22.8.20

5/ 'Sicilia adalah Kunci!' [travelogue: Mei 2018]

"To have seen Italy without having seen Sicily is to not have seen Italy at all, for Sicily is the clue to everything" 
J.W.Goethe |

1/ 

Kutipan di atas diambil dari catatan perjalanan Goethe saat ia menjelajah Italia pada tahun 1786. Saat itu ia berusia 37 tahun dan konon sedang berada di puncak krisis tengah baya yang terlalu cepat menghampiri. Maka, ia melarikan diri dari pekerjaannya dan berkeliling Italia secara diam-diam (tentu saja dengan nama samaran) untuk mempelajari budaya, seni, arsitektur, bahasa, dan kehidupan di sana selama dua tahun lamanya. Ia pulang dalam keadaan yang disebutnya sebagai ‘kembali lahir’. Di antara karya-karya lainnya yang terpengaruh dari perjalanan tersebut, ia menghasilkan salah satu catatan perjalanan klasik berjudul ‘Italian Journey’. 

Pada kisaran abad ke-17 hingga ke-18, praktek tersebut cukup umum dilakukan bagi para bangsawan dan pria kelas atas di Eropa. Sebutannya: The Grand Tour. The Grand Tour merupakan bentuk pendewasaan, pembelajaran bebas, dan upaya untuk mendapatkan hal-hal yang tidak bisa didapatkan di rumah. Perjalanan itu dilakukan semata-mata demi pembelajaran, memenuhi rasa penasaran, dan dalam kasus para bangsawan tersebut—untuk mempelajari akar kebudayaan Eropa. Tidak mengherankan jika perjalanan ini umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki previlese seperti pria dengan fisik yang sehat, mampu membayar pendamping dan tukang angkut sepanjang perjalanan, serta memiliki tiga kunci utama: sumber dana tidak terbatas, koneksi, dan waktu yang membebaskan mereka untuk menjelajah. Umumnya, mereka akan pulang dengan membawa buku, karya seni, artefak budaya, dan lukisan diri yang dibuat khusus selama perjalanan sebagai tanda bahwa sang pengelana sudah melakukan perluasan daya jelajah dan memiliki pengetahuan lebih mendalam atas seni budaya klasik. Meskipun terdengar istimewa, trayek perjalanannya sebenarnya relatif seragam. Berapa memulainya dari pegunungan Alpen, menuju Paris, Swiss, Geneva, dan baru menjelajah Italia dimulai dari Torino di ujung atas hingga Sicilia di ujung bawah. Beberapa bangsawan yang memiliki pengaruh lebih besar terkadang menjelajah hingga Yunani sebelum kembali pulang melalui Jerman atau Belanda. Kini, istilah ‘Grand Tour’ di dunia seni rupa merujuk kepada perjalanan menjelajahi Eropa bagi orang-orang sadar budaya yang tertarik mempelajari kebudayaan, arsitektur, dan seni. Saya tidak benar-benar memikirkan tentang konsep ‘Grand Tour’ hingga pendamping lokal dalam residensi ini menyambut kedatangan kami dengan riang “welcome to the Grand Tour!” 

Perjalanan ini mempertemukan saya dengan Nora dan Kari—kami adalah tiga kurator yang terpilih mengikuti residensi tahunan di Fondazione Sandretto re Rebaudengo (FSRR) Turin – Italia. Residensi ini kerap dianggap cukup bergengsi karena tidak membuka open-call dan hanya melalui rekomendasi tertutup dari direktur 8 sekolah kurator paling terkemuka di dunia, melakukan wawancara satu per satu, dan tiga yang terpilih diundang untuk melakukan residensi selama tiga bulan di Italia. Saya terpilih dari De Appel-Amsterdam, Nora dari Goldsmith-London, dan Kari dari Whitney-New York. Saya masih sering merasa seperti kontingen sekolah sihir yang bertemu dalam pertandingan Quidditch jika memikirkan berbagai sekolah seni post-academic ini. Dari pengalaman saya, residensi ini adalah salah satu yang paling bergelimang previlese. Bagaimana tidak—sebuah apartmen mewah disiapkan untuk tempat tinggal kami di Torino, seluruh perjalanan keliling Italia disiapkan sejak awal oleh pendamping hingga ke detil terkecil (kami hanya perlu mengangkat koper saja dan berada di stasiun di waktu yang tepat), dan akses terhadap para pelaku seni lokal yang selalu tersedia. Wajar saja pendamping lokal kami menyebut residensi ini sebagai ‘Grand Tour’, beberapa kriterianya cocok: perjalanan dimulai di Torino hingga Sicilia, tujuannya untuk mempelajari seni dan budaya didampingi orang lokal yang mengatur jadwal harian, makanan, dan penginapan kami, dana yang disiapkan cukup berlimpah, dan setiap pulang dari sebuah kota—selalu ada buku baru, karya seni, dan potret diri yang kami bawa pulang. 

Meskipun demikian, sebagaimana perjalanan dalam sebuah ‘Grand Tour’, residensi ini cukup ambisius—setidaknya dari pengalaman kami. Dua bulan pertama diisi dengan lebih dari 200 studio visit, kunjungan ke museum, institusi seni, dan berkenalan dengan skena seni 15 kota di Italia. Bahkan sebulan sebelum kedatangan kami, ratusan portfolio seniman sudah masuk ke drive supaya kami bisa memilih seniman mana yang ingin kami temui. Bulan ketiga adalah saat untuk memproduksi hasil residensi dan mendapatkan akses penuh atas ruang galeri FSRR dan staffnya untuk membuat sebuah program atau pameran. Seakan itu semua belum cukup ambisius, di awal residensi kami bertiga memutuskan untuk membuat sebuah buku dengan kontribusi essai yang cukup substensial alih-alih mencetak katalog pameran seperti yang dilakukan tim kurator sebelum kami. 

Saya beruntung Nora dan Kari adalah teman kerja yang sangat baik. Andai saja saya berada dalam mental state yang tepat, residensi ini dengan mudah menjadi salah satu perjalanan paling menyenangkan yang pernah saya alami. Sayangnya tidak. Saya tiba di Torino dalam keadaan kelelahan fisik dan mental. Butuh waktu untuk memberi nama pada kondisi tersebut: burnout. Sayangnya, saya cukup gagap menghadapi kondisi itu di awal . Saya tidak bisa memahami kenapa tiba-tiba tidak bisa menahan air mata saat menyadari masih ada jadwal makan malam bersama direktur ruang seni tertentu setelah sehari penuh dihadapkan dengan presentasi seniman dan perkenalan orang baru. Saya gemas dengan diri sendiri yang tidak bisa memaksa diri keluar dari kamar di akhir minggu dan tidak ada keinginan untuk menjelajahi kota seperti biasa, tidak ingin bersosialisasi dengan teman-teman dan hiburan saya adalah berendam lama-lama sambil membaca atau berjam-jam jalan ke pasar untuk membeli sayur dan buah segar sendirian saja. Saya bingung kenapa sering pusing dan terus menerus kelelahan hingga tidak hanya sekali dua kali ketiduran di hadapan seniman yang sedang presentasi ataupun direktur museum yang sedang menceritakan program-programnya. Tidak sopan sekali! 

Setelah lulus dari De Appel di bulan Agustus 2017, jadwal saya belum memelan sedikit pun berikut perasaan bersalah yang datang bersamanya. Saya menerima seluruh kesempatan yang masuk meskipun itu berarti beberapa proyek besar yang terjadi bersamaaan dan residensi ke luar negeri yang hanya berjeda satu hari transit di Indonesia. Konon katanya, burnout bukan merupakan kumpulan perasaan negatif namun justru akibat stimulasi positif terus menerus tanpa henti. Saya bahkan belum sempat membiarkan debu-debu dari perjalanan-perjalanan sebelumnya mengendap ataupun bernafas lega ketika perjalanan ke Italia ini dimulai. Sesampainya di Italia, saya dihadapkan dengan jadwal pertemuan non-stop dari pukul 9 pagi hingga 11 malam. Hampir tidak ada istirahat di bulan pertama karena bahkan pertemuan ‘kasual’ dijadwalkan saat makan siang dan makan malam. Jeda perpindahan antar kota hanya dilakukan selama satu atau dua hari—cukup untuk mencuci baju namun tidak cukup lama untuk bernafas. Sulit untuk protes karena akan terdengar seperti anak manja yang kurang berterimakasih atas kesempatan langka itu. Di awal perjalanan, saya bahkan tidak mencoba secara aktif untuk berteman dangan dua co-curator meskipun kami nyaris selalu bersama. Chus, salah seorang kurator senior mentor saya dulu, sempat berkata bahwa bekerja dengan cinta bisa menjadi bencana sementara bekerja tanpa perasaan bisa jadi sangat efektif, profesional, dingin. Begitulah saya mendirikan dinding dingin di hadapan mereka. Dalam bulan-bulan berikutnya, baru saya membuka diri pada gestur kelembutan dari dua co-curator itu. Perjalanan terakhir ke Sicilia adalah salah satu penanda utamanya. Kota ini membuat saya menyadari bahwa benar kata orang-orang: perjalanan ke Italia tidak pernah hanya tentang penjelajahan geografis saja namun juga penjelajahan jauh ke dalam dirimu. 


2/ 

Kami mendarat di Sicilia saat matahari masih bersinar cerah sehingga kami bisa menikmati keindahan bukit-bukit di sekitar lokasi pendaratan pesawat. Dalam perjalanan menuju kota Palermo, sopir taksi tak henti-hentinya bercerita dalam bahasa Italia yang diterjemahkan oleh pemandu kami. Saya tidak benar-benar memperhatikan ceritanya kecuali dua yang paling terasa seperti di film saja: pertama, ketika sopir taksi menunjuk sebuah monumen di pinggir jalan. Monumen itu didirikan untuk memperingati beberapa korban pembunuhan oleh mafia setempat. Di awal tahun 1990an, terjadi perang antara penegak hukum Italia dan mafia lokal. Beberapa tokoh penting dalam perang ini dibunuh dengan 300 kg bom mobil yang diledakkan saat para tokoh penting itu berkendara dari bandara ke Palermo seperti yang kami lakukan saat itu. Konon katanya, setiap kali bom diledakkan, boss mafioso akan memesan berbotol-botol champagne untuk merayakannya. Genderang perang itu disambut oleh pemerintah Italia yang memerintahkan 5000 anggota militer untuk terjun ke Palermo, memberantas para mafia, dan mengembalikan kedamaian di Sicilia. Sejak saat itu, para mafia dilucuti kekuasaannya dan tak lebih dari preman pasar saja posisinya. Tidak heran jika banyak tulisan “No Mafia” di dinding-dinding sepanjang jalan sebagai wujud penolakan warga terhadap kekuasaan mereka. 

Selagi asyik membayangkan adegan film aksi, pandangan saya tertarik pada sebuah cahaya lampu yang cukup terang di tengah bukit yang menyala meskipun matahari masih bersinar cerah. Maka sopir taksi itu menceritakan kisah kedua: Santo Rosalia. Di tahun 1130, lahirlah seorang putri bangsawan dari kerajaan Sicilia. Karena begitu taat beragama, ia meninggalkan seluruh posisi kebangsawanannya dan memutuskan untuk bertapa di sebuah gua di gunung Pellegrino. Pada tahun 1166 dalam usia sekitar 35-36 tahun, ia meninggal dalam kesendirian kemudian dilupakan.  Hingga tahun 1624, berabad-abad setelah kematian Santo Rosalia, sebuah wabah penyakit dahsyat menyerang kota Palermo. Saat itu, sosok Santo Rosalia menampakkan diri di hadapan beberapa orang di hutan, menunjukkan mereka jalan ke goa lokasi kematiannya, dan meminta mereka untuk membawa tulang belulangnya dalam sebuah prosesi keliling kota Palermo. Setelah prosesi tersebut dilakukan tiga kali, wabah mematikan itu secara misterius berhenti dan Santo Rosalia menjadi Santo pelindung utama di Palermo. Sebuah tempat suci dibangun di goa tersebut dan sejak saat itu cahaya lampu di tengah bukit yang menerangi goa tidak pernah padam. 


Kisah-kisah tersebut bisa saja menjadi awal mula yang baik—lagi-lagi jika saya berada dalam kondisi mental yang tepat. Sebuah insiden kecil di sore hari hampir membuat saya membatalkan jadwal makan malam kalau saja Nora dan Kari tidak menggoda dengan kata kunci sakti: fritto misto! Aneka seafood goreng yang konon katanya segar sekali di kota ini. Suasana hati saya sedikit membaik. Kami berjalan menyusuri kota dan menikmati aneka rupa street food yang sedikit membingungkan (sup perut sapi, sandwich isi limpa dan paru goreng beraroma semerbak, dan—apa benar itu salad kepala kambing?!) dari kejauhan. Malam itu nyaris baik-baik saja hingga seorang seniman ngaco datang dalam keadaan mabuk dan memutuskan bergabung dalam acara makan malam kami. Dia menarik kursi begitu saja, memaksa duduk di samping saya, dan mulai menghina seniman-seniman lokal lain yang berada di meja kami: mengatai mereka bodoh dan tidak tahu cara memilih tempat makan, berteriak-teriak mencoba meyakinkan bahwa restoran yang kami datangi malam itu adalah keputusan yang salah, dan yang paling parah—ia mulai menyerang kami. Pertama ia memaksa berkenalan, kemudian ia mulai membuat komentar rasis kepada saya: ‘Oh, kamu dari Indonesia—apa benar di sana isinya hutan semua?’, ‘Apa kamu punya internet di sana?’, dan yang paling parah ‘Dengar-dengar.. di Indonesia semua orang berjalan telanjang kaki ya? Aku ingin sekali ke sana supaya bisa berjalan tanpa alas kaki bersama monyet-monyet di hutan.’ Saya baru mengangkat alis dengan perasaan berkecamuk ketika salah satu seniman di meja kami menjadi gentleman dan menggiring seniman ngaco itu keluar. Saat itu juga, Kari berkata pada pendamping kami ‘Aku tahu aku yang meminta studio visit ke tempat seniman ngaco tadi tapi aku ingin jadwal kunjungan kita dibatalkan’. Pendamping kami panik, ia tidak ingin kehilangan muka karena membatalkan janji temu di studio seniman dan berusaha meyakinkan kami bahwa tingkahnya tadi hanya karena dia mabuk saja. Saat itu Nora menegurnya dengan tegas, ‘Serius kamu masih berpikir begitu setelah kelakuannya pada teman-temannya dan kata-katanya pada Mira? Kami bertiga tidak mau menemuinya.’ Saat itu, saya tahu dua co-curator ini sudah menjadi teman yang bisa diandalkan dan bukan sekedar teman kerja saja. Meskipun siangnya sempat mental breakdown dan satu jam kemudian saya muntah-muntah hebat karena keracunan sardin dari makan malam tadi (ada benarnya juga si pemabuk ngaco bahwa makanan di restoran itu tidak segar), namun malam itu berakhir dengan hangat dan menyenangkan.

Salad kepala kambing | jualan waktu seharga 2.5eu | sardin malapetaka

Paginya, saya berkenalan dengan Singh—pelayan sekaligus cleaning service di boutique hotel yang kami tinggali. Nama hotelnya ‘N38 E13’ dan seperti namanya, tempat ini vibe-nya hipster banget! Konon katanya tempat ini memenangkan berbagai kompetisi desain dan setiap kamarnya dihiasi karya seni site-specific yang selalu berganti. Meskipun demikian, sepertinya Singh merupakan satu-satunya pegawai yang kami temui selama seminggu tinggal di sana. Itu juga alasan kenapa ia hanya bisa melayani kami untuk sarapan hingga pukul 10 pagi saja, buru-buru membereskan ruang makan setelahnya, kemudian mulai membersihkan kamar tamu. Begitu saya masuk ke ruang makan, Singh menyapa dengan ramah dan tulus, menyajikan aneka kue dan jajan pasar khas Sicilia, memastikan kami bisa mencicipi semua varian satu per satu, menyiapkan yogurt rendah lemak tanpa gula, buah-buahan, membuatkan kopi, dan memeras jus buah segar. Saya langsung berbinar-binar melihat semua kue cantik di meja: cannolo yang diisi di hadapanmu, pai daging berlapis-lapis, casatta yang tiap lapisnya diperkaya kisah migrasi dari berbagai penjuru dunia. Kari yang sudah berada di meja sarapan lebih awal berkata, ‘Pastikan kamu memesan cappuccino, kamu pasti akan terhibur.’ Dia tidak menjelaskan alasannya. Maka pagi itu saya memesan dua gelas kopi: lungo seperti biasanya dan cappuccino karena penasaran. Kemudian Singh menanyakan nama saya, menuliskannya di atas buih lembut cappuccino itu dengan ejaan India, dan menyajikannya dengan ceria. Dia tidak sedikit pun berusaha membuat latte art ala barista yang seragam di setiap warung kopi masa kini—bahkan nyaris seperti gambar ala anak SD. Tapi Kari benar, gestur kecil yang manis ini membuat saya senang sekali. Setiap pagi selama seminggu di Palermo, saya memastikan selalu memesan segelas cappucinno demi melihat pesan yang akan ditulis oleh Singh: bintang atau matahari tersenyum, ucapan selamat pagi, dan gambar-gambar random lainnya. Energinya menular, mood saya stabil tanpa perlu banyak-banyak obat anti inflamasi, dan setiap hari sisa waktu kami di Palermo menjadi hari-hari yang selalu indah. Kamar di hotel ini mungkin saja terlihat seperti kamar yang keluar dari Cereal City Guide—wangi, berkelas, dan tiap detilnya sangat diperhatikan demi kenyamanan tamu.. tapi yang benar-benar membekas di hati saya adalah pesan-pesan manis buruk rupa di atas busa tebal cappucinno pagi buatan Singh. 

3/ 

Karena pertemuan dengan seniman ngaco dibatalkan, pagi itu kami memiliki waktu tambahan untuk bertemu dengan seniman yang sudah lama ingin kami temui—sebut saja si C. Ia mengajak kami berkunjung ke ‘studionya’ untuk Manifesta. Manifesta adalah biennale nomadik gabungan negara-negara Eropa yang selalu berpindah lokasi setiap dua tahun. Di tahun 2018 Manifesta diadakan di Palermo dan dalam kunjungan ini, direktur beserta timnya sempat menemui kami di kantor Manifesta cabang Sicilia. Jangan bayangkan kantornya berupa bangunan steril yang serba modern, yang dimaksud kantor untuk mereka adalah Teatro Garibaldi Di Palermo, sebuah gedung teater bersejarah yang sangat indah. Gedung ini sempat tidak aktif sebelum kemudian digunakan sebagai kantor untuk mempersiapkan pameran yang tersebar di berbagai lokasi di Palermo ini. Dalam kesempatan itu, mereka menunjukkan mock up buku yang akan segera diterbitkan berisi daftar bangunan-bangunan kosong terlantar yang tersebar di seluruh penjuru pulau. Buku ini tadinya digunakan untuk keperluan riset pra-pameran yang begitu komprehensif sehingga mereka melihatnya sebagai catatan penting untuk belajar tentang konsep kota masa depan melalui kisah-kisah bangunan masa lampau. Saya yang memiliki romantisme khusus atas bangunan tua tentu senang sekali mengetahui adanya buku ini, di sisi lain—teman saya sedikit lebih pesimis dan merasa buku ini semacam buku saku untuk melancarkan proses gentrifikasi pulau kecil ini—komplit dengan daftar dan foto bangunan kosong yang siap pindah tangan sebagai calon fasilitas untuk turis dan bisnis baru. 

Kembali ke seniman C yang kami temui, ‘studio’ yang dia maksud adalah Orto Botanico di Palermo—sebuah kebun botani yang dibangun pada tahun 1779 sebagai apotek hidup kecil untuk mempelajari fungsi medis tiap tanaman.  Kini, tamannya berkembang luas dan terbagi dalam setidaknya 6 bagian untuk tanaman air, herba, tanaman tropis yang disimpan di ‘winter garden’ berpenghangat, tanaman dari Afrika dan Mediteranean, hingga area riset dan eksperimen. Beberapa area bahkan membuat saya seperti sedang berada di Indonesia saja: ada area hutan bambu, kebun tebu, dan tanaman-tanaman tropis yang entah bagaimana bisa tumbuh subur di sini. Kami menanti seniman itu datang di depan gerbang karena diwanti-wanti tidak masuk duluan supaya dia bisa memperkenalkan tiap area ini secara personal. Ia meminta maaf karena terlambat. Rupanya sepatunya rusak di jalan sehingga ia memutuskan untuk membeli sepatu baru di pinggir jalan seharga 5eu saja. Ia bertanya apakah kami lapar dan mengajak kami ke sebuah warung yang menjual arancina—nasi kepal goreng garing dengan aneka isi yang konon katanya paling enak di Sicilia. Kenyang dan bersemangat, kami menyerahkan sisa pagi kami kepadanya. Tidak seperti seniman lain yang taat pada waktu kami yang terbatas—seniman ini menguasai waktunya, mempermainkannya, menjadikannya elastis. Ia mulai memperkenalkan setiap sudut favoritnya, menceritakan tentang karya yang akan dibuatnya untuk Manifesta, kemudian mengajak kami melakukan sedikit tindak kriminal! Kami berdebar-debar dan bersemangat sekali. Ia mulai mengeluarkan pisau dari dalam salah satu kantong celana kargo kumalnya dan menunjukkan cara memanen opium dari bunga poppy; mengajak kami duduk di bawah pohon setelah sebelumnya mencuri jeruk dan tebu (‘Kenapa tidak—jeruk-jeruk itu tidak boleh dipetik sehingga biasanya dibiarkan jatuh dan membusuk begitu saja’, katanya). Ia terus menerus mencuri waktu kami dan membuat pendamping yang biasanya tegas pun menyerah. Begitulah, sisa hari itu kami habiskan berpetualang dengannya. 

Setelah selesai menjelajahi taman, ia membawa kami ke pasar tempat street food banyak dijual. Tempatnya ramai, terkadang aneh dan jualannya sungguh menarik hati. Makanannya pun berwarna-warni, aneka rupa, dan penuh lapisan karena Sicilia terdiri dari berbagai elemen budaya—mulai dari budaya Yunani, Arab, Perancis, Catalan, dan Spanyol.  Casatta—kue manis yang terbuat dari almond, manisan buah, dan lapisan krim konon merupakan representasi campuran berbagai budaya tersebut. Sambil bercerita, seniman itu memperingatkan supaya kami menjaga tas dan barang berharga karena banyak copet di pasar. Ia kemudian bercerita, sehari setelah tiba di Sicilia ia berjalan-jalan sendiri di pasar. Ketika ingin membeli makanan dan merogoh kantong celana untuk mengambil dompet, ia terkejut sekali: alih-alih dompet, ia menemukan tangan seseorang di dalam sakunya! Belum pulih dari keterkejutannya, orang yang tangannya ada di saku sang seniman itu malah justru menarik tangannya dengan kasar dan marah-marah duluan—‘Kamu pikir saya pencuri? Kenapa kamu memegang tangan saya?’ katanya marah. Sang seniman terlalu terkejut karena keburu dimarahi sebelum sempat marah-marah. Maka justru dia yang meminta maaf dan pergi sambil kebingungan. Kami yang mulai merasa akrab dengannya saat itu mengejeknya habis-habisan sambil menutup rapat-rapat tas tangan yang kami bawa. 

Kami terus berjalan ketika tiba-tiba sampai di jalan yang mendadak sepi. Dari pengalaman saya, pergantian mendadak dari area super ramai ke area super lengang cukup membuat cemas. Maka saya bertanya kenapa area ini tiba-tiba begitu sepi. Dengan santai ia menjawab, ‘Oh, karena ini area para mafia. Kita akan makan di sebuah rumah makan sarang mafia lokal’, katanya. Kami terkejut sekaligus bersemangat—kemudian ia menambahkan ‘Tenang saja, di area ini aman. Mereka tidak akan merampokmu, mereka hanya bermain uang besar’. Ia terus bercerita sambil berjalan kaki santai. Katanya, awal kedatangannya ke Palermo, ia tidak digubris dan tidak dilayani ketika masuk ke rumah makan yang kami tuju itu. Boro-boro dilayani, ia bahkan tidak boleh masuk. Maka ia datang setiap hari untuk mendapatkan kepercayaan sang pemilik rumah makan yang kerap menolak melayani turis. Lama kelamaan, kegigihannya membuahkan hasil. Ia diperbolehkan masuk dan sejak saat itu menjadi pelanggan tetap di rumah makan tersebut. Ketika kami berhasil masuk bersamanya, kami memahami perjuangan tersebut: makanan di rumah makan itu enak, seafoodnya segar, dan harganya keterlaluan murahnya: memuaskan sekali! Hari itu, di tengah derasnya arus perpindahan kami di Italia, mendadak waktu berjalan lambat, panjang, dan bisa dinikmati.  


4/ 

Sehari sebelum berpindah dari Palermo ke Catania, kami dijadwalkan untuk berkunjung ke Cretto di Burri—karya land art monumental yang dibuat oleh Alberto Burri. Alkisah sebuah desa bernama Gibellina Vecchia yang hancur dalam gempa bumi di tahun 1968. Desa itu kemudian ditinggalkan dan penduduk yang bertahan hidup membangun desa baru 20 km dari lokasi desa yang terhantam gempa. Di tahun 1985, Alberto Burri melihat rumah-rumah yang hancur itu sebagai 'bingkai' dan mengisinya dengan beton. Maka satu per satu ia menutup semua bekas rumah dengan beton; menjadikan bekas gang dan bekas jalanan di desa itu terlihat seperti retakan—sebuah pengingat atas kejadian gempa besar tersebut. Nama ‘Cretto’ yang berarti retakan menjadi monumen permanen atas sebuah desa yang hilang. Konstruksi ini berjalan selama 4 tahun dan saat itu, hanya 60,000 meter persegi saja yang berhasil diselesaikan. 30 tahun kemudian, dua dekade setelah kematian Alfredo Burri, pemerintah setempat memutuskan untuk menyelesaikan 20.000 meter persegi sisanya dan akhirnya karya ini selesai di tahun 1995. Butuh waktu sekitar dua jam dengan mobil dari Palermo ke Gibellina. Kami berdesak-desakan dalam sebuah sedan kecil milik seniman lokal dari Palermo yang berbaik hati mengantarkan kami. Saya tidak keberatan. Pemandangan sepanjang jalan indah sekali. Pemandangan terus berganti dari air laut biru berkilauan di kejauhan, hamparan hutan dan padang rumput, rombongan sapi dan biri-biri berbulu tebal yang asyik merumput, kebun buah, mercu suar, desa-desa di atas bukit yang seluruh rumahnya berwarna putih dan jalan kecil naik turun yang dengan mudah akan membuat anak-anak mabuk perjalanan. Saya menikmati seluruh pemandangan itu dengan rakus—hidung saya nyaris menempel ke jendela mobil saking bersemangatnya!

Tujuan pertama kami adalah Nuova Gibellina—desa baru yang dibangun untuk menggantikan Gibellina Vecchia.  Kurator yang bertugas memelihara Cretto di Burri menyambur kami di sebuah toko es krim. Ia mempersilakan kami membeli arancini mini, keripik kentang, es krim, air putih, dan mempersilakan kami menggunakan kamar mandi sebelum berangkat ke Cretto di Burri. Saya merasa seperti sedang piknik keluarga saja. Bagaimana tidak: road trip, mobil kecil berdesak-desakan, jajan es krim dan keripik kentang sambil mampir pipis. Komplit! 


Bahkan sebelum kami tiba di Cretto di Burri, karya monumental itu sudah terlihat di kejauhan. Seperti rumah kura-kura raksasa berwarna putih yang ditinggalkan di tengah hamparan pohon dan rumput hijau. Sesampainya di sana, kurator monumen ini mengeluarkan kejutan: anjing kecil bernama Alberto yang ternyata selama ini ikut dalam mobilnya. Alberto dulunya merupakan anjing liar yang selalu berkeliaran di Cretto di Burri dan sering mengikuti si kurator saat dia melakukan inspeksi karya tersebut. Lama-lama, mereka akrab dan Alberto ikut pulang.  ‘Kita mulai dari mana?’, tanya pendamping kami. ‘Kita biarkan Alberto menunjukkan jalan, ya’, jawabnya santai. Maka begitulah.. Alberto si anjing yang menentukan arah penjelajahan kami. Kami tidak keberatan. Ia pemandu yang baik. Ia berjalan dengan percaya diri (tentu saja, ini kan desa asalnya!), kalau kami tertinggal ia akan berputar balik dan menjemput kami, begitu terus hingga kami tiba di titik teratas bekas desa ini. Hanya ada satu dua orang lain selain kami—sepertinya pengunjung juga karena tidak ada petugas satu pun selain si kurator. Pengalaman itu menyenangkan. Sureal sekali rasanya dikelilingi warna putih, melewati gang-gang yang dulunya jalanan, naik ke atas beton yang dulunya merupakan atap rumah warga. Jika biasanya sebuah galeri atau museum dibuat dalam konsep white cubes untuk menghilangkan semua elemen lain dari luar supaya bisa fokus pada karya seni saja, di sini sebaliknya meskipun pada dasarnya logikanya mirip. Karena tidak ada gangguan visual lain dalam jarak pandang lurus mata, alam terasa semakin nyata dan dekat sekali. Melihat ke atas: langit biru. Berbalik arah: hamparan alam hijau. Hanya suara si kurator yang memberi pengantar sejarah karya monumental ini—sisanya hanya kedamaian suara angin, langkah kaki Alberto, dan suara burung saja yang terdengar .

Pengalaman yang begitu steril dan mapan itu membuat saya berandai-andai.. bagaimana jika monumen semacam ini ada di Indonesia? Setidaknya di parkiran pasti diisi tenda warna-warni penjual minuman dan jagung bakar, di ‘dinding’ putih seluas itu mungkin saja sudah tertulis nama kekasih atau grafitti aneka warna, pos tiket masuk dengan antrian mengular campuran antara pecinta seni dan pejuang selfie, umbul-umbul nama tempat wisata dengan logo sponsor, dan polusi visual lain yang menghiasi sepanjang jalan. Sama dengan fakta bahwa Cretto di Burri dibuat sebagai karya site-specific bagi Gibellina, pengalaman visual di Indonesia pun pasti memiliki kekhususan lain yang lebih cocok dengan kepribadian bangsa. Aneh sekali bahwa karya land-art bekas desa terpencil di Sicilia justru membuat saya teringat pada pemikiran Sudjojono. Tidak adil membayangkan Cretto di Burri mentah-mentah berada di Indonesia; sebagaimana galeri white cubes dan struktur museum serba steril hanya cocok di negara-negara empat musim dengan kelembaban udara yang rendah dan struktur yang mapan. Menurut saya, seni di Indonesia memang cocoknya menyatu dengan masyarakat—ruang seni yang dari jendelanya masuk aroma terasi panggang dan ikan goreng dapur tetangga, seniman yang menyadari posisi politis dan sosialnya di luar ruang studio, dan juga bentuk demokrasi yang berisik secara suara maupun kekayaan pilihan corak serta warna. Sebuah proyek seni site-specific yang baik menurut saya juga perlu menjunjung identitas, kesadaran, tradisi, dan pengetahuan yang terikat pada lokasinya tanpa menghilangkan jiwa khas sang seniman. Cretto di Burri adalah proyek seni site-specific yang indah dan memperlihatkan jiwa sang seniman dengan sangat baik. Namun, saya cukup kritis pada diri sendiri dalam memandang Cretto di Burri yang nyaris terjebak cara pandang turis terhadap karya-karya mooi Indie di masa lalu: romantis, steril dari penderitaan, dan cenderung lupa bahwa lokasi ini dulunya sebuah desa yang nyata dengan kehidupan dan kematian yang terjadi di lokasi sama. Cukup ironis untuk berada di atas penderitaan itu dan melupakannya karena terpaku oleh keindahan karya monumental Alberto Burri. Meskipun karya itu membuat saya secara pribadi sangat berbahagia, namun dalam posisi saya sebagai kurator yang mengulik tentang site-specificity, saya pulang dengan pergulatan batin—apakah posisi karya ini menjadi monumen pengingat atau justru mengubur ingatan bersama dengan beton-beton dan nama besar sang seniman? 


5/ 

Kami memasuki Sicilia dengan kisah-kisah yang nyaris seperti di film saja: perang antara mafia dengan negara, ratusan kilo bom mobil yang dibalas dengan kehadiran ribuan militer, dan seorang putri bangsawan yang tulang belulangnya menyelamatkan seluruh kota dari wabah besar. Siapa sangka bahwa akhir perjalanan kami di Sicilia pun terasa seperti perjalanan yang “Wah, bisa jadi film nih..”

Diawali dengan pagi terakhir menikmati cappucinno buatan Singh, kemudian lari-lari menuju bandara untuk menyewa mobil. Setelah berhasil mendapatkan mobil sewaan, kami memulai perjalanan panjang menuju Catania. Dalam kelompok ini, ketiga kurator bisa menyetir mobil sementara pendamping kami tidak. Namun, hanya saya dan Nora yang bisa mengendarai mobil matic dan sim saya bukan sim internasional sehingga tidak bisa dipakai di Italia. Maka dari itu, hanya Nora yang diperbolehkan menjadi sopir sepanjang perjalanan 230km membelah pulau itu. Nora tidak keberatan sama sekali selama ada yang mengarahkan dengan google map, toh hanya sekitar 2,5 – 3,5 jam saja lama perjalanannya jika semua lancar. Selain itu, pendamping yang biasanya cukup kaku dalam mengatur jadwal kami kali ini menjanjikan supaya kami bisa mampir ke pantai dulu untuk berenang sejenak sebelum menuju ke pertemuan berikutnya. Kami senang sekali! Road trip mini terasa sangat menjanjikan—hingga saat ketika perjalanan itu dimulai. Saya dan Kari duduk di belakang sementara pendamping kami bertugas menjadi pembaca peta. Saat masih di kota, Nora menyetir dengan normal-normal saja—namun segera setelah kami memasuki jalan tol, ia mulai ngebut. Tidak hanya ngebut, dia juga mulai melewati mobil-mobil di hadapannya satu per satu dengan tukikan tajam. Saya bahkan tidak tahu mobil kota itu bisa dipacu begitu kencang melawan mobil kargo, truk tronton, dan bus besar di jalan tol. Saya mulai mengirim pesan penuh kecemasan yang saya bayangkan bisa saja menjadi pesan terakhir bagi yang terkasih di rumah sana, fokus menikmati pemandangan super indah di luar sana, komat kamit berdoa, sambil memasang earphone untuk mendengarkan musik keras-keras. Harapannya supaya sedikit tidak tegang dalam perjalanan super ngebut itu. Saya jadi ingat, Nora pernah berkata sambil lalu ‘kan saya dulu seorang pembalap’. Saat itu saya tidak menganggapnya serius. Namun dengan cara menyetir seperti ini, mungkin dia tidak sedang bercanda. (Apalagi saat mengingat bahwa saudara kandungnya memiliki pekerjaan paling keren yang pernah saya tahu: pemain poker profesional!)


Lucunya.. si pendamping sebenarnya meminta supaya dia duduk di depan dan membaca peta karena dia mudah sekali mabuk perjalanan. Nah.. dalam kondisi mobil pontang panting itu, dia memutuskan tidak hanya membaca peta tapi juga mengedit tulisan dan membalas email lewat hp-nya. Jelas bukan waktu yang tepat untuk multitasking, bukan? Tentu saja titik ketika ia mulai mabuk darat adalah saat ketika semuanya kacau bagi jadwalnya dan berkah bagi kami. Pertama, dia terlambat membaca peta sehingga kami yang melaju dalam kecepatan 140 km per jam itu salah belok keluar tol ke arah yang tidak jelas. Karena mulai pusing, dia tidak menganggap salah belok itu serius dan menyarankan supaya kami lanjut saja. Saat itu semuanya mulai terasa aneh karena kami sebenarnya ingin menuju pantai tapi jalanan mulai terus menanjak. Dengan percaya diri, semua merasa bahwa tanjakan ini wajar saja, toh mungkin akan ada jalan turun sampai ke pantai yang diidamkan. Begitu terlihat ada belokan menurun seperti premis itu, kami mengikutinya. Jalannya kecil, sangat sepi, turun bukit sih.. tapi kemudian naik lagi dengan pemandangan kanan kiri perkebunan. Indah sekali dengan aneka pohon olive, jeruk orange yang aromanya wangi sekali saat dilewati, dan berderet-deret pohon anggur. Saat itu mobil berjalan dengan pelan karena kami semua dengan riang menikmati pemandangan indah  di sekitar kami. Tentu saja terbersit sedikit pemikiran bahwa mungkin saja kami tersesat.. tapi dengan riang salah satu dari kami berkata ‘Kita buka bekal dan piknik saja!’ Semakin naik, semakin indah pemandangannya. Kemudian kami tiba di ujung jalan yang tertutup gerbang otomatis. Kami memarkir mobil di depan gerbang tersebut, keluar dari mobil dan menikmati hamparan perkebunan di bawah sana, mencari spot piknik yang tepat ketika tiba-tiba gerbang terbuka dan seorang petugas mempersilakan masuk. Bingung, tapi kami menurut saja. Bangunan di dalam gerbang itu seperti bangunan yang sering saya baca di buku-buku.. atau bayangan atas bangunan perkebunan di desa Italia yang tiba-tiba jadi nyata. Ternyata—kami memasuki sebuah hotel tua sekaligus winery. Pantas saja pemandangannya begitu indah dan ada petugas yang membukakan gerbang.

Kemudian, seseorang dari kami datang dengan ide brilian: hotel ini pasti punya restoran.. kenapa kita tidak duduk di sisi paling tersembunyi dari restoran itu, memesan segelas anggur, dan membuka bekal piknik kita? Kami merasa idenya sangat cerdas. Kemudian kami membagi tugas. Dua di antara kami minta diperlihatkan seluruh area makan di hotel itu kepada petugas, dua lainnya mencari spot piknik tersembunyi di taman restoran hotel. Yang tidak kami perhitungkan adalah betapa sepinya hotel itu. Tentu saja sulit mencoba sembunyi-sembunyi mengeluarkan bekal piknik ketika pelayan hotelnya lebih banyak dari kami berempat dan semua memperhatikan gerak gerik kami. Maka, saya dan Kari memutuskan untuk duduk di pinggir kolam renang saja dan memesan segelas anggur putih dingin buatan winery ini tanpa membuka bekal. Entah karena pemandangannya, entah karena ide brilian kami yang gagal total, entah karena kami sedang cukup ceria dan melihatnya sebagai waktu bernafas sejenak dari kebut-kebutan di jalan tol—anggur putih dingin yang begitu renyah, kering, dengan aroma dan nuansa rasa yang sangat kaya itu terasa begitu lezat. Kami menyesap minuman kami pelan-pelan dalam keadaan perut kosong dan perasaan yang makin ringan, memakai kamar kecilnya, kemudian melanjutkan perjalanan. 


Bahkan sebelum kami benar-benar keluar dari gerbang hotel, tahu-tahu si pendamping mengumumkan berita menyebalkan ‘Pertemuan kita selanjutnya dijadwalkan satu jam dari sekarang. Kalian tidak boleh ke pantai. Kita langsung menuju ke pertemuan selanjutnya’, katanya. Kami yang kelelahan setelah perjalanan panjang Milan - Napoli - Sicilia nontop hampir dua minggu ini dan kelaparan karena gagal buka bekal pun mulai protes, namun ia bersikukuh. Saat itu lah tiba-tiba Nora yang sehari-harinya sopan, halus, dan elegan tiba-tiba menghentikan mobil. Ia protes berat dan menolak melanjutkan perjalanan jika kami tidak diberikan sedikit saja waktu bernafas. Ia mulai membahas tentang saya dan Kari yang entah kapan bisa ke Sicilia lagi, tentang hari itu yang sebenarnya merupakan hari libur nasional yang bahkan tidak boleh kami nikmati sebentar saja, dan poin yang paling utama—tentang struktur program yang membuat kami terus menerus overworked. Saat itu saya mulai mempertanyakan apakah sebenarnya pembicaraan tentang protes, sistem kerja berlebihan, dan penggunaan waktu eksploitatif yang kerap dijadikan topik pembahasan saat seni rupa membahas struktur kerja post-Fordist itu hanya latihan intelektual semata: diuji dan diperdebatkan namun tidak benar-benar dijalankan? Sementara Kari dan Nora cukup menjunjung tinggi kewarasan dalam bekerja: penting untuk seluruh pekerjaan diselesaikan dengan baik, tapi tidak boleh mengesampingkan kesehatan mental dan tubuh. Sepertinya hanya pendamping kami saja yang tidak tahu pasti kapan harus berhenti dan tentang pentingnya jeda. Setelah berdebat lama akhirnya dia menyerah. Dua teman saya senang sekali. Mereka berterima kasih, perjalanan dilanjutkan, bekal piknik dibuka, dan kami mendapatkan satu jam untuk berenang serta membaca buku di pinggir pantai random di Catania sebelum kembali ke kehidupan nyata.   

Sebagai konsekuensi atas jeda tersebut, kami terlambat dari waktu yang dijanjikan dengan seorang pendiri ruang residensi tertua di Catania dan ia meminta kami menemuinya di sebuah ranch di kaki gunung Etna alih-alih di studio. Permintaan itu cukup membuat kami penasaran dan kembali bersemangat. Betapa menyenangkan dan penuh kejutannya studio visit di Italia akan saya ceritakan dalam tulisan lain. Kali ini, kami tiba sebelum gelap dan gunung berapi Etna yang anggun terlihat di kejauhan. Sang tuan rumah menyarankan supaya kami mengambil jaket tambahan karena pertemuan kami akan dilakukan di luar ruangan. Kemudian ia mulai memperkenalkan kami kepada seluruh anggota keluarganya (yang tentu saja sedang merayakan hari libur nasional bersama), seluruh pegawai ranch, dan bahkan seluruh hewan peliharaannya di ranch tersebut—kuda berwarna putih dengan surai panjang, kuda poni mini milik anak-anaknya, kuda besar yang kokoh berlari menggelilingi arena, babi yang entah bagaimana kandangnya tidak berbau busuk, kambing ramah bernama Alexandria, bebek-bebek, dan banyak lagi. Sekali lagi, waktu bergulir dengan pelan dan halus. Kami bahkan belum mulai membicarakan tentang seni rupa sampai satu jam kemudian saat matahari mulai turun dan ia kehabisan hewan untuk diperkenalkan. Setelah perkenalan dan obrolan tentang ruang seni yang dikelolanya selesai, ia menawarkan pizza. Kami yang mulai kedinginan dan sedikit lapar pun mengiyakan tawaran tersebut. Setengah jam kemudian, pizza pesanan mereka datang dan semua berkumpul mengelilingi meja taman pendek. Dua kakek yang tadinya asyik bermain kartu bersama sang nenek segera menghentikan permainannya dan bergabung dengan ayah, ibu, paman, anak-anak, pawang kuda, dan kami—semua berkumpul bersama dengan musik, bir, anggur lokal, dan pizza di sebuah ranch sederhana di kaki gunung Etna. Saya bungah! Saat itu, di sana.. adalah kehangatan yang sering saya bayangkan atas sebuah jamuan makan di Italia. Kekeluargaan dan santai. Yang tidak saya bayangkan adalah menemukan salah satu pizza dengan topping kentang dan daging giling! Gila, kan? Kalau pizza semacam itu disajikan di Indonesia yang terpisah jauh budayanya dari hidangan ini, saya tidak heran. Tapi, menemukannya di Italia yang biasanya menjunjung tinggi kultur masakannya? Keberaniannya sungguh patut diacungi jempol!

Di akhir perjalanan, saya menyadari banyak hal:  salah satunya bahwa burnout adalah perkara kimiawi yang tidak selalu bisa dikontrol namun bisa diperbaiki oleh waktu. Di waktu yang sama, saya tidak ingin pengalaman ulang alik mental yang membingungkan selama dua bulan awal perjalanan ini sia-sia. Dalam perjalanan ini, saya juga belajar banyak tentang bentuk lain dari kepedulian dan keintiman hubungan pertemanan dari dua co-curator yang mulai saya sayangi sebagai teman. Mereka juga lah mengajarkan pada saya pentingnya memiliki kontrol atas waktumu—karena waktu bisa menjadi begitu elastis tanpa kehilangan efektifitas dan efisiensi. Saya menuliskan semua itu dalam bentuk essai untuk buku yang kami terbitkan di akhir residensi. Fokus utamanya adalah tentang percepatan waktu dan kondisi mental dalam dunia seni rupa kontemporer. Kondisi itu kerap diromantisir—seakan jika pelaku seni merana dan mentalnya kelelahan, hal itu merupakan bagian dari pilihan artistiknya. Sementara jika seorang akuntan yang mengalami hal serupa pasti dianggap sebagai penyakit mental beneran. Sebagian besar isi essai tesebut mengacu pada kejadian-kejadian kecil di Sicilia—for Sicily is the clue to everything!

27.7.20

thoughts// in praise of mundane daily conversations



(Do you know the kind of couple who could talk for hours and never run out of things to say to each other it almost feels like they are living in their own bubble? D and I are like that. Even before we were an item, D would pick me up from school and spend the two hours gap between school and my French/piano class or his Japanese/drum class together; sharing a pack of vanilla ice cream at a radio station’s rooftop, eating cheap steak with fries at a diner called BigBoy’s, walking around Sagan/ Kotabaru/ Baciro area, or just riding around the city while talking. Sometimes the conversation would get so enjoyable that I would decide to skip the class just to be able to spend a little more time with him. Sometime, we would resume the conversation at night. One of those midnight-to-3am call was to accompany me during my first breakup (in which he said, ‘I can treat you better than your ex will ever be’—and he did). When he first watch the movie ‘Before Sunset’, he told me to go get the film at our favorite dvd rental shop. Later when we were an item, he said that the movie made him think of us. The intimacy of a conversation, hours of ‘remaking the world’, and the walk. Later in life--or more like 20 years later, we still walk around a city—in New York, in Brussel, in the Netherland, in Germany, in Senegal, in Darwin, in Jakarta, and just talk and talk and talk. That is probably why Woody Allen’s movie is so relatable. And just like Celine nicely put it “If there’s any kind of magic in this world…it must be in the attempt of understanding someone.”  

These past two weeks, we have been once again working on different pace, different time, and even different place after five months of practically spending 24/7 together in the comfort and safety of our little house. So, conversations were scattered between works, before bed, or in the morning. These are some vignettes of those little moments)
__________


1/
“Listening to this song, I feel happily sad”, D said as we are getting ready to bed. He played the song on repeat as I applied layers and layers of essence, serum, night cream, face oil—in that order. There is a good reason to call it a ‘beauty regimes’: coordinated, systematic, almost authoritarian, but hopefully not pointless. “You know, it feels like a time when one reach a maximum sad point of a song and you start feeling weirdly happy”, D continued his thesis. The song he was referring to is not particularly a sad one. But I understand what he meant by ‘happily sad’. A feeling that is well familiar yet sometimes difficult to put into words. ‘Happily sad’ is an oversimplified version of the word. I recognize the feeling all too well too, a melancholia or longing that somehow weirdly feels like a warm fuzzy blanket. In D’s premise, the song made him nostalgic of a simpler time—when there is nothing else to worry about but to pass the exam with agreeable grade. For me, it reminds me of that moment at the end of Max’s adventure in Where the Wild Things Are when he finally sail back home and find the food is still warm, waiting on the table. D has a more complex example of the feeling. When he was younger, it made him sad to watch a TV show when it is daytime inside the movie and it is night out there in real life. Knowing that someone somewhere might only start his/her day at the same time when we are finishing ours. Or that feeling of temporality on a Sunday afternoon—exactly at 12 midday he would hear the imaginary bell ringing: the holiday is almost over and it is time to go back to reality. The song reminded him of the moment before the bell rings. Before leaving a house and start anew. Before leaving a part of life that is no longer relevant. Before realizing that now, nothing but the phantom of it waiting for us there. We went to bed holding hand that night. 

2/ 
I was reading and walking on the treadmill (a dangerous habit, I know) when I read a curious term ‘lavishly economic’. I couldn’t really understand the term—but at that time, the clashing of the two words, the contrasting meaning of the two words interest me more. D was washing the dishes at the kitchen sink just the opposite to where the treadmill is so I yelled at him, “I found the word for our lifestyle!” Once he finished washing the dishes, he came closer so I won’t have to yell/ exercise/ read at the same time. “You know,” I said.. “lavish in a way that the daily things in our life might seem a little more elaborate than mundane.. but it is all actually very economical when you calculate the cost”. “You mean, like the urban poor of the broke-but-on-trend millennials?”, D asked. “No,” I said “the slightly older version who care less about the trend but enjoy the finer things in life—economically”. At the end of the conversation, we still didn’t fully grasped the correct meaning of that term.

3/
I was already inside the blanket when he started discussing whether we want to use the term ‘local belief’, or ‘local wisdom’, or ‘local genius’, or ‘indigenous knowledge’ (we both agree how we like this term the least). After almost an hour of word-by-word breakdown of the term, we decided to stick to ‘local embodied knowledge’, one we can all agreed upon. I remember once upon a time, someone asked us how does it feel to work with one’s spouse. I kid you not.. the work is never done, not even in bed. 

4/    
The moment when the cold spell cast through the Southern part of Java is my favorite time of the year. The sun is warm but the wind is chilled. The sky is clear blue and the air dry. It feels like an endless spring. In times like these, we would take the chairs out, eat al fresco, and just spend the day lounging under the sun. At the end of the day, D would sigh in delight—remembering similar days happened somewhere away, “Wasn’t that nice?”

5/ 
D was watering his vegetable patch when I stepped down the treadmill with Peter Mayle’s book that I read whenever I want to feel like walking down the street in Provence. I still haven’t took the walk in Provence but I imagine it to be slightly similar to walking down the Italian countryside. I sat on the grass and told him about Marathon du Medoc—a marathon filled with wine and amazing food, hopping from one castle to another, one winery to another, with amazing panorama, and everyone wearing fancy outfits. The night before, they would dance and eat carbo-loaded comfort food with as much wine and cheese they could possibly swallow—all done in yet another castle’s garden, on a white table and under a white huge tent. In my mind, it is an ideal dreamlike scene—a literary description that made my heart tingles with excitement. A midsummer night's dream kind of scene. So I look it up, and it surprise me to see how banal it actually looks. How very crowded and ordinary looking.. how the white tent for the dinner is just another big normal white tent, with generic looking table and cheap white plastic chairs where people eat in their t-shirt and short. This is not the first time I regret looking scenes I read up on the internet. It ruined the magic a little.

6/
“Does it worth the risk? That is the question for doing even the simplest thing these days”, I said when we decided to get out and meet more people during this pandemic. “Of course nothing worth the risk.. but there are things that worth a little more than the other”, D said, "for example, going to a KFC or a mall surely won't worth any risk, but going to KKF as a mean of support worth a little more". So we start calculating risk, managing anxiety, trying to live without worrying too much, dodging the virus but carry on living with precaution and even smaller circle. Like people living under the volcano, only without the proper warning system. “What I’m worried about is how fast people forget.. how the ‘new normal’ is almost feels like surrendering to the virus", D continued as there are two possibilities of the future that he sees: one, new normal as an excuse for people to hurry back to the old normal because people are stubborn like that and going out of comfort zone is scary (and also: capitalistic system is way too powerful to shake); or two, like Arundhati Roy poetically wrote about the pandemic as a portal. It is time to reassess new possibilities and how unsustainable the old way of life is before completely change and consciously calculate the way we consume, move, work, live. Zero km products. Zero km mobility. Local practice and knowledge production. Once again, being rooted instead of radicant.  

7/
“Sometimes I find Jogja boring—it feels one-layered. Like there is a uniformed perception imposed on it: slow city, hospitable, comfortable. Is it really like that or people who lives there are just trying to live up the expectation? Jakarta, on the contrary, is built upon a thousand different perceptions that makes it interesting and multi-layered”, D said. No wonder we can’t find any song about Jogja that is good enough. Most are clouded with blinding fanatics and nostalgia of the city’s past life that is probably no longer relevant today. “Your statement will upset a lot of people’, I replied.   

8/ 
As we lay down the bed after a whole day of work, I noticed how D is unplucking his eyebrows, leaving a small silly patchy area. I never ask but this time, I demand for explanation. Just out of curiosity. So he leads my finger through his eyebrow and he said, “You see, sometime I can find a hard piercing piece of an eyebrow and another one that is coarse to touch. To get the hard and the coarse ones, I sometime need to sacrifice the ordinary eyebrows.. thus the patchy areas”. Honestly, I find nothing sort of coarse nor hard. “You need a trained finger to find them”, he said—very seriously. It is so ridiculous I started to laugh.. and soon grasping for air, coughing while still laughing while he run to get me warm water and medicine. Laughing to D’s weird habit is still my favorite way to get an asthma attack.  
  
9/ 
“Have you ever imagined an alternate universe where you live a different life for making different choices in the past?”, D asked. “Sure,” I said “with a different house, probably fancier.. a simpler life that might sometime bores me, and maybe kids.. surely not the kind of life I would choose over mine now.” D told me he might be working an office job at the city in that narrative. “Actually, it was you who showed me things I didn’t know I wanted before. But now, I am exactly where I want to be”, I said. “I, too”, he replied, gently stroking my hair.    

5.6.20

thoughts // personal life in time of covid-19



Stage 1/ The Worried Shoes
It came in stages. First the panic-buying— figuring out the balance between having enough but not getting into the hoarding line: hand sanitizer, dry food, supplies of supplements, and immune boosters.  Then comes the strategic planning. Distributing the eggs in different baskets, making escape plans and standard operating procedures for every scenarios of the mundane daily life and of the worst. Then comes the anxiety. The what ifs. The overthinking. The moment I realize I ran out of wine, and dark chocolate, and anything else that can keep me off edges. Except for hugs. I’m lucky I have ample of that and the morning sun on a leisurely morning. Still, there are days of waking up in despair. And oh, the voids. Giving up to its lure is easy. To spiral down deep and stay in the dark for few days. The void is composed of miles and miles of thoughts where I can dive deep; and of dark corners where fear is the quicksand; or choose to stop and listen one by one, thoughts after thoughts—while crawling all the way back up. Dito was always there. Gently stroking my hair, scratching my back, keeping me sane. That was the moment when, for the first time in my life, I wanted to watch whatever horror movies I can find. Anything can’t be more terrifying than real life. I remember someone said at the beginning of it all, few days before they call it a pandemic: “It’s a curious time. We live in a science fiction movie”. At this stage, I dream of the most ordinary day when I can take a break from being concerned, to live the daily life without fear, and take off my worried shoes. 

Stage 2/ The Collective Grief
One day I learn its name and call it correctly. It was grief. It has always been grief all along in many different forms. A wave of collective grief. The magnitude and intensity of the crisis pulled me down like a gravity, yet, what gave it a face was more personal than that. I remember few months before, feeling helpless and hapless being sick in New York with a new-found knowledge that all those platinum membership of all insurances that we have won’t do any good in a country of such a bizarre system. I remember how my heart sank when I found Dito was having the same fever that I had the day before and how relieved I was when we both recovered a week before heading back home. I remember feeling that pang of grief again knowing my uncle was ill half the world away in one of the epicenter of the crisis, unable to see the doctor because the health system there is already overwhelmed. Although in Madrid, the city where he lives, the healthcare system is so much more humane and a doctor is checking up on him every day during his quarantine. I don’t dare to think of the country where I am now with a healthcare system slowly collapsing even before it reaches the peak. The potentiality of any type of grief left me petrified—a deer in the headlights. I don’t know yet whether or not to be scared of dying—but I know I am scared of the possibilities of losing people I care about. When my uncle recovered from the virus, he told us how his worst nightmare was the probability of disappearing—having an ambulance picking him up and off he go to the unknown with 50:50 chance of coming back home or disappear, never to be seen again. That feeling-- having my heart sinking to my stomach when I think of it, is grief. 



Stage 3/ The Nostalgia
And then comes the next stage: the nostalgia. Triggered by a bleak realization that the last trip I did in February, could be the last one before a long pause ahead. Also: an even bleaker thought, I feel like my days are numbered. If the crisis remain unsolved, any attempt to lock ourselves down from everybody is an active attempt to buy some time. So I start making promises. Promises are the thread of hopes to hold on to: visit friends’ newborns, eat crustaceans with uncle in Spain, take him to that super spicy fish place in Borobudur in return, finally go to King’s day with Go Eun, and one day—I will finally start a perfume collection. It has always been my obsession to create a library of memories of all the places I went to through smell. How orange blossom and bubble bath reminds me of Torino, how Amsterdam is the first Magnolia bloom, how Napoli is the smell of fresh linen and laundries, how Budapest is the smell of roasted chestnut and peppermint wind, and how New York is made of candied almond and dried leaves. Dito and I finally made that photobook of the places we went together that his father has been asking for. It made me happy but at times when I am not at my best shape, I feel like the places where I went on my own was not part of my life. As if it was swept under the rugs and never happen. Will I be able to remember things beyond the picture? Will I remember it better when I finally put it all into words? Finally write about that time when I sabotaged one of my dream because the circumstances was not ideal, that other time when two police woman who do not speak English at all caught us accidentally riding a tram without validating the ticket, and a panic moment in the airport caused by a bomb threat soothed by a big portion of KFC. 

Stage 4/ Sculptural Immobility 
The virus triggered this idea about sculptural immobility. It was as if you are cursed: wherever you last standing and with whom you chose to spend your time with—those are the life that you will live until an unforeseeable future. Your decision is set in stone. Those who are apart can no longer touch again. The far is far again. The world is round again. And time is long again. It feels as if we are collectively took an early retirement. The feeling is very much present at home (despite all the projects we are working on right now). If this home is going to be our universe for the next few months or few years to come—we need to fully commit to it and make the most of it. Usually, there is a feeling of temporality in the house—as if it is just a transit in-between trips. It is now finally time to clean the messy backyard, deep clean our windows, fix the broken kitchen shelf and change the lightbulb. It is now finally time to reevaluate our relationship with the home. We realized how our home changed the way we do. In 2015, we took down most of the artworks on the wall because we want to rest from visual stimulation at home. We don’t decorate it so much and focusing on keeping things practical and functional. The house now accommodate new social functions, unnecessary clutters are regularly thrown away, and it evolves the way we do. It can be messy at times but that's ok. We keep most books from Lir, from my childhood, from trips we went; but we let it scattered around different rooms (except bedroom). Since we don’t have the Space at the city anymore, our home that used to be the escape plan from work now turn into a workspace, making us constantly draw the psychological line between life and work. It is not as hard as it sounds and the workspace is not as empty as we want it to be but as long as we have blank spaces on the table, on the floor, or in my case: on the bed—we’re good. When it is time for 900mdpl, the life at home would suddenly being put on a higher speed. The house would be lively, people would take over my workspace and the fire in the kitchen would never stop burning. I would cook so much for everybody and I would reach my limit of social interaction every now and then; the people I work with would then helping me to protect my personal space that would feel so precious. Now that the house is empty, it became a universe of two. I sometime miss having people around no matter how drained I would feel afterward. We have 9 pet rabbits, but they live in the backyard and they are relatively quiet. Now the silence is so thick we could almost hear them! Every texture of the rain drops, every birds, every footsteps approaching, the wind, the tree, the neighbors fixing their roof, the roosters, the other ‘pet’ living at our ceiling (a Javanese ferret-badger). 



Stage 5/ The Search for Meaning
It’s ironic when I finally come to realize that the things I used to wish for are actually coming true. I used to wish I could have more quality time to be with my mom and Dito, and now I have plenty. I wanted to go to a place where time is irrelevant and I yearned for slowness—a moment to just search for meaning, to have unlimited time to just read, and write, and fully love, and to just be. To be fully present without an endless to-do list, grounded and not having to go to the next destination, without having to prepare for the next audition. Suddenly, time is all we have. Now it feels like time dissolves and days bleed into one another. Suddenly, I am in a place where time is irrelevant. Once I crawled back up from the deep dark cold void, I learn to embrace the abundance of time. I demand for the love that I deserve—plenty of it. In exchange, I love with all my heart. There are days when I feel warm inside and motivated enough to put on a pretty dress. It is easy to feel lightness and warmth on a sun-drenched house with mild microclimate that always feel like spring. As I continuously examine the quality of my life, everything went down to the essential. I realize I enjoy the home cooking so much and that the only thing I miss about eating at a restaurant is the anonymity and the idea of eating out. I realize I don’t need too much of anything to lead a wholesome life. (Although I  really miss the spa and having face acupressure done professionally). I learn to travel in place, cooking food that reminds me of places far away, and finally reconnect with my surrounding. At times, I ask myself: have I lived enough? Have I tasted enough? If this is the end, will I crave for more? Under what conditions and in which way would life be worth living? Everyday I would crave for a beautiful mind telling me things I don’t know. I want to feel alive. I want solidarity and riot and strike on how the world works. I want to be sure that nobody in my neighborhood is hungry. I want sovereignty for the people. Free from the control of capitalism, starting from the small circle of a family, neighbors, community. The crisis has got us questioning the system in general and it is reassuring to be part of a closely-knitted community and re-learn how to be together as neighbors and citizen of the world: a collective movement even without proximity. Hopefully, when we get to the other side of it, the world after the great mutation would require us to live more sustainably. While the virus is still learning about itself and continuously morphing—so is the world. 

Stage 6/ Embracing Slowness
We are now taking it slow. We are following the rhythm of the day, observing the lyrical environment, and embrace the weird moment when the world is being put into collective pause. Instead of a to-do list, I try to remember things that I enjoy doing when I am away: the walk, the newness of everyday life, the consciousness of things around me. I read. I write. I eat better, sleep better, exercise better. I evaluate the quality of life I am living, of all the friendships I have, and of the system of the world. Dito and I learn how to be self-sufficient, mindful, and dig down those forgotten skills we learned in school: how to start a medicinal herb garden, building things from scratch, and foraging among others. When I was younger, I used to dream of having a potager—an aromatic French kitchen garden and medicinal herb at the backyard with rabbits running around. The later are there, the potager is still just a dream. But I used to dream of a small white house with lots of windows to let the sun shine in. I dreamt of comfortable reading nooks and books everywhere I move through the house. Only now have I realized it is the childhood dreams that I am living in right now. When we get out of this, it is time to reevaluate the dreams and create new ones as an adult (and to finally live somewhere far away, maybe?) We still follow the movement of the sun through the house and soak the morning sun at our kitchen table over breakfast—but instead of work, we are catching up with whatever weird vivid dream we had the night before. Last night, I dreamt about a zombie attack, targeting on people with low ph. level. I was the only one in the neighborhood with a low ph level so they put me in a glass house. It was raining when the zombie attacked—it rained acid and people are safe outside under the rain. The rain won’t help me no matter how acid it was because my blood is anyhow non-acidic and the zombie can smell it. So I look outside at the people guarding the glass house and I catch my friend’s eyes, inaudibly saying ‘I got your back’ and my friend start talking to the zombie to distract it from me and then my friend turned into a box of square cheese ransacked by the zombie before it went away. I was spared.