang terbuat dari besi tebal. Pengalaman pertama saya memasukinya sedikit menyebabkan panik: sejalan dengan judulnya, petualangan di dalam labirin tersebut begitu mendebarkan seakan tiada habisnya. Karya Ron Mueck berjudul “Couple Under an Umbrella” menampilkan sepasang raksasa dengan baju renang sedang ‘berjemur’ di bawah payung pantai. Sebaliknya, karya Maurizio Cattelan menampilkan elevator mini yang benar-benar berfungsi-- seakan menyiapkan ruang untuk para liliput atau hewan-hewan kecil yang ingin menjelajahi museum tersebut.
Kemudian, favorit saya: Skyspace karya James Turrell-- sebuah ruangan khusus yang didesain sedemikian rupa sehingga meminimalisir gangguan sensorik dalam berbagai bentuk (suara, warna, bentuk, aroma, temperatur) dan menjadikan sepotong langit sebagai pertunjukan utamanya. Di ruangan tersebut, kita bisa memandang langit dengan puas dan mendengar suara-suara alam dari luar. Saya kembali ke ruangan tersebut beberapa kali, menikmati sepotong langit yang rasanya disajikan khusus secara spesial bagi kami.
Saat kami keluar dari museum, R sedang berbaring di rerumputan di luar, memandang langit beneran secara langsung di alam terbuka. Dia terlihat kebosanan. Saya mencoba memahami perasaan tersebut: ia seorang kurator yang sudah cukup mapan dan banyak bepergian sehingga karya-karya di dalam museum ini mungkin saja terasa membosankan karena pernah ditemuinya di sana sini dan tidak menawarkan kebaruan narasi, misalnya. Museum ini pun tidak benar-benar menyajikan pemikiran yang paling mutakhir ataupun terkini. Museum yang begitu mapan dan terlepas dari kenyataan sosial politik di luar ruang yang begitu terdesain untuk menjadi minim gangguan. Di saat yang sama, bagi saya dan teman-teman yang sekedar ingin bersenang-senang dan tidak banyak berkunjung ke pameran blockbuster di seluruh dunia, mendapatkan akses terhadap karya-karya ini di satu tempat pun sudah terasa cukup. Kami sadar untuk tidak memberi beban politik/ narasi besar/ atau bahkan konsep yang muluk-muluk bagi karya-karya ini. Bagi kami, museum ini sekedar menjadi taman bermain yang menyenangkan.
Perihal akses ini pernah dikemukakan oleh teman yang beda angkatan di De Appel. Angkatan saya cukup beruntung karena di satu waktu bisa mendapatkan berbagai perhelatan seni penting sekaligus: Contour Biennale, Venice Biennale, Skulptur Projekte Münster, dan dokumenta di dua lokasi sekaligus; di antara semua acara penting lainnya.
Nah, ketika teman saya itu membahas betapa beruntungnya angkatan kami yang bisa datang ke semua acara itu sekaligus, temannya yang berasal dari Eropa berkata "Oh, aku sempat melihat semuanya.. yang lainnya sih memang oke, tapi Venice gitu doang", katanya.. Teman saya langsung marah. Kemudian ia menjelaskan konteksnya: mungkin temannya yg berkata Venice ‘gitu doang’ itu sudah sering berkunjung ke Venice Biennale karena mudah baginya yang berada di Eropa untuk datang. Sedangkan untuk teman saya itu yang berasal dari Malaysia (yang secara geografis jauh) membutuhkan privilege berupa akses maupun dana untuk berkunjung ke Venice Biennale. Satu kesempatan untuk akhirnya bisa berkunjung ke salah satu perhelatan seni rupa kontemporer terbesar manapun, betapapun membosankan bagi orang lain, merupakan kesempatan berharga yang tidak akan disia-siakannya.
Bagaimanapun juga, melatih mata untuk melihat seni sebanyak-banyaknya dalam berbagai variasi merupakan bagian dari pendidikan penting sebagai kurator. Percakapan ini kemudian berlanjut ke dalam konteks pendidikan: rupanya teman saya itu juga kritis terhadap betapa "Barat"-nya acuan referensi di kelasnya selama ini. Sehingga seakan-akan ia serba tidak tahu, padahal ia cukup fasih dalam konteks sejarah seni rupa di Asia. Saya cukup beruntung memiliki satu teman kelas yang sama-sama berasal dari konteks Asia dan kami kerap memperjuangkan pentingnya pengetahuan dari konteks yang tidak melulu berpusat maupun terstandarisasi di Barat. Perjuangan itu, sayangnya, terpaksa dilakukan terus menerus di dunia seni ‘internasional’ ini.
Petualangan kami hari itu ditutup dengan pengakuan dosa: kami akhirnya memberitahu R bahwa teman yang kami bawa berasal dari seni rupa. Bahwa mereka merupakan seniman yang begitu menjiwai perannya sehingga tidak sulit untuk terlihat begitu meyakinkan. Ia benar-benar terkejut sekaligus sedikit geli dan kecewa dengan kenyataan bahwa kami belum berhasil menemukan teman non-seni di Amsterdam.
Saat menanti kereta pulang, R bertanya pengalaman ‘Belanda banget’ apa yg belum pernah saya coba. Saya jawab “jajan gorengan dari ‘dinding’ FEBO (vending machine yg menempel di dinding yg umum sekali di Belanda)”. Saat itu juga dia mengeluarkan uang receh dan mengajak saya ke salah satu mesin mengerikan tersebut, kemudian dia mengambil gorengan dari dinding: kroket dan frikandel (semacam sosis atau galantin goreng dengan daging misterius). Rasanya? well…… cheap is cheap, dan mungkin pengalaman ini tidak akan saya ulangi lagi namun saat itu terasa sangat menyenangkan dan seperti berpetualang di luar zona nyaman saya.
Subject: in this dream you are showing a lipstick To: "this is me - Mardi!"
in this dream you are showing a new lipstick you’ve made, it’s called Sherrie Levine. Not without a color, glossy and bottomless it heals hears, drives motor
continue reading |
Malamnya, mentor aneh itu mengirimkan pesan singkat dan mengajak saya bertemu untuk minum kopi. Saya penasaran, petualangan macam apa yang akan terjadi bersamanya di luar jam kelas sehingga saya mengiyakan ajakan tersebut tanpa pikir panjang. Supaya tidak terlalu aneh jika pergi berduaan, saya mengajak seorang teman dari Rijksakademie untuk menemani.
Kami bertemu di pinggir taman Vondelpark. Alih-alih minum kopi, saya membawa mereka makan ramen panas kuah kaldu bebek kesukaan saya di dekat taman itu. Saat itu musim sedang berganti sehingga udara masih cukup dingin meskipun cerah. Kami berjalan sambil ngobrol ngalor ngidul.
Sampai di satu pohon, teman saya menunjuk ke arah semacam gelang warna warni dari benang rajut di dahan pohon, "Ah, musim semi sudah datang", katanya, "lihat: sudah ada martenitsas". Kemudian ia menceritakan kisah Nenek Marta atau Nenek Maret, sebuah cerita anak-anak dari Bulgaria tentang seorang nenek yang membuat cuaca berubah-ubah sesuai moodnya. Untuk meredakan mood yang terus berubah-ubah itu dan sebagai tolak bala, orang-orang merayakan kehadiran Nenek Marta dengan memakai gelang rajutan tangan bernama martenitsas itu dari tanggal 1 Maret hingga akhir bulan Maret atau saat mereka pertama kali melihat burung bangau atau burung layang-layang yang menandakan tibanya musim semi dan udara yang lebih hangat. Ketika burung bangau atau burung layang-layang terlihat, pemakai gelang ini bisa melepaskan gelangnya dan menggantungnya pada pohon yang sedang berbunga.
Martenitsas pertama yang saya temui saat itu tergantung pada dahan bunga magnolia yang sedang berbunga. Saat itu, di Vondelpark sedang banyak pohon magnolia yang berbunga. Aromanya wangi semerbak, hampir mirip dengan wangi bunga kamboja. Cerita itu, aroma bunga magnolia, dan keindahan sore di taman membuat hati saya hangat. Saya ingin sekali bisa membotolkan perasaan tersebut. Namun hal yang paling mendekati proses memasukkan perasaan tersebut ke dalam botol adalah menuliskannya dan mengeringkan beberapa helai bunga magnolia tersebut di dalam buku harian. Aromanya bertahan selama beberapa tahun setelah hari itu.
|
martenitsas di pohon magnolia yang sedang berbunga |
Saya sempat bertemu lagi dengannya di Brussel ketika ia membawa saya dan Dito ke sebuah toko anggur kecil. Pemiliknya membukakan pintu ke ruang belakang tersembunyi dengan beberapa kursi untuk mencicipi anggur-anggur terbaik yang sudah dipilihkan khusus untuknya. Beberapa temannya bergantian datang dan bergabung bersama kami: ruang belakang itu berubah menjadi pesta kecil yang nyaman. Seperti dalam tiga hari kelas bebas maupun jalan-jalan di taman, obrolannya tidak banyak saya ingat. Seakan ia hanya mengumpulkan orang yang berbeda-beda untuk sesuatu yang disebut Dito sebagai ‘berbelanja ide’. Di waktu yang sama, kami pun secara tak langsung berbelanja ide dan pengalaman. Setidaknya saya ingat sekali pengalaman rasa baru yang saya temui di gelas-gelas anggur tersebut.
Saya hanya mengingat detil-detil kecil seperti tato aneh di pergelangan tangannya. Konon katanya, tato itu adalah tato karya seniman yang dibuat sepasang-- separuh lainnya tergambar di pergelangan tangan sahabatnya. Beberapa tahun kemudian, di Dakar saya bertemu dengan sahabatnya: si pemilik separuh dari tato aneh di pergelangan tangan yang jika disandingkan akan melengkapi gambar utuh tato tersebut. Koneksi semacam ini lah yang membuat gelembung seni rupa terasa selalu bisa membesar, saling bertemu dan bergabung di saat-saat tertentu-- dan hal itu membuat beban ‘mencari teman dari luar dunia seni’, saat itu, terasa tidak terlalu mendesak.
Bertahun-tahun kemudian, saat saya menuliskan ini, gelembung seni rupa yang saya nikmati dan kerap bertemu di sana sini saat perhelatan besar terjadi tidak lagi ada karena pandemi covid-19 yang mengubah dunia. Saat itu, dunia seni rupa dan terbatasnya lingkaran seni rupa mulai terasa mengganggu bagi saya. Saya kembali teringat kelas aneh bersama R setelah sebuah percakapan dengan kurator senior lainnya di tengah kegalauan pandemi dan carut marut politik dunia.
Kurator itu bertanya. “What is truly radical about speaking in a room full of a crowd that agrees and thinks like us?”
Pertanyaan itu dan keberadaan ruang gema menghantui saya sepanjang tahun 2021. Ruang gema, ibarat museum Voorlinden yang menjadi taman bermain yang ‘asik sendiri’ dan steril dari masalah di luar sana.. atau kelas menulis ala silent rave yang menari dengan iringan musik yang hanya bisa didengar diri sendiri, atau pesta kecil di ruang belakang toko anggur: nyaman, menyenangkan, penuh kesementaraan, namun terlepas dari kenyataan di luar sana.
Lalu, alternatifnya apa? Selain usaha terus menerus untuk menyadari keberadaan ruang gema tersebut (dan idealnya, berusaha keluar darinya); saya rasa penting untuk membiarkan hantu itu melayang-layang disampingmu, menemani proses reflektif yang tiada henti.
Seperti kata mentor saya yang lain lagi, Gabi, di tahun pertama pandemi: “It is important to resist what the pandemic is seemingly inspiring: regionalism that will force us back into engaging from a conceptual vacuum lacking in reflectivity, solidarity and cross-continental dialogues that are more urgent now than ever before”. Regionalisme di sini bisa saja diartikan secara geografis, namun bisa juga dari keterbatasan pemikiran. Ruang gema, ditambah dengan keterbatasan mobilitas, pemikiran, lingkaran pergaulan, dan terputusnya koneksi, bisa berubah menjadi kemunduran yang nyata baik di dunia seni, aktivisme dan perjuangan, maupun dalam kehidupan sebagai warga dunia.
Mungkin penting untuk sekali lagi membiarkan petualangan membawa ke tempat-tempat baru, orang-orang baru, pengalaman dan pemikiran yang berbeda. Mungkin keterbatasan pandemi justru menjadi pengingat untuk melepaskan headphone silent rave itu dan mendengarkan berisiknya dunia di luar sana. Mungkin kelas aneh dengan perintah aneh di pertengahan sesi De Appel itu, tidak seaneh kedengarannya-- saya bahkan ingin melakukannya lagi, lagi, dan lagi:
“The workshop may involve outdoor walking, sitting indoors and talking, attending unforeseen events, reading and writing, dancing and embarking on unplanned activities. The mentor would like to propose each participant of the CP to invite one friend to join our workshop. This friend shouldn't be an art-world person. The participants and their friends meet the mentor at 10 am at the the round table of Cafe Krom, introduce each other, read that day's newspaper, discuss it and proceed from there.”