22.8.20

5/ 'Sicilia adalah Kunci!' [travelogue: Mei 2018]

"To have seen Italy without having seen Sicily is to not have seen Italy at all, for Sicily is the clue to everything" 
J.W.Goethe |

1/ 

Kutipan di atas diambil dari catatan perjalanan Goethe saat ia menjelajah Italia pada tahun 1786. Saat itu ia berusia 37 tahun dan konon sedang berada di puncak krisis tengah baya yang terlalu cepat menghampiri. Maka, ia melarikan diri dari pekerjaannya dan berkeliling Italia secara diam-diam (tentu saja dengan nama samaran) untuk mempelajari budaya, seni, arsitektur, bahasa, dan kehidupan di sana selama dua tahun lamanya. Ia pulang dalam keadaan yang disebutnya sebagai ‘kembali lahir’. Di antara karya-karya lainnya yang terpengaruh dari perjalanan tersebut, ia menghasilkan salah satu catatan perjalanan klasik berjudul ‘Italian Journey’. 

Pada kisaran abad ke-17 hingga ke-18, praktek tersebut cukup umum dilakukan bagi para bangsawan dan pria kelas atas di Eropa. Sebutannya: The Grand Tour. The Grand Tour merupakan bentuk pendewasaan, pembelajaran bebas, dan upaya untuk mendapatkan hal-hal yang tidak bisa didapatkan di rumah. Perjalanan itu dilakukan semata-mata demi pembelajaran, memenuhi rasa penasaran, dan dalam kasus para bangsawan tersebut—untuk mempelajari akar kebudayaan Eropa. Tidak mengherankan jika perjalanan ini umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki previlese seperti pria dengan fisik yang sehat, mampu membayar pendamping dan tukang angkut sepanjang perjalanan, serta memiliki tiga kunci utama: sumber dana tidak terbatas, koneksi, dan waktu yang membebaskan mereka untuk menjelajah. Umumnya, mereka akan pulang dengan membawa buku, karya seni, artefak budaya, dan lukisan diri yang dibuat khusus selama perjalanan sebagai tanda bahwa sang pengelana sudah melakukan perluasan daya jelajah dan memiliki pengetahuan lebih mendalam atas seni budaya klasik. Meskipun terdengar istimewa, trayek perjalanannya sebenarnya relatif seragam. Berapa memulainya dari pegunungan Alpen, menuju Paris, Swiss, Geneva, dan baru menjelajah Italia dimulai dari Torino di ujung atas hingga Sicilia di ujung bawah. Beberapa bangsawan yang memiliki pengaruh lebih besar terkadang menjelajah hingga Yunani sebelum kembali pulang melalui Jerman atau Belanda. Kini, istilah ‘Grand Tour’ di dunia seni rupa merujuk kepada perjalanan menjelajahi Eropa bagi orang-orang sadar budaya yang tertarik mempelajari kebudayaan, arsitektur, dan seni. Saya tidak benar-benar memikirkan tentang konsep ‘Grand Tour’ hingga pendamping lokal dalam residensi ini menyambut kedatangan kami dengan riang “welcome to the Grand Tour!” 

Perjalanan ini mempertemukan saya dengan Nora dan Kari—kami adalah tiga kurator yang terpilih mengikuti residensi tahunan di Fondazione Sandretto re Rebaudengo (FSRR) Turin – Italia. Residensi ini kerap dianggap cukup bergengsi karena tidak membuka open-call dan hanya melalui rekomendasi tertutup dari direktur 8 sekolah kurator paling terkemuka di dunia, melakukan wawancara satu per satu, dan tiga yang terpilih diundang untuk melakukan residensi selama tiga bulan di Italia. Saya terpilih dari De Appel-Amsterdam, Nora dari Goldsmith-London, dan Kari dari Whitney-New York. Saya masih sering merasa seperti kontingen sekolah sihir yang bertemu dalam pertandingan Quidditch jika memikirkan berbagai sekolah seni post-academic ini. Dari pengalaman saya, residensi ini adalah salah satu yang paling bergelimang previlese. Bagaimana tidak—sebuah apartmen mewah disiapkan untuk tempat tinggal kami di Torino, seluruh perjalanan keliling Italia disiapkan sejak awal oleh pendamping hingga ke detil terkecil (kami hanya perlu mengangkat koper saja dan berada di stasiun di waktu yang tepat), dan akses terhadap para pelaku seni lokal yang selalu tersedia. Wajar saja pendamping lokal kami menyebut residensi ini sebagai ‘Grand Tour’, beberapa kriterianya cocok: perjalanan dimulai di Torino hingga Sicilia, tujuannya untuk mempelajari seni dan budaya didampingi orang lokal yang mengatur jadwal harian, makanan, dan penginapan kami, dana yang disiapkan cukup berlimpah, dan setiap pulang dari sebuah kota—selalu ada buku baru, karya seni, dan potret diri yang kami bawa pulang. 

Meskipun demikian, sebagaimana perjalanan dalam sebuah ‘Grand Tour’, residensi ini cukup ambisius—setidaknya dari pengalaman kami. Dua bulan pertama diisi dengan lebih dari 200 studio visit, kunjungan ke museum, institusi seni, dan berkenalan dengan skena seni 15 kota di Italia. Bahkan sebulan sebelum kedatangan kami, ratusan portfolio seniman sudah masuk ke drive supaya kami bisa memilih seniman mana yang ingin kami temui. Bulan ketiga adalah saat untuk memproduksi hasil residensi dan mendapatkan akses penuh atas ruang galeri FSRR dan staffnya untuk membuat sebuah program atau pameran. Seakan itu semua belum cukup ambisius, di awal residensi kami bertiga memutuskan untuk membuat sebuah buku dengan kontribusi essai yang cukup substensial alih-alih mencetak katalog pameran seperti yang dilakukan tim kurator sebelum kami. 

Saya beruntung Nora dan Kari adalah teman kerja yang sangat baik. Andai saja saya berada dalam mental state yang tepat, residensi ini dengan mudah menjadi salah satu perjalanan paling menyenangkan yang pernah saya alami. Sayangnya tidak. Saya tiba di Torino dalam keadaan kelelahan fisik dan mental. Butuh waktu untuk memberi nama pada kondisi tersebut: burnout. Sayangnya, saya cukup gagap menghadapi kondisi itu di awal . Saya tidak bisa memahami kenapa tiba-tiba tidak bisa menahan air mata saat menyadari masih ada jadwal makan malam bersama direktur ruang seni tertentu setelah sehari penuh dihadapkan dengan presentasi seniman dan perkenalan orang baru. Saya gemas dengan diri sendiri yang tidak bisa memaksa diri keluar dari kamar di akhir minggu dan tidak ada keinginan untuk menjelajahi kota seperti biasa, tidak ingin bersosialisasi dengan teman-teman dan hiburan saya adalah berendam lama-lama sambil membaca atau berjam-jam jalan ke pasar untuk membeli sayur dan buah segar sendirian saja. Saya bingung kenapa sering pusing dan terus menerus kelelahan hingga tidak hanya sekali dua kali ketiduran di hadapan seniman yang sedang presentasi ataupun direktur museum yang sedang menceritakan program-programnya. Tidak sopan sekali! 

Setelah lulus dari De Appel di bulan Agustus 2017, jadwal saya belum memelan sedikit pun berikut perasaan bersalah yang datang bersamanya. Saya menerima seluruh kesempatan yang masuk meskipun itu berarti beberapa proyek besar yang terjadi bersamaaan dan residensi ke luar negeri yang hanya berjeda satu hari transit di Indonesia. Konon katanya, burnout bukan merupakan kumpulan perasaan negatif namun justru akibat stimulasi positif terus menerus tanpa henti. Saya bahkan belum sempat membiarkan debu-debu dari perjalanan-perjalanan sebelumnya mengendap ataupun bernafas lega ketika perjalanan ke Italia ini dimulai. Sesampainya di Italia, saya dihadapkan dengan jadwal pertemuan non-stop dari pukul 9 pagi hingga 11 malam. Hampir tidak ada istirahat di bulan pertama karena bahkan pertemuan ‘kasual’ dijadwalkan saat makan siang dan makan malam. Jeda perpindahan antar kota hanya dilakukan selama satu atau dua hari—cukup untuk mencuci baju namun tidak cukup lama untuk bernafas. Sulit untuk protes karena akan terdengar seperti anak manja yang kurang berterimakasih atas kesempatan langka itu. Di awal perjalanan, saya bahkan tidak mencoba secara aktif untuk berteman dangan dua co-curator meskipun kami nyaris selalu bersama. Chus, salah seorang kurator senior mentor saya dulu, sempat berkata bahwa bekerja dengan cinta bisa menjadi bencana sementara bekerja tanpa perasaan bisa jadi sangat efektif, profesional, dingin. Begitulah saya mendirikan dinding dingin di hadapan mereka. Dalam bulan-bulan berikutnya, baru saya membuka diri pada gestur kelembutan dari dua co-curator itu. Perjalanan terakhir ke Sicilia adalah salah satu penanda utamanya. Kota ini membuat saya menyadari bahwa benar kata orang-orang: perjalanan ke Italia tidak pernah hanya tentang penjelajahan geografis saja namun juga penjelajahan jauh ke dalam dirimu. 


2/ 

Kami mendarat di Sicilia saat matahari masih bersinar cerah sehingga kami bisa menikmati keindahan bukit-bukit di sekitar lokasi pendaratan pesawat. Dalam perjalanan menuju kota Palermo, sopir taksi tak henti-hentinya bercerita dalam bahasa Italia yang diterjemahkan oleh pemandu kami. Saya tidak benar-benar memperhatikan ceritanya kecuali dua yang paling terasa seperti di film saja: pertama, ketika sopir taksi menunjuk sebuah monumen di pinggir jalan. Monumen itu didirikan untuk memperingati beberapa korban pembunuhan oleh mafia setempat. Di awal tahun 1990an, terjadi perang antara penegak hukum Italia dan mafia lokal. Beberapa tokoh penting dalam perang ini dibunuh dengan 300 kg bom mobil yang diledakkan saat para tokoh penting itu berkendara dari bandara ke Palermo seperti yang kami lakukan saat itu. Konon katanya, setiap kali bom diledakkan, boss mafioso akan memesan berbotol-botol champagne untuk merayakannya. Genderang perang itu disambut oleh pemerintah Italia yang memerintahkan 5000 anggota militer untuk terjun ke Palermo, memberantas para mafia, dan mengembalikan kedamaian di Sicilia. Sejak saat itu, para mafia dilucuti kekuasaannya dan tak lebih dari preman pasar saja posisinya. Tidak heran jika banyak tulisan “No Mafia” di dinding-dinding sepanjang jalan sebagai wujud penolakan warga terhadap kekuasaan mereka. 

Selagi asyik membayangkan adegan film aksi, pandangan saya tertarik pada sebuah cahaya lampu yang cukup terang di tengah bukit yang menyala meskipun matahari masih bersinar cerah. Maka sopir taksi itu menceritakan kisah kedua: Santo Rosalia. Di tahun 1130, lahirlah seorang putri bangsawan dari kerajaan Sicilia. Karena begitu taat beragama, ia meninggalkan seluruh posisi kebangsawanannya dan memutuskan untuk bertapa di sebuah gua di gunung Pellegrino. Pada tahun 1166 dalam usia sekitar 35-36 tahun, ia meninggal dalam kesendirian kemudian dilupakan.  Hingga tahun 1624, berabad-abad setelah kematian Santo Rosalia, sebuah wabah penyakit dahsyat menyerang kota Palermo. Saat itu, sosok Santo Rosalia menampakkan diri di hadapan beberapa orang di hutan, menunjukkan mereka jalan ke goa lokasi kematiannya, dan meminta mereka untuk membawa tulang belulangnya dalam sebuah prosesi keliling kota Palermo. Setelah prosesi tersebut dilakukan tiga kali, wabah mematikan itu secara misterius berhenti dan Santo Rosalia menjadi Santo pelindung utama di Palermo. Sebuah tempat suci dibangun di goa tersebut dan sejak saat itu cahaya lampu di tengah bukit yang menerangi goa tidak pernah padam. 


Kisah-kisah tersebut bisa saja menjadi awal mula yang baik—lagi-lagi jika saya berada dalam kondisi mental yang tepat. Sebuah insiden kecil di sore hari hampir membuat saya membatalkan jadwal makan malam kalau saja Nora dan Kari tidak menggoda dengan kata kunci sakti: fritto misto! Aneka seafood goreng yang konon katanya segar sekali di kota ini. Suasana hati saya sedikit membaik. Kami berjalan menyusuri kota dan menikmati aneka rupa street food yang sedikit membingungkan (sup perut sapi, sandwich isi limpa dan paru goreng beraroma semerbak, dan—apa benar itu salad kepala kambing?!) dari kejauhan. Malam itu nyaris baik-baik saja hingga seorang seniman ngaco datang dalam keadaan mabuk dan memutuskan bergabung dalam acara makan malam kami. Dia menarik kursi begitu saja, memaksa duduk di samping saya, dan mulai menghina seniman-seniman lokal lain yang berada di meja kami: mengatai mereka bodoh dan tidak tahu cara memilih tempat makan, berteriak-teriak mencoba meyakinkan bahwa restoran yang kami datangi malam itu adalah keputusan yang salah, dan yang paling parah—ia mulai menyerang kami. Pertama ia memaksa berkenalan, kemudian ia mulai membuat komentar rasis kepada saya: ‘Oh, kamu dari Indonesia—apa benar di sana isinya hutan semua?’, ‘Apa kamu punya internet di sana?’, dan yang paling parah ‘Dengar-dengar.. di Indonesia semua orang berjalan telanjang kaki ya? Aku ingin sekali ke sana supaya bisa berjalan tanpa alas kaki bersama monyet-monyet di hutan.’ Saya baru mengangkat alis dengan perasaan berkecamuk ketika salah satu seniman di meja kami menjadi gentleman dan menggiring seniman ngaco itu keluar. Saat itu juga, Kari berkata pada pendamping kami ‘Aku tahu aku yang meminta studio visit ke tempat seniman ngaco tadi tapi aku ingin jadwal kunjungan kita dibatalkan’. Pendamping kami panik, ia tidak ingin kehilangan muka karena membatalkan janji temu di studio seniman dan berusaha meyakinkan kami bahwa tingkahnya tadi hanya karena dia mabuk saja. Saat itu Nora menegurnya dengan tegas, ‘Serius kamu masih berpikir begitu setelah kelakuannya pada teman-temannya dan kata-katanya pada Mira? Kami bertiga tidak mau menemuinya.’ Saat itu, saya tahu dua co-curator ini sudah menjadi teman yang bisa diandalkan dan bukan sekedar teman kerja saja. Meskipun siangnya sempat mental breakdown dan satu jam kemudian saya muntah-muntah hebat karena keracunan sardin dari makan malam tadi (ada benarnya juga si pemabuk ngaco bahwa makanan di restoran itu tidak segar), namun malam itu berakhir dengan hangat dan menyenangkan.

Salad kepala kambing | jualan waktu seharga 2.5eu | sardin malapetaka

Paginya, saya berkenalan dengan Singh—pelayan sekaligus cleaning service di boutique hotel yang kami tinggali. Nama hotelnya ‘N38 E13’ dan seperti namanya, tempat ini vibe-nya hipster banget! Konon katanya tempat ini memenangkan berbagai kompetisi desain dan setiap kamarnya dihiasi karya seni site-specific yang selalu berganti. Meskipun demikian, sepertinya Singh merupakan satu-satunya pegawai yang kami temui selama seminggu tinggal di sana. Itu juga alasan kenapa ia hanya bisa melayani kami untuk sarapan hingga pukul 10 pagi saja, buru-buru membereskan ruang makan setelahnya, kemudian mulai membersihkan kamar tamu. Begitu saya masuk ke ruang makan, Singh menyapa dengan ramah dan tulus, menyajikan aneka kue dan jajan pasar khas Sicilia, memastikan kami bisa mencicipi semua varian satu per satu, menyiapkan yogurt rendah lemak tanpa gula, buah-buahan, membuatkan kopi, dan memeras jus buah segar. Saya langsung berbinar-binar melihat semua kue cantik di meja: cannolo yang diisi di hadapanmu, pai daging berlapis-lapis, casatta yang tiap lapisnya diperkaya kisah migrasi dari berbagai penjuru dunia. Kari yang sudah berada di meja sarapan lebih awal berkata, ‘Pastikan kamu memesan cappuccino, kamu pasti akan terhibur.’ Dia tidak menjelaskan alasannya. Maka pagi itu saya memesan dua gelas kopi: lungo seperti biasanya dan cappuccino karena penasaran. Kemudian Singh menanyakan nama saya, menuliskannya di atas buih lembut cappuccino itu dengan ejaan India, dan menyajikannya dengan ceria. Dia tidak sedikit pun berusaha membuat latte art ala barista yang seragam di setiap warung kopi masa kini—bahkan nyaris seperti gambar ala anak SD. Tapi Kari benar, gestur kecil yang manis ini membuat saya senang sekali. Setiap pagi selama seminggu di Palermo, saya memastikan selalu memesan segelas cappucinno demi melihat pesan yang akan ditulis oleh Singh: bintang atau matahari tersenyum, ucapan selamat pagi, dan gambar-gambar random lainnya. Energinya menular, mood saya stabil tanpa perlu banyak-banyak obat anti inflamasi, dan setiap hari sisa waktu kami di Palermo menjadi hari-hari yang selalu indah. Kamar di hotel ini mungkin saja terlihat seperti kamar yang keluar dari Cereal City Guide—wangi, berkelas, dan tiap detilnya sangat diperhatikan demi kenyamanan tamu.. tapi yang benar-benar membekas di hati saya adalah pesan-pesan manis buruk rupa di atas busa tebal cappucinno pagi buatan Singh. 

3/ 

Karena pertemuan dengan seniman ngaco dibatalkan, pagi itu kami memiliki waktu tambahan untuk bertemu dengan seniman yang sudah lama ingin kami temui—sebut saja si C. Ia mengajak kami berkunjung ke ‘studionya’ untuk Manifesta. Manifesta adalah biennale nomadik gabungan negara-negara Eropa yang selalu berpindah lokasi setiap dua tahun. Di tahun 2018 Manifesta diadakan di Palermo dan dalam kunjungan ini, direktur beserta timnya sempat menemui kami di kantor Manifesta cabang Sicilia. Jangan bayangkan kantornya berupa bangunan steril yang serba modern, yang dimaksud kantor untuk mereka adalah Teatro Garibaldi Di Palermo, sebuah gedung teater bersejarah yang sangat indah. Gedung ini sempat tidak aktif sebelum kemudian digunakan sebagai kantor untuk mempersiapkan pameran yang tersebar di berbagai lokasi di Palermo ini. Dalam kesempatan itu, mereka menunjukkan mock up buku yang akan segera diterbitkan berisi daftar bangunan-bangunan kosong terlantar yang tersebar di seluruh penjuru pulau. Buku ini tadinya digunakan untuk keperluan riset pra-pameran yang begitu komprehensif sehingga mereka melihatnya sebagai catatan penting untuk belajar tentang konsep kota masa depan melalui kisah-kisah bangunan masa lampau. Saya yang memiliki romantisme khusus atas bangunan tua tentu senang sekali mengetahui adanya buku ini, di sisi lain—teman saya sedikit lebih pesimis dan merasa buku ini semacam buku saku untuk melancarkan proses gentrifikasi pulau kecil ini—komplit dengan daftar dan foto bangunan kosong yang siap pindah tangan sebagai calon fasilitas untuk turis dan bisnis baru. 

Kembali ke seniman C yang kami temui, ‘studio’ yang dia maksud adalah Orto Botanico di Palermo—sebuah kebun botani yang dibangun pada tahun 1779 sebagai apotek hidup kecil untuk mempelajari fungsi medis tiap tanaman.  Kini, tamannya berkembang luas dan terbagi dalam setidaknya 6 bagian untuk tanaman air, herba, tanaman tropis yang disimpan di ‘winter garden’ berpenghangat, tanaman dari Afrika dan Mediteranean, hingga area riset dan eksperimen. Beberapa area bahkan membuat saya seperti sedang berada di Indonesia saja: ada area hutan bambu, kebun tebu, dan tanaman-tanaman tropis yang entah bagaimana bisa tumbuh subur di sini. Kami menanti seniman itu datang di depan gerbang karena diwanti-wanti tidak masuk duluan supaya dia bisa memperkenalkan tiap area ini secara personal. Ia meminta maaf karena terlambat. Rupanya sepatunya rusak di jalan sehingga ia memutuskan untuk membeli sepatu baru di pinggir jalan seharga 5eu saja. Ia bertanya apakah kami lapar dan mengajak kami ke sebuah warung yang menjual arancina—nasi kepal goreng garing dengan aneka isi yang konon katanya paling enak di Sicilia. Kenyang dan bersemangat, kami menyerahkan sisa pagi kami kepadanya. Tidak seperti seniman lain yang taat pada waktu kami yang terbatas—seniman ini menguasai waktunya, mempermainkannya, menjadikannya elastis. Ia mulai memperkenalkan setiap sudut favoritnya, menceritakan tentang karya yang akan dibuatnya untuk Manifesta, kemudian mengajak kami melakukan sedikit tindak kriminal! Kami berdebar-debar dan bersemangat sekali. Ia mulai mengeluarkan pisau dari dalam salah satu kantong celana kargo kumalnya dan menunjukkan cara memanen opium dari bunga poppy; mengajak kami duduk di bawah pohon setelah sebelumnya mencuri jeruk dan tebu (‘Kenapa tidak—jeruk-jeruk itu tidak boleh dipetik sehingga biasanya dibiarkan jatuh dan membusuk begitu saja’, katanya). Ia terus menerus mencuri waktu kami dan membuat pendamping yang biasanya tegas pun menyerah. Begitulah, sisa hari itu kami habiskan berpetualang dengannya. 

Setelah selesai menjelajahi taman, ia membawa kami ke pasar tempat street food banyak dijual. Tempatnya ramai, terkadang aneh dan jualannya sungguh menarik hati. Makanannya pun berwarna-warni, aneka rupa, dan penuh lapisan karena Sicilia terdiri dari berbagai elemen budaya—mulai dari budaya Yunani, Arab, Perancis, Catalan, dan Spanyol.  Casatta—kue manis yang terbuat dari almond, manisan buah, dan lapisan krim konon merupakan representasi campuran berbagai budaya tersebut. Sambil bercerita, seniman itu memperingatkan supaya kami menjaga tas dan barang berharga karena banyak copet di pasar. Ia kemudian bercerita, sehari setelah tiba di Sicilia ia berjalan-jalan sendiri di pasar. Ketika ingin membeli makanan dan merogoh kantong celana untuk mengambil dompet, ia terkejut sekali: alih-alih dompet, ia menemukan tangan seseorang di dalam sakunya! Belum pulih dari keterkejutannya, orang yang tangannya ada di saku sang seniman itu malah justru menarik tangannya dengan kasar dan marah-marah duluan—‘Kamu pikir saya pencuri? Kenapa kamu memegang tangan saya?’ katanya marah. Sang seniman terlalu terkejut karena keburu dimarahi sebelum sempat marah-marah. Maka justru dia yang meminta maaf dan pergi sambil kebingungan. Kami yang mulai merasa akrab dengannya saat itu mengejeknya habis-habisan sambil menutup rapat-rapat tas tangan yang kami bawa. 

Kami terus berjalan ketika tiba-tiba sampai di jalan yang mendadak sepi. Dari pengalaman saya, pergantian mendadak dari area super ramai ke area super lengang cukup membuat cemas. Maka saya bertanya kenapa area ini tiba-tiba begitu sepi. Dengan santai ia menjawab, ‘Oh, karena ini area para mafia. Kita akan makan di sebuah rumah makan sarang mafia lokal’, katanya. Kami terkejut sekaligus bersemangat—kemudian ia menambahkan ‘Tenang saja, di area ini aman. Mereka tidak akan merampokmu, mereka hanya bermain uang besar’. Ia terus bercerita sambil berjalan kaki santai. Katanya, awal kedatangannya ke Palermo, ia tidak digubris dan tidak dilayani ketika masuk ke rumah makan yang kami tuju itu. Boro-boro dilayani, ia bahkan tidak boleh masuk. Maka ia datang setiap hari untuk mendapatkan kepercayaan sang pemilik rumah makan yang kerap menolak melayani turis. Lama kelamaan, kegigihannya membuahkan hasil. Ia diperbolehkan masuk dan sejak saat itu menjadi pelanggan tetap di rumah makan tersebut. Ketika kami berhasil masuk bersamanya, kami memahami perjuangan tersebut: makanan di rumah makan itu enak, seafoodnya segar, dan harganya keterlaluan murahnya: memuaskan sekali! Hari itu, di tengah derasnya arus perpindahan kami di Italia, mendadak waktu berjalan lambat, panjang, dan bisa dinikmati.  


4/ 

Sehari sebelum berpindah dari Palermo ke Catania, kami dijadwalkan untuk berkunjung ke Cretto di Burri—karya land art monumental yang dibuat oleh Alberto Burri. Alkisah sebuah desa bernama Gibellina Vecchia yang hancur dalam gempa bumi di tahun 1968. Desa itu kemudian ditinggalkan dan penduduk yang bertahan hidup membangun desa baru 20 km dari lokasi desa yang terhantam gempa. Di tahun 1985, Alberto Burri melihat rumah-rumah yang hancur itu sebagai 'bingkai' dan mengisinya dengan beton. Maka satu per satu ia menutup semua bekas rumah dengan beton; menjadikan bekas gang dan bekas jalanan di desa itu terlihat seperti retakan—sebuah pengingat atas kejadian gempa besar tersebut. Nama ‘Cretto’ yang berarti retakan menjadi monumen permanen atas sebuah desa yang hilang. Konstruksi ini berjalan selama 4 tahun dan saat itu, hanya 60,000 meter persegi saja yang berhasil diselesaikan. 30 tahun kemudian, dua dekade setelah kematian Alfredo Burri, pemerintah setempat memutuskan untuk menyelesaikan 20.000 meter persegi sisanya dan akhirnya karya ini selesai di tahun 1995. Butuh waktu sekitar dua jam dengan mobil dari Palermo ke Gibellina. Kami berdesak-desakan dalam sebuah sedan kecil milik seniman lokal dari Palermo yang berbaik hati mengantarkan kami. Saya tidak keberatan. Pemandangan sepanjang jalan indah sekali. Pemandangan terus berganti dari air laut biru berkilauan di kejauhan, hamparan hutan dan padang rumput, rombongan sapi dan biri-biri berbulu tebal yang asyik merumput, kebun buah, mercu suar, desa-desa di atas bukit yang seluruh rumahnya berwarna putih dan jalan kecil naik turun yang dengan mudah akan membuat anak-anak mabuk perjalanan. Saya menikmati seluruh pemandangan itu dengan rakus—hidung saya nyaris menempel ke jendela mobil saking bersemangatnya!

Tujuan pertama kami adalah Nuova Gibellina—desa baru yang dibangun untuk menggantikan Gibellina Vecchia.  Kurator yang bertugas memelihara Cretto di Burri menyambur kami di sebuah toko es krim. Ia mempersilakan kami membeli arancini mini, keripik kentang, es krim, air putih, dan mempersilakan kami menggunakan kamar mandi sebelum berangkat ke Cretto di Burri. Saya merasa seperti sedang piknik keluarga saja. Bagaimana tidak: road trip, mobil kecil berdesak-desakan, jajan es krim dan keripik kentang sambil mampir pipis. Komplit! 


Bahkan sebelum kami tiba di Cretto di Burri, karya monumental itu sudah terlihat di kejauhan. Seperti rumah kura-kura raksasa berwarna putih yang ditinggalkan di tengah hamparan pohon dan rumput hijau. Sesampainya di sana, kurator monumen ini mengeluarkan kejutan: anjing kecil bernama Alberto yang ternyata selama ini ikut dalam mobilnya. Alberto dulunya merupakan anjing liar yang selalu berkeliaran di Cretto di Burri dan sering mengikuti si kurator saat dia melakukan inspeksi karya tersebut. Lama-lama, mereka akrab dan Alberto ikut pulang.  ‘Kita mulai dari mana?’, tanya pendamping kami. ‘Kita biarkan Alberto menunjukkan jalan, ya’, jawabnya santai. Maka begitulah.. Alberto si anjing yang menentukan arah penjelajahan kami. Kami tidak keberatan. Ia pemandu yang baik. Ia berjalan dengan percaya diri (tentu saja, ini kan desa asalnya!), kalau kami tertinggal ia akan berputar balik dan menjemput kami, begitu terus hingga kami tiba di titik teratas bekas desa ini. Hanya ada satu dua orang lain selain kami—sepertinya pengunjung juga karena tidak ada petugas satu pun selain si kurator. Pengalaman itu menyenangkan. Sureal sekali rasanya dikelilingi warna putih, melewati gang-gang yang dulunya jalanan, naik ke atas beton yang dulunya merupakan atap rumah warga. Jika biasanya sebuah galeri atau museum dibuat dalam konsep white cubes untuk menghilangkan semua elemen lain dari luar supaya bisa fokus pada karya seni saja, di sini sebaliknya meskipun pada dasarnya logikanya mirip. Karena tidak ada gangguan visual lain dalam jarak pandang lurus mata, alam terasa semakin nyata dan dekat sekali. Melihat ke atas: langit biru. Berbalik arah: hamparan alam hijau. Hanya suara si kurator yang memberi pengantar sejarah karya monumental ini—sisanya hanya kedamaian suara angin, langkah kaki Alberto, dan suara burung saja yang terdengar .

Pengalaman yang begitu steril dan mapan itu membuat saya berandai-andai.. bagaimana jika monumen semacam ini ada di Indonesia? Setidaknya di parkiran pasti diisi tenda warna-warni penjual minuman dan jagung bakar, di ‘dinding’ putih seluas itu mungkin saja sudah tertulis nama kekasih atau grafitti aneka warna, pos tiket masuk dengan antrian mengular campuran antara pecinta seni dan pejuang selfie, umbul-umbul nama tempat wisata dengan logo sponsor, dan polusi visual lain yang menghiasi sepanjang jalan. Sama dengan fakta bahwa Cretto di Burri dibuat sebagai karya site-specific bagi Gibellina, pengalaman visual di Indonesia pun pasti memiliki kekhususan lain yang lebih cocok dengan kepribadian bangsa. Aneh sekali bahwa karya land-art bekas desa terpencil di Sicilia justru membuat saya teringat pada pemikiran Sudjojono. Tidak adil membayangkan Cretto di Burri mentah-mentah berada di Indonesia; sebagaimana galeri white cubes dan struktur museum serba steril hanya cocok di negara-negara empat musim dengan kelembaban udara yang rendah dan struktur yang mapan. Menurut saya, seni di Indonesia memang cocoknya menyatu dengan masyarakat—ruang seni yang dari jendelanya masuk aroma terasi panggang dan ikan goreng dapur tetangga, seniman yang menyadari posisi politis dan sosialnya di luar ruang studio, dan juga bentuk demokrasi yang berisik secara suara maupun kekayaan pilihan corak serta warna. Sebuah proyek seni site-specific yang baik menurut saya juga perlu menjunjung identitas, kesadaran, tradisi, dan pengetahuan yang terikat pada lokasinya tanpa menghilangkan jiwa khas sang seniman. Cretto di Burri adalah proyek seni site-specific yang indah dan memperlihatkan jiwa sang seniman dengan sangat baik. Namun, saya cukup kritis pada diri sendiri dalam memandang Cretto di Burri yang nyaris terjebak cara pandang turis terhadap karya-karya mooi Indie di masa lalu: romantis, steril dari penderitaan, dan cenderung lupa bahwa lokasi ini dulunya sebuah desa yang nyata dengan kehidupan dan kematian yang terjadi di lokasi sama. Cukup ironis untuk berada di atas penderitaan itu dan melupakannya karena terpaku oleh keindahan karya monumental Alberto Burri. Meskipun karya itu membuat saya secara pribadi sangat berbahagia, namun dalam posisi saya sebagai kurator yang mengulik tentang site-specificity, saya pulang dengan pergulatan batin—apakah posisi karya ini menjadi monumen pengingat atau justru mengubur ingatan bersama dengan beton-beton dan nama besar sang seniman? 


5/ 

Kami memasuki Sicilia dengan kisah-kisah yang nyaris seperti di film saja: perang antara mafia dengan negara, ratusan kilo bom mobil yang dibalas dengan kehadiran ribuan militer, dan seorang putri bangsawan yang tulang belulangnya menyelamatkan seluruh kota dari wabah besar. Siapa sangka bahwa akhir perjalanan kami di Sicilia pun terasa seperti perjalanan yang “Wah, bisa jadi film nih..”

Diawali dengan pagi terakhir menikmati cappucinno buatan Singh, kemudian lari-lari menuju bandara untuk menyewa mobil. Setelah berhasil mendapatkan mobil sewaan, kami memulai perjalanan panjang menuju Catania. Dalam kelompok ini, ketiga kurator bisa menyetir mobil sementara pendamping kami tidak. Namun, hanya saya dan Nora yang bisa mengendarai mobil matic dan sim saya bukan sim internasional sehingga tidak bisa dipakai di Italia. Maka dari itu, hanya Nora yang diperbolehkan menjadi sopir sepanjang perjalanan 230km membelah pulau itu. Nora tidak keberatan sama sekali selama ada yang mengarahkan dengan google map, toh hanya sekitar 2,5 – 3,5 jam saja lama perjalanannya jika semua lancar. Selain itu, pendamping yang biasanya cukup kaku dalam mengatur jadwal kami kali ini menjanjikan supaya kami bisa mampir ke pantai dulu untuk berenang sejenak sebelum menuju ke pertemuan berikutnya. Kami senang sekali! Road trip mini terasa sangat menjanjikan—hingga saat ketika perjalanan itu dimulai. Saya dan Kari duduk di belakang sementara pendamping kami bertugas menjadi pembaca peta. Saat masih di kota, Nora menyetir dengan normal-normal saja—namun segera setelah kami memasuki jalan tol, ia mulai ngebut. Tidak hanya ngebut, dia juga mulai melewati mobil-mobil di hadapannya satu per satu dengan tukikan tajam. Saya bahkan tidak tahu mobil kota itu bisa dipacu begitu kencang melawan mobil kargo, truk tronton, dan bus besar di jalan tol. Saya mulai mengirim pesan penuh kecemasan yang saya bayangkan bisa saja menjadi pesan terakhir bagi yang terkasih di rumah sana, fokus menikmati pemandangan super indah di luar sana, komat kamit berdoa, sambil memasang earphone untuk mendengarkan musik keras-keras. Harapannya supaya sedikit tidak tegang dalam perjalanan super ngebut itu. Saya jadi ingat, Nora pernah berkata sambil lalu ‘kan saya dulu seorang pembalap’. Saat itu saya tidak menganggapnya serius. Namun dengan cara menyetir seperti ini, mungkin dia tidak sedang bercanda. (Apalagi saat mengingat bahwa saudara kandungnya memiliki pekerjaan paling keren yang pernah saya tahu: pemain poker profesional!)


Lucunya.. si pendamping sebenarnya meminta supaya dia duduk di depan dan membaca peta karena dia mudah sekali mabuk perjalanan. Nah.. dalam kondisi mobil pontang panting itu, dia memutuskan tidak hanya membaca peta tapi juga mengedit tulisan dan membalas email lewat hp-nya. Jelas bukan waktu yang tepat untuk multitasking, bukan? Tentu saja titik ketika ia mulai mabuk darat adalah saat ketika semuanya kacau bagi jadwalnya dan berkah bagi kami. Pertama, dia terlambat membaca peta sehingga kami yang melaju dalam kecepatan 140 km per jam itu salah belok keluar tol ke arah yang tidak jelas. Karena mulai pusing, dia tidak menganggap salah belok itu serius dan menyarankan supaya kami lanjut saja. Saat itu semuanya mulai terasa aneh karena kami sebenarnya ingin menuju pantai tapi jalanan mulai terus menanjak. Dengan percaya diri, semua merasa bahwa tanjakan ini wajar saja, toh mungkin akan ada jalan turun sampai ke pantai yang diidamkan. Begitu terlihat ada belokan menurun seperti premis itu, kami mengikutinya. Jalannya kecil, sangat sepi, turun bukit sih.. tapi kemudian naik lagi dengan pemandangan kanan kiri perkebunan. Indah sekali dengan aneka pohon olive, jeruk orange yang aromanya wangi sekali saat dilewati, dan berderet-deret pohon anggur. Saat itu mobil berjalan dengan pelan karena kami semua dengan riang menikmati pemandangan indah  di sekitar kami. Tentu saja terbersit sedikit pemikiran bahwa mungkin saja kami tersesat.. tapi dengan riang salah satu dari kami berkata ‘Kita buka bekal dan piknik saja!’ Semakin naik, semakin indah pemandangannya. Kemudian kami tiba di ujung jalan yang tertutup gerbang otomatis. Kami memarkir mobil di depan gerbang tersebut, keluar dari mobil dan menikmati hamparan perkebunan di bawah sana, mencari spot piknik yang tepat ketika tiba-tiba gerbang terbuka dan seorang petugas mempersilakan masuk. Bingung, tapi kami menurut saja. Bangunan di dalam gerbang itu seperti bangunan yang sering saya baca di buku-buku.. atau bayangan atas bangunan perkebunan di desa Italia yang tiba-tiba jadi nyata. Ternyata—kami memasuki sebuah hotel tua sekaligus winery. Pantas saja pemandangannya begitu indah dan ada petugas yang membukakan gerbang.

Kemudian, seseorang dari kami datang dengan ide brilian: hotel ini pasti punya restoran.. kenapa kita tidak duduk di sisi paling tersembunyi dari restoran itu, memesan segelas anggur, dan membuka bekal piknik kita? Kami merasa idenya sangat cerdas. Kemudian kami membagi tugas. Dua di antara kami minta diperlihatkan seluruh area makan di hotel itu kepada petugas, dua lainnya mencari spot piknik tersembunyi di taman restoran hotel. Yang tidak kami perhitungkan adalah betapa sepinya hotel itu. Tentu saja sulit mencoba sembunyi-sembunyi mengeluarkan bekal piknik ketika pelayan hotelnya lebih banyak dari kami berempat dan semua memperhatikan gerak gerik kami. Maka, saya dan Kari memutuskan untuk duduk di pinggir kolam renang saja dan memesan segelas anggur putih dingin buatan winery ini tanpa membuka bekal. Entah karena pemandangannya, entah karena ide brilian kami yang gagal total, entah karena kami sedang cukup ceria dan melihatnya sebagai waktu bernafas sejenak dari kebut-kebutan di jalan tol—anggur putih dingin yang begitu renyah, kering, dengan aroma dan nuansa rasa yang sangat kaya itu terasa begitu lezat. Kami menyesap minuman kami pelan-pelan dalam keadaan perut kosong dan perasaan yang makin ringan, memakai kamar kecilnya, kemudian melanjutkan perjalanan. 


Bahkan sebelum kami benar-benar keluar dari gerbang hotel, tahu-tahu si pendamping mengumumkan berita menyebalkan ‘Pertemuan kita selanjutnya dijadwalkan satu jam dari sekarang. Kalian tidak boleh ke pantai. Kita langsung menuju ke pertemuan selanjutnya’, katanya. Kami yang kelelahan setelah perjalanan panjang Milan - Napoli - Sicilia nontop hampir dua minggu ini dan kelaparan karena gagal buka bekal pun mulai protes, namun ia bersikukuh. Saat itu lah tiba-tiba Nora yang sehari-harinya sopan, halus, dan elegan tiba-tiba menghentikan mobil. Ia protes berat dan menolak melanjutkan perjalanan jika kami tidak diberikan sedikit saja waktu bernafas. Ia mulai membahas tentang saya dan Kari yang entah kapan bisa ke Sicilia lagi, tentang hari itu yang sebenarnya merupakan hari libur nasional yang bahkan tidak boleh kami nikmati sebentar saja, dan poin yang paling utama—tentang struktur program yang membuat kami terus menerus overworked. Saat itu saya mulai mempertanyakan apakah sebenarnya pembicaraan tentang protes, sistem kerja berlebihan, dan penggunaan waktu eksploitatif yang kerap dijadikan topik pembahasan saat seni rupa membahas struktur kerja post-Fordist itu hanya latihan intelektual semata: diuji dan diperdebatkan namun tidak benar-benar dijalankan? Sementara Kari dan Nora cukup menjunjung tinggi kewarasan dalam bekerja: penting untuk seluruh pekerjaan diselesaikan dengan baik, tapi tidak boleh mengesampingkan kesehatan mental dan tubuh. Sepertinya hanya pendamping kami saja yang tidak tahu pasti kapan harus berhenti dan tentang pentingnya jeda. Setelah berdebat lama akhirnya dia menyerah. Dua teman saya senang sekali. Mereka berterima kasih, perjalanan dilanjutkan, bekal piknik dibuka, dan kami mendapatkan satu jam untuk berenang serta membaca buku di pinggir pantai random di Catania sebelum kembali ke kehidupan nyata.   

Sebagai konsekuensi atas jeda tersebut, kami terlambat dari waktu yang dijanjikan dengan seorang pendiri ruang residensi tertua di Catania dan ia meminta kami menemuinya di sebuah ranch di kaki gunung Etna alih-alih di studio. Permintaan itu cukup membuat kami penasaran dan kembali bersemangat. Betapa menyenangkan dan penuh kejutannya studio visit di Italia akan saya ceritakan dalam tulisan lain. Kali ini, kami tiba sebelum gelap dan gunung berapi Etna yang anggun terlihat di kejauhan. Sang tuan rumah menyarankan supaya kami mengambil jaket tambahan karena pertemuan kami akan dilakukan di luar ruangan. Kemudian ia mulai memperkenalkan kami kepada seluruh anggota keluarganya (yang tentu saja sedang merayakan hari libur nasional bersama), seluruh pegawai ranch, dan bahkan seluruh hewan peliharaannya di ranch tersebut—kuda berwarna putih dengan surai panjang, kuda poni mini milik anak-anaknya, kuda besar yang kokoh berlari menggelilingi arena, babi yang entah bagaimana kandangnya tidak berbau busuk, kambing ramah bernama Alexandria, bebek-bebek, dan banyak lagi. Sekali lagi, waktu bergulir dengan pelan dan halus. Kami bahkan belum mulai membicarakan tentang seni rupa sampai satu jam kemudian saat matahari mulai turun dan ia kehabisan hewan untuk diperkenalkan. Setelah perkenalan dan obrolan tentang ruang seni yang dikelolanya selesai, ia menawarkan pizza. Kami yang mulai kedinginan dan sedikit lapar pun mengiyakan tawaran tersebut. Setengah jam kemudian, pizza pesanan mereka datang dan semua berkumpul mengelilingi meja taman pendek. Dua kakek yang tadinya asyik bermain kartu bersama sang nenek segera menghentikan permainannya dan bergabung dengan ayah, ibu, paman, anak-anak, pawang kuda, dan kami—semua berkumpul bersama dengan musik, bir, anggur lokal, dan pizza di sebuah ranch sederhana di kaki gunung Etna. Saya bungah! Saat itu, di sana.. adalah kehangatan yang sering saya bayangkan atas sebuah jamuan makan di Italia. Kekeluargaan dan santai. Yang tidak saya bayangkan adalah menemukan salah satu pizza dengan topping kentang dan daging giling! Gila, kan? Kalau pizza semacam itu disajikan di Indonesia yang terpisah jauh budayanya dari hidangan ini, saya tidak heran. Tapi, menemukannya di Italia yang biasanya menjunjung tinggi kultur masakannya? Keberaniannya sungguh patut diacungi jempol!

Di akhir perjalanan, saya menyadari banyak hal:  salah satunya bahwa burnout adalah perkara kimiawi yang tidak selalu bisa dikontrol namun bisa diperbaiki oleh waktu. Di waktu yang sama, saya tidak ingin pengalaman ulang alik mental yang membingungkan selama dua bulan awal perjalanan ini sia-sia. Dalam perjalanan ini, saya juga belajar banyak tentang bentuk lain dari kepedulian dan keintiman hubungan pertemanan dari dua co-curator yang mulai saya sayangi sebagai teman. Mereka juga lah mengajarkan pada saya pentingnya memiliki kontrol atas waktumu—karena waktu bisa menjadi begitu elastis tanpa kehilangan efektifitas dan efisiensi. Saya menuliskan semua itu dalam bentuk essai untuk buku yang kami terbitkan di akhir residensi. Fokus utamanya adalah tentang percepatan waktu dan kondisi mental dalam dunia seni rupa kontemporer. Kondisi itu kerap diromantisir—seakan jika pelaku seni merana dan mentalnya kelelahan, hal itu merupakan bagian dari pilihan artistiknya. Sementara jika seorang akuntan yang mengalami hal serupa pasti dianggap sebagai penyakit mental beneran. Sebagian besar isi essai tesebut mengacu pada kejadian-kejadian kecil di Sicilia—for Sicily is the clue to everything!